Perjuangan Perempuan Adat Untuk Kesetaraan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perempuan dan budaya adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Peran perempuan ada dalam budaya sebagai pelestari dan penjaga adat-istiadat serta norma-norma  di masyarakat. Perempuan adat, keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Perempuan adat memiliki andil sebagai agen perubahan sekaligus penjaga kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Pada  Sabtu, 16 Maret 2024 melalui zoom meeting selama dua jam telah terselenggara diskusi tentang Empowering Indigenous Women in The Contamporary Political Landscape yang dihadiri lebih dari 80 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri, dengan menghadirkan narasumber antara lain Jacinta O’ Relly (Partai Hijau Selandia Baru), Bernadetta Deram (PEKKA), Maria Redemta, dan Michelin Sallata serta Ade Kusumaningrum selaku moderator.

Jacinta memulai ceritanya tentang suku Maori sebagai suku asli di Selandia Baru yang mendapatkan perlakuan diskriminasi. Perempuan asli Maori terkadang menjadi sasaran kekerasan dan suaranya tidak dianggap dalam pengambilan keputusan. Kini melalui Partai Hijau Selandia Baru mendorong perempuan suku Maori untuk mengangkat harkat dan martabat kelompok (Maori) dengan mengangkat pimpinan asli Maori.

“Saat ini tekanan yang kami alami dari pemerintah, kami meminta bantuan dan melalui pejuang hijau kami berkolaborasi. Kepemimpinan perempuan Maori memiliki peran yang sangat penting”, jelas Jacinta.

Menurut Jacinta bahwa Partai Hijau memberikan dukungan kepada masyarakat adat untuk mengambil keputusan dan membiarkan masyarakat memilih strateginya. Baginya, perempuan Maori sangat berdaya dan kuat dalam melindungi serta meneruskan generasi baru. Contoh yang dibagikan oleh Jacinta, salah satu SMA mengajarkan bahasa Maori dan membantu dalam penyebaran budaya asli Maori.

Melty dari Lembata ikut menambahkan bahwa kekuatan dan keberdayaan perempuan adat dapat menopang perekonomian sehari-hari. Kondisi sumber daya alam yang sebenarnya dapat dijaga dan dimanfaatkan oleh perempuan tanpa harus bersusah payah mencari ke luar kota, seperti pembudidayaan tanaman di area rumah yang dapat membantu kebutuhan sehari-hari.

Michelin Sallata dari Toraja  menyampaikan bahwa budaya patriarki tidak dapat dihindari bagi perempuan. Posisi perempuan adat yang mengalami diskriminasi dan kekerasan maka perlu perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Diterangkan dalam paparannya, Michelin menjelaskan bahwa pemanfaatan alam boleh dilakukan namun jangan sampai merugikan masyarakat adat dan lingkungan. Perlunya dukungan bagi masyarakat adat untuk dapat terus bersuara agar bisa berdaya untuk mengolah alam dengan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Seperti diketahui kelompok masyarakat adat (perempuan adat) masuk dalam kelompok rentan dengan hambatan dan tantangan yang dihadapi.

“Perempuan adat juga harus menduduki posisi strategis dari tingkat desa, mungkin sebagai sekretaris desa agar dapat menyampaikan suara dengan kapasitasnya di pemerintahan desa," jelas Michelin.

Dette dari Akademi Paradigta turut menambahkan pentingnya regenerasi atau kaderisasi pada perempuan masyarakat adat supaya terbuka dengan kondisi yang dihadapi saat ini. Perempuan adat harus mampu mengubah pola pikir untuk bisa mengurangi hambatan dan tantangan serta mulai berpikir kritis berada pada posisi-posisi penting sekalipun di tingkat paling kecil.

Di Indonesia saat ini ada banyak ribuan komunitas adat yang masih harus berjuang untuk kesetaraan. Tentu gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan masyarakat adat (perempuan adat) sepatutnya dilakukan secara kolektif dan masif. Pondasi yang kuat pada masyarakat adat terletak pada perempuan adat sebagai akar dan penjaga eksistensi.