Tokoh Agama Gelar Konferensi Pers dan Ajakan Tadarus Bersama demi Segera Sahkan RUU PPRT

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jumat 15 Maret 2024, di hari puasa Ramadan, adalah aksi ke-19 para Pekerja Rumah Tangga (PRT) melakukan unjuk rasa di Gedung DPR RI. Mereka tak patah arang untuk meneriakkan api semangat sambil membawa slogan-slogan yang berisi kata-kata agar DPR segera mensahkan RUU PPRT.

Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) secara resmi telah disahkan oleh DPR RI sebagai RUU Inisiatif DPR, setahun lalu yakni pada 21 Maret 2023.

Sebelumnya telah dilakukan upaya-upaya bersama yang mempertemukan Jala PRT, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Kantor Staf Presiden (KSP). 

Keputusan pengesahan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR RI, Puan Maharani. Namun setelah satu tahun, tak kunjung ada kabar baik tentang perkembangan RUU Perlindungan PRT. 

Selama setahun ini misalnya, lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk RUU PPRT sudah menggelar berbagai aksi dan pertemuan dengan anggota DPR RI untuk menindaklanjuti hasil rapat paripurna tersebut. 

Dalam aksi yang dilakukan hampir setiap hari di depan gedung DPR RI tersebut di atas, hampir semua partai politik memberikan respon, namun tidak dengan dengan Ketua DPR RI, Puan Maharani. 

Hingga hari ini, Puan Maharani masih bergeming dengan teriakan organisasi perempuan dan seruan para PRT di depan DPR. Padahal masa waktu untuk memperjuangkan RUU PPRT ini tinggal 4 bulan, Puan Maharani tak juga menyepakati RUU ini harus dibawa ke Bamus DPR RI dan dibahas dalam rapat paripurna DPR RI. Maka RUU ini akan diperjuangkan kembali dari awal lagi di masa pemerintahan yang baru, yang artinya memulai semua prosesnya dari nol. 

Kondisi ini akan sangat melelahkan dimana para PRT harus membuat draft baru RUU PRT karena perjuangan ini sudah memakan waktu lama, yaitu selama 20 tahun.

Dalam masa-masa kritis yang kurang lebih tinggal 4 bulan ini, maka Koalisi Sipil untuk RUU PPRT memiliki rencana melakukan serangkaian aksi di beberapa kota di Indonesia. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk kemarahan pada Puan Maharani yang tak juga segera bertindak, padahal sudah ditunggu banyak perempuan di depan DPR setiap hari.

Dukungan untuk menagih janji Puan Maharani ini, juga hadir dari para pemuka lintas iman. Para pemuka lintas iman menyadari bahwa kekerasan yang menimpa PRT merupakan masalah kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan, karena agama tidak mengajarkan kekerasan. 

Jika DPR RI tak juga mengesahkan RUU PPRT, maka kekerasan demi kekerasan akan terus terjadi pada PRT. Semakin banyak pula yang akan menjadi korban. Nilai-nilai non kekerasan ini nyata dalam ajaran agama. 

Ajaran Buddhis mendorong setiap pengikutnya untuk peka kepada penderitaan. Nilai kekristenan melarang agar orang tidak menginjak kepada yang sedang ditimpa kesusahan. Islam mempromosikan keadilan dan persamaan serta melarang semua bentuk tindakan penindasan.

Para pemuka agama ini bahkan telah berkali-kali diserukan tetapi Puan Maharani tetap mengabaikan.

Kali ini ralam konferensi pers 19 Maret 2024, para pemuka agama menyatakan bahwa agama tidak memperbolehkan kekerasan dibiarkan saja. Maka satu-satunya jalan dalam melepaskan kekerasan yang dilakukan PRT, adalah dengan mengesahkan RUU PPRT. 

Dari segi kebijakan pun jelas. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 memandatkan pemenuhan hak negara Indonesia atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-haknya, apapun pekerjaannya.  

Seluruh regulasi dan instrumen HAM secara internasional dan nasional memperkaya atau saling mempengaruhi perspektif agama dan kemanusiaan. Keduanya menjadi satu paket bagi para PRT.

Selain melakukan konferensi pers atas keprihatinan dan desakan pada Puan Maharani, para pemuka lintas iman juga akan mengadakan doa tadarusan yang rencananya akan diselenggarakan di depan DPR pada 21 Maret 2024. 

Doa tadarusan ini dilakukan oleh berbagai pemuka lintas iman, antara lain Alissa Wahid, Pater Marten Jemarut Pr, Pendeta Gomar Gultom, Nasaruddin Umar, dan lainnya.

“Undang-undang ini diperlukan agar semua tahu bagaimana memperlakukan PRT, bagaimana memperlakukan keadilan bagi PRT, karena PRT adalah orang-orang yang dilemahkan. Keluarga adalah wakil Tuhan untuk memberikan keadilan dan memperjuangkan para PRT di rumah. Semoga wakil rakyat di DPR mengesahkan ini,” ujar Alisa Wahid.

Pendeta Gumor Goltam, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)  menyatakan bahwa tidak selayaknya para PRT mengalami perbudakan modern di zaman ini. 

“Kami di persekutuan gereja-gereja, kami ikut tersakiti disini jika para PRT tidak mendapatkan haknya, mengalami kekerasan atau ketika mereka hidup terlunta atau mengalami hal yang tak wajar,” ucap Gumor Goltam.

“Ini namanya merobek hati kami, karena martabat PRT harus dihargai. Kami meminta seluruh warga gereja untuk memasukkan keadilan bagi PRT di gereja-gereja di Indonesia dan mendorong parlemen sesegera mungkin untuk membahas RUU ini menjadi UU,” jelasnya.

Berikut pernyataan Sikap Koalisi Sipil untuk RUU PPRT yang dituangkan dalam konferensi pers :

1. Sahkan RUU PPRT karena banyak PRT yang sudah menjadi korban kekerasan, agama tak boleh membiarkan adanya kekerasan.

2. Mendesak Ketua DPR RI, Puan Maharani untuk bertemu para PRT, aktivis perempuan dan aktivis lintas iman untuk mendengarkan dengan kesungguhan hati cepat mengesahkan RUU PPRT.

3. Meminta presiden untuk mendesak Ketua DPR RI agar mengesahkan RUU PPRT.

Para tokoh lintas iman mengajak masyarakat untuk melakukan doa bersama atau tadarusan mulai malam ini, 19 Maret 2024 jam 19.00 WIB di rumah masing-masing.  Selanjutnya akan diteruskan dengan tadarusan atau doa bersama pada 21 Maret 2024 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. (Ast)