Penuh Satir, Film AGAK LAEN Soroti Sensitivitas Masyarakat Marginal

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Film AGAK LAEN dibuka dengan suasana wahana pasar malam mirip seperti permainan judi rolet, yang kalah atau tidak tepat sasaran, maka si pemain yang berpakaian dan berlagak ala transpuan  lantas tercebur di bak besar penuh air berbahan kaca dan transparan. Sedangkan si pengumpan dan seluruh penonton di alam terbuka tersebut tertawa terbahak-bahak.

Nah, si pemain yang dulunya seorang napi yang ingin bekerja halal, demi pengobatan mamaknya yang sakit, malam itu kalah terus sehingga sebanyak itulah ia harus tercebur di bak. Seruan pemain agar si pengumpan menghentikan permainannya karena dia menang terus tak digubris. Sampai kesabarannya habis, ia pukuli si pengumpan bertubi-tubi. Padahal berulang kali dia bilang. "Bang, sudahlah, berhentilah, Bang. Aku sedang tidak enak badan ini." Usai tragedi pemukulan itu dia lantas dipecat. Dari tontonan ini, kita seolah-olah mahfum bahwa sebuah kekerasan telah dinormalisasi. Bahkan mendapat pujian dan mendatangkan euforia.

Apalagi korbannya adalah kelompok marginal (karakter LGBT) yang ditempatkan sebagai Liyan, memiliki double bahkan triple stigma sebagai pihak yang layak untuk di-bully/dirisak. Sudah miskin, LGBT pula. Ditambah dia seorang mantan napi. Dan  diianggap wajar sebagai korban. Itulah yang terjadi di masyarakat kita. Masih ingat tragedi Mira, seorang transpuan, pekerja seks, yang meninggal karena dikeroyok lalu dibakar hidup-hidup di Cilincing?

Meski adegan tersebut singkat tetapi sengaja ditampilkan oleh sutradara di awal film, seolah-olah menyentakkan kesadaran kemanusiaan kita. Benar tidak, kita punya sensitivitas?

Sementara itu di adegan lain, tiga pemuda : Bene Dion, Indra Jegel, dan Boris Bokir sedang mumet karena wahana rumah hantu di pasar malam yang mereka sewa diancam akan ditutup oleh sang pemilik  sebab sepi penonton dan sang juragan takut rugi. Mereka lantas mendapatkan ide setelah si Oki, yang diawal berperan sebagai  transpuan  di wahana judi rollet air tumpah. Oki mencuri sertifikat milik mamaknya dan menggadaikannya dengan cara mengelabuhi sang mamak. Uangnya untuk biaya revitalisasi wahana rumah hantu sehingga tampak lebih moncreng dan kekinian. Berharap akan dapat menyedot banyak penonton.

Iya, tak salah lagi, wahana rumah hantu menjadi ikon di pasar malam sebagai satu-satunya paling ramai. Antrean para penonton sampai mengular, duit yang diperoleh  empat sekawan pemuda Batak ini hingga berlebih-lebih. Ada yang bisa untuk mencicil biaya pesta pernikahan, ada yang bisa untuk mencicil upeti guna masuk tentara yang ternyata aksi tipu-tipu makelar. Dan ada yang beneran bisa untuk mengeluarkan si kertas sakti : sertifikat.

Anehnya bukan karena wahana rumah hantu itu habis direvitalisasi sebagai biang ramainya penonton. Tetapi oleh karena kejadian viral aksi penonton yang merekam secara live lewat media sosial. Digambarkan betapa chaos dan ngerinya wahana tersebut.

Beneran ngerikah? Ya, iyalah. Ada sebuah rahasia di sana yang membuat hantu beneran muncul. Gambaran hantu dari seorang caleg yang menghindar dari incaran si istri lantas diblusukkan oleh pacarnya karena sang istri menemukan satu percakapan di telepon si caleg yang ketinggalan di rumah. Sebagai masyarakat urban, cerita tentang hantu pocong, kuntilanak suster ngesot, lantas ditambahkon komedi slapstick atau kasar menjadikan film ini semakin berwarna.

Lantas bagaimana representasi karakter perempuan ditempatkan pada film AGAK LAEN ini? Ada artis Tissa Biani yang memerankan tokoh Marlina si penjaga loket yang akhirnya digebeti alias didekati kepala polisi. Ia berusaha bekerja secara profesional diperlihatkan dengan segera menutup acara makannya dan berpamitan ketika sedang berkencan dengan si polisi. Lantas ada Indah Permatasari yang berperan sebagai pacar si caleg. Tak berlebihan seperti film-film Indonesia zaman dulu (sebelum era para milenial menggarap film) yang selalu menggambarkan para perempuan "simpanan' (WIL) dengan karakter yang paling disoroti sangat negatif. Di film ini kalian tak akan mendapatkannya. Sebab si perempuan ini akhirnya hanya ingin pergi sejauh-jauhnya, pulang balik kampung. Juga karakter istri sah yang diperankan dengan wajar, bukan sebagai istri tertindas atau kebalikannya, istri yang dianggap "sok kuasa" pada suaminya.

Satu lagi, pujian saya berikan kepada Muhadkly Acho si penulis skenario sekaligus sutradara yang saya kira dia telah melakukan riset bagaimana melibatkan karakter seorang Tuli di film ini. Ya namanya saja genre drama komedi horor ya, tentu tak luput dari adegan-adegan lucu tetapi lucu yang tidak menyakiti hati sehingga berpotensi menimbulkan stigma. Sampai di sini paham kan?

Adegan pelibatan seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang menyertai aparat penegak hukum (polisi) di film AGAK LAEN juga tidak berlebihan atau mengada-ada. Semua natural saja. Boleh dikata ini malah semacam promosi kesadaran kesetaraan hukum pada kelompok marginal bahwa Negara hadir dan memberikan akomodasi yang layak. Sayangnya kok tidak ada sub-tittlenya.

Lewat media, saya membaca informasi jika penonton film AGAK LAEN  telah menyentuh angka 6 juta lebih. Film ini saya kira berguna sebagai media katarsis, sekadar pengalihan kepenatan hiruk-pikuk pemilu dan mampu menghibur masyarakat. Boleh dikata film ini adalah film paling banyak ditonton. Hanya sebuah film saja yang bersamaan diputar namun beda wahana dan mampu mengalahkan jumlah penontonnya di masa karut-marut negara saat ini, yakni Dirty Vote. (Ast)