Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kamis 10 Desember 2020 bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM), Yayasan YAPHI mengikuti diskusi daring melalui zoom meeting dengan judul Implementasi Kebijakan PSBB dan Dampaknya Pada Hak Konstitusional Perempua. Diskusi ini menghadirkan 195 peserta dengan narasumber antara lain Maria Ulfah Anshor dan Dati Fatimah dan beberapa penanggap yakni Prof dr. Vennetia Rykerens Danes, Prahesti Pandanwangi, Prof.Dr. Meiwita Paulina Budiharsana.

Maria Ulfah menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 memiliki dampak yang sangat kompleks, meliputi berbagai aspek kehidupan. Selain itu perempuan berpotensi menghadapi dampak yang khas, termasuk kerentanan pada diskriminasi. Maria Ulfah merekomendasikan bahwa kebijakan penanganan pandemi COVID-19 perlu mengkombinasikan pendekatan jangka pendek, menengah dan panjang.

Narasumber kedua Dati Fatimah mengemukakan bahwa dampak pandemi pada perempuan antara lain beban ganda dimana sebanyak dua dari tiga responden yang mengerjakan tugas rumah tangga, mengakui bahwa telah terjadi peningkatan beban kerja pengasuhan dan perawatan selama pandemi. Selain itu juga dampak pandemi pada perempuan yaitu kekerasan terhadap perempuan, dimana 80% dari responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah lima juta rupiah per bulan, kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat. Dati Fatimah merekomendasi dalam jangka pendek untuk meredam dampak perlindungan terdampak dengan skema afirmasi. Kemudian untuk jangka menengah untuk kapasitas adaptif yang responsif terhadap pandemi dan jangka panjang untuk transformasi dalam pemulihan pandemi COVID-19.

Prof.dr.Vennetia Rykerens danes menanggapi bahwa kajian dari para narasumber sangat baik. Vennetia memberikan sedikit catatan atau masukan, dimana perlu adanya dengan kajian metode kuantitatif terhadap data kekerasan perempuan, tren suatu kasus kekerasan tidak pernah turun selama pandemi COVID-19 dan terus bertambah, kekerasan terhadap perempuan dalam penanganan harus melihat aspek sosial, budaya, agama dan tidak hanya di selesaikan satu sektor saja.

Penanggap Prahesti Pandanwangi yang tidak bisa mengikuti diskusi daring kemudian digantikan oleh Reza Faraby. Reza Faraby menanggapi bahwa dalam melihat isu perempuan tidak melihat satu sektor saja karena isu perempuan merupakan isu lintas sektor.

Prof.Dr.Meiwita Paulina Budiharsana menanggapi bahwa dalam ringkasan isi kajian harus menguatkan gerak juang perempuan di masa pandemi COVID-19, dimana kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Selain itu efek program perlindungan sosial dan dampak terhadap layanan kesehatan reproduksi yang belum merata. Meiwita merekomendasikan bahwa untuk memprioritaskan isu-isu kekerasan terhadap perempuan yang tidak punya “rumah perlindungan hak konstitusional perempuan”, relevan dengan anggaran dan core rencana tahunan komnas perempuan. (Garindra Herayukana/Astuti)




Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Wacana Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menuai berbagai pertanyaan mengapa wacana itu ada. Tujuan pembentukan komisi kebenaran tersebut tak lain adalah untuk mencari fakta, memberikan perlindungan korban, mencegah keberulangan dan mengungkap kebenaran.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Rukka Sombolinggi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada Selasa, 24/11/2020 menyatakan bahwa saat ini Presiden Joko Widodo telah bertolak dari masyarakat adat terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Di sisi lain presiden mengatasi krisis dalam pandemi COVID-19 dengan gotong royong, menurut Rukka ini kontroversi pernyataan. Jika presiden serius, maka tidak akan terjadi seperti hari ini, keputusan 74 ribu hektar hutan adat dapat sertifikat, kemudian di mark-up jumlahnya jadi sekian ratus ribu, padahal itu masih indikatif.


Penilaian: 4 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Banyak perempuan yang menjadi  korban pelanggaran HAM berat 65 dipenjara tanpa sidang. Dalam novel “Dari dalam Kubur” ada tokoh Widya yang menyembunyikan anaknya sendiri. Kejahatan yang dialaminya waktu itu adalah perbudakan seks. 150 eks tahanan politik di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta alami perkosaan-perkosaan oleh tentara.  Demikian catatan pembuka Soe Tjen Marching dari Soas Univercity dalam diskusi buku “Dari Dalam Kubur” , Kamis (3/12).