Lintas Berita

Mempertanyakan Akses Rakyat Miskin terhadap Jaminan Kesehatan Nasional

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rencana penonaktifan 9 juta jiwa Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN-BPJS Kesehatan mulai Oktober, sudah membawa korban bayi yang sedang kritis yang tidak bisa berobat dan orangtuanya menjual sepeda motor. Persoalan ini menjadi tanggung jawab pemerintah, bahwa masyarakat kita belum sejahtera bahkan makin terpuruk. Demikian prakata Germant Anggent dalam diskusi publik via zoommeeting yang digelar oleh Elpeka dan Aliansi Rakyat untuk Hak Jaminan Sosial Kesehatan,  Rabu (17/11). Lebih jauh ia mengatakan bahwa hal itu yang menjadi bahasan dalam diskusi publik selain ke depan akan mengupayakan dialog  sekali lagi dengan menggandeng Kemensos, BPJS Kesehatan dan Komisi 8 dan 9 DPR RI.

Jujur Saragih, salah seorang penyandang disabilitas memberikan pernyataan menyangkut hak disabilitas untuk akses kesehatan, menurutnya sangatlah perlu. Difabel kursi roda rentan sakit. Sering terjadi luka maupun memar, sehingga butuh pengobatan. Ketika ia dirujuk di kelas 3 ibaratnya, waktu itu Jujur masih tinggal di panti, itu pun harus  dengan susah payah menunggu sampai kebagian kamar hingga satu bulan. “Walaupun ditanggung pemda, tetap dinomortigakan, tetap ngantre walau sekarat,”ujar Jujur. Ia berharap semoga pihak terkait memahami, dan agar ke depan pelayanan gratis BPJS lewat PBI juga dirasakan oleh penyandang disabilitas yang lain termasuk yang berpindah domisili. Istri Jujur seorang Tuli dan ia berusaha agar istrinya juga mendapat PBI sebab ia menyadari banyak teman penyandang disabilitas yang tidak bisa mengakses PBI.

Timboel Siregar, salah seorang narasumber menyatakan bahwa pemerintah bersikeras tidak mau memasukkan 9 juta itu dan saat ini pemerintah mengakomodir 87 juta pengguna PBI JKN KIS. Ia berharap ada komunikasi antara pemerintah dengan rakyat dengan memastikan bahwa ia miskin, sebab di lapangan pemegang kartu PBI susah mengakses rumah sakit, karena kepesertaannya dinonaktifkan. Padahal rakyat miskin dan masyarakat tidak mampu semestinya dibayarkan oleh pemerintah.

Program JKN ini juga memiliki banyak hal lain, bagaimana para peserta PBI ini mendapatkan perlakuan  yang berbeda. Menurutnya rakyat miskin kita tidak pernah mendapat informasi  bagaimana menggunakan BPJS sampai dirujuk. Lalu ada masalah lagi, jika dirujuk di luar kota bagaimana dengan transportasi. Maka ada catatan terkait Utility rawat inap, angkanya masih rendah. Peserta ini yang berkontribusi banyak iuran tapi Utility paling rendah.

Pasal 5 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa, masyarakat rentan harus mendapatkan pelayanan lebih, tapi dalam pelaksanaan JKN disamakan dengan orang mampu, yang muda, dan lain-lain. Padahal pelayanan poli satu hari, mereka harus naik angkot dan mereka tidak boleh satu hari dua atau tiga poli, ini persoalan yang dilihat pemerintah semua segmen sama. Persoalan ini akan jadi akumulasi, dan jadi penyumbang masalah walau pemerintah bukan jadi subjek. Satu PR juga adalah bagaimana sampai sekarang pemerintah tidak menyelenggarakan PBI karena kecelakaan kerja. “Bu Nurul nyaris ditolak RSCM lalu kita advokasi. Kedua mereka terbantu untuk bantuan ekonomi. Pasal 14 sangat jelas BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan,” terang Timboel.

Sony Mardiyanto mengomentari bagaimana dampak luar biasa penonaktifan 9 juta PBI. Ia bersama para relawan menolak pemerintah lakukan cleansing data, sebab dari temuan mereka di Bandung Barat,  menemukan orang yang sedang mengakses PBI tetapi tidak aktif. Banyak masyarakat tidak mampu non aktif, seperti bayi baru lahir. Setelah mereka temukan dari beberapa tidak terkoneksi secara langsung menjadi anak PBI. Hal ini menyanggah pernyataan kemensos alias tidak semudah yang disampaikan oleh Kemensos. “Kami menemui beberapa peserta tiba tiba non aktif, di desa kami kami  koordinasi supaya akses. Kami harapkan agar BPJS kesehatan terjunkan ke mobil untuk lakukan cek data PBI,” terang Sony.

Sandrayati Moniaga yang menjadi narasumber kemudian menanggapi bahwa saat ini Komnas HAM sedang menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP), melakukan survey nasional, kajian COVID-19 dan penelitian masyarakat rentan COVID-19. Ketika disinggung apakah ada unsur pelanggaran HAM terkait penghapusan data (cleansing) peserta PBI oleh pemerintah, Sandra menjawab bahwa Komnas HAM seharusnya melihat data dulu, yang dihapus itu siapa saja, lalu bagaimana dengan yang miskin. Jadi bukan sekadar jumlah tetapi akurasi data dan ketepatan sasaran.

Hasil survey Elkape, bahwa JKN ramah disabilitas di enam daerah, jatim dll, di antara responden apakah mereka akses layanan JKN, 10% belum mendapatkan layanan, entah miss informasi atau tidak terjangkau. Lalu apakah mereka termasuk mendapat PBI? Ada sekitar 51% dari mereka berhak mendapatkan jaminan PBI. Survey dilakukan di di pertengahan 2021, sebagai representasi sekitar 52% difabel di Indonesia. “Secara metode, Kemensos lakukan data cleansing, semangatnya adalah penyatuan, sebenarnya kami dukung akurasi data dan tepat sasaran bantuan, tapi DTKS saja kemensos akui update data bermasalah,”terang narasumber.

Sejak 2015 masih banyak pemda belum lakukan pengkaveran jaminan kesehatan. Pengangguran baru justru tidak terkaver PBI.  Harapannya adalah jangan sampai pemerintah ingkar terhadap pemenuhan hak kesehatan masyarakat.

Harusnya jumlah PBI ditambah, bukan dikurangi. Ada pengabaian hak-hak perlindungan sosial. Apakah sistem cleansing yang dilakukan  ketat tidak? Kesehatan adalah hak dasar, sayangnya semua belum sadar yang harusnya diberikan secara universal. Harus ada evaluasi terhadap sistem jaminan kesehatan di Indonesia dengan memberikan  hak-hak universal kepada masyarakat. (Astuti)