Lintas Berita

Suara-suara Mendesak Segera Sahkan RUU-TPKS

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) menyelenggarakan talkshow untuk mendesak segera disahkannya RUU-TPKS, Rabu (5/1). Ririn Hayudiani, Wakil Direktur Program LPSDM  menyatakan penting segera sahkan RUU-PKS apalagi dibutuhkan upaya perlindungan terhadap perempuan disabilitas untuk mencegah semakin tingginya angka kekerasan seksual pada mereka.  

Acara talkshow dimulai dengan pemutaran video Presiden Joko Widodo  yang pada Selasa (4/1) memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlndungan Anak (PPPA) segera berkonsultasi kepada DPR agar ada percepatan pengesahan RUU-TPKS. Juga perintah kepada Gugus Tugas untuk menginventarisasi Daftar Isian Masalah (DIM) dan RUU agar segera disahkan untuk menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual. “Saya berharap agar RUU-TPKS segera disahkan,” perintah Presiden Joko Widodo.  

Dipandu oleh moderator Sri Budi Utami yang kembali menegaskan bahwa pentingnya RUU-TPKS untuk segera disahkan  karena kelompok perempuan disabilitas terus menjadi korban dan angkanya semakin meningkat. Lalu bagaimana data kekerasan pada perempuan disabilitas? Itulah kemudian yang menjadi alasan mengapa ada talkshow tematik yakni untuk mendengar suara mereka dalam upaya mendesak pengesahan.

Seperti yang diungkapkan oleh Wirnaniati, dari Sekolah Perempuan Lombok Timur. Dari beberapa kasus yang ia tangani ada kasus kekeraan pada rumah tangga. Seorang suami yang hipersek, yang selalu memaksakan kepada sang istri, tidak peduli istri lagi sakit atau lelah, yang penting kebutuhan biologis. Pernah kejaidan istri sampai pingsan. Seringkali hal demikian dianggap lumrah oleh masyarakat, bahwa istri hak milik suami. Karena rendahnya pendidikan, mereka takut melaporkan apa yang mereka sedang  alami.

Banyak juga yang menikahkan anak diawali dengan kasus pemerkosaan. Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, karena rendahnya pendidikan hingga jadi takut dan malu. Pada kasus-kasus perkawinan anak, banyak orangtua yang menikahkan karena kasus perkosaan. Mereka menikahkan anaknya karena dianggap aib. Perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual masih lemah dan pada kondisi perempuan yang lemah seringkali dimanfaatkan untuk tindak pelecehan dan pencabulan. Demikian pula kekerasan pada perempuan disabilitas sangat penting untuk diperjuangkan. Perempuan disabilitas harus berdaya dan merdeka, dan bukan diperdaya.

Pernyataan dari salah seorang korban, D, bahwa yang dia alami 14 tahun lalu masih membekas dan membuat ketakutan bertemu dengan mantan suami. Ia kemudian menjadi perempuan yang mandiri dengan bersekolah, sembari melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak juga mensosialisasikan bagaimana mereka bergaul, bersikap, dan supaya terhindar dari kekerasan seksual. Menurut D, tidak semua perempuan korban bisa bangkit. Sedangkan pelaku masih berkeliaran, “Kami perempuan Indonesia butuh perlindungan Negara. Kami menyampaikan kepada bapak presiden agar segera mengesahkan RUU-TPKS dan melindungi kami dari segala bentuk kekerasan seksual. Buktikan kepada kami bahwa Negara hadir dalam perlindungan kepada perempuan,”ujarnya.

Talkshow juga menghadirkan suara penyintas bipolar yang menyatakan bahwa kejadian kekerasan seksual puluhan tahun lalu masih membekas di hidupnya. Di usia 5-6 tahun ia dilecehkan oleh teman sendiri. Kejadian berulang lagi setelah beberapa tahun kemudian. “Sulit bagi saya untuk melupakan, saya jadi pribadi yang pendiam, sulit bersosialisasi, tetapi keluarga saya tidak mengerti.  Tidak ada pendampingan sebelum saya bertemu dengan kawan-kawan HWDI. Kala itu saya masih berusaha untuk ingin bunuh diri lalu psikiater dan psikolog saya membantu,” ungkapnya.

Berbicara peran NGO, Elly Setiani dari LPSDM membagikan pengalaman bagaimana pemberdayaan perempuan disabilitas yang pada usia 17 tahun diperkosa oleh orang terdekat. Ketika  menemukan korban hamil delapan bulan, lalu pihaknya mengadvokasi dengan pengaduan kasus. Namun dari keluarga sendiri mengambil cara damai, menikahkan korban tersebut dalam satu malam. Akhirnya ia tidak mendapatkan perlindungan apa pun dari masyarakat di wilayah setempat. Sebagai NGO, semestinya ini kelompok rentan  yang  harus diangkat dengan kondisi pendidikan rendah, lalu  keluarga tidak mendukung, seorang perempuan disabilitas dan dalam satu proses hukum pihaknya kemudian merasakan kesulitan. “Polisi mengharuskan ada pernyataan dari korban, ini sudah lama, tetapi proses sangat panjang, karena perlindungan untuk perempuan disabilitas belum kuat, juga pengambil kebijakan belum responsif gender. Kami selalu katakan ini sudah darurat,” ujar Elly.(astuti)