Lintas Berita

HAM Difabel, Kebijakan Afirmasi dan Implementasi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

8,56% atau sekitar 21,84 juta penduduk di Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Dan hampir setengah dari penyandang disabilitas di Indonesia adalah penyandang disabilitas ganda. Kondisi secara umum penyandang disabilitas terkait hak dan kebutuhan dasar belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini karena faktor tingkat partisipasi dalam berbagai sektor (pendidikan, pelatihan, penempatan kerja dll), tereksklusi dari lingkungan sosial, akses terhadap fasilitas dan layanan publik terbatas.

Sesuai pasal 5 Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, hak penyandang disabilitas di antaranya adalah : hak hidup, bebas stigma, privasi, pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, pelayanan publik, kesejahteraan sosial, perlindungan dari bencana, pendataan dan sebagainya.

Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Sunarman dari kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) dalam festival HAM di Semarang, Rabu (17/11) menyatakan bahwa Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma dari charity ke paradigma perlindungan dan pemenuhan HAM. Maka pemenuhan yang diharapkan tidak hanya inklusif tetapi paripurna. Pendekatan karitatif dianggap sebagai beban, dan melakukan pembiaran bagi yang dianggap sehat/normal yang bekerja dan yang bertanggung jawab kepada mereka. Sedangkan pendekatan hak dibantu sebagai potensi, dan diberdayakan potensinya serta diadvokasi pemenuhan haknya.

Maliki dari Bappenas yang juga menjadi narasumber menyatakan bahwa Bappenas melakukan perencanaan penganggaran dimulai dari pemerintah pusat, pemda serta lembaga non pemerintah sebab kesenjangan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas semakin besar. Sedangkan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia masih rijit apalagi juga tidak ada jaminan kecelakaan kerja maka perlu memberikan barier atau pencegahan/penanggulangan dari awal.

Saat ini pemerintah mengakui bahwa pelaksanaan hak dasar kadang tidak sesuai dan tidak menyasar. Ditambah adanya problem kesimpangsiuran data sebab saat ini data secara nasional yang ter-update adalah data tahun 2015. Akibatnya secara faktual ada yang meninggal namun masih terdata. Kategori miskin menjadi kendala sedangkan permensos soal pendataan tidak hanya kategori miskin saja, tetapi mereka yang dikategorikan apakah membutuhkan bantuan fisik atau tidak. (Astuti)