Bedah Film Dokumenter Dirty Vote oleh Forum Demokrasi : How Dirty Can You Go

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Forum Demokrasi mengadakan bedah  film Dirty Vote H-1 jelang pencoblosan, Selasa (13/2). Dipandu oleh pengarah Gardu Pemilu ,Mayadina, Wakil Dekan UNU Jepara dan aktif mendampingi perempuan dan anak, diskusi yang dihadiri 1000 peserta via zoom meeting mendatangkan beberapa narasumber.

Dandhy Laksono menyatakan bahwa ini film keempat dan bertujuan untuk edukasi dan membangun kesadaran publik. Saat diskusi digelar sudah ditonton 7 juta hampir 8 juta. Di antara pemilu ke pemilu ia juga bikin film lain.

Untuk kali ini ia akui agak berbeda dan baru membincangkan dan merencanakannya selama 3 Minggu. Film Sexy Killers pun sebenarnya membuatnya juga amat pendek, Januari 2019 dan Pemilu berlangusng April 2019. Syutingnya beberapa tahun sebelumnya.Menurut Dandhy saat paling tepat rilis film ketika para oligarki bertarung di pilpres. Kenapa peluncuran di minggu tenang? Menurutnya sebab tepat waktunya bagi masyarakat sipil untuk "gantian ngomong" di podium.

Dandhy menyampaikan bahwa yang ia dan kawan-kawan sampaikan di film Dirty Vote bisa diuji, bahkan bisa di-trace, dan validasi. Ia merasa demokrasi Indonesia mundur. Indonesia ada standar baru yang terus turun, dan ini kemudian jadi isu. Berita-berita itu seperti peristiwa yang awam anggap "okelah " bahwa harus move on." Kita bertaruh antara kepentingan pragmatis. Hilangnya standar demokrasi. Penting untuk mengurusi masalah dan mengumpulkan kejadian timeline selama proses awal pemilu setiap hari,"jelas Dandhy.

Dandhy menambahkan bahwa syarat menjadi presiden itu seperti dipermudah demi seseorang lolos. Bagian yang ingin ia sampaikan sesungguhnya yang dianggap normal atas nama pemilu, yang berlangsung jangan sampai dilupakan sejarah. Andai hajatan rutin ini dianggap sebagai nasib buruk, maka harus kita terima. "Pilihan kita untuk menunjukkan pemilu itu harusnya sebagai beban kerja yang berat,"katanya.

Awalnya ia melihat beberapa riset termasuk di Themis lalu berbicara pada beberapa teman salah satunya Feri Amsari kemudian ia menghubungi Bivitri. Kemudian ada usulan untuk menambahkan Zainal Arifin Mochtar. Tiga orang ini satu circle. Mereka pro bono. potluck, semua transparan dan semua kolaborator dicantumkan. Dandhy akui ssemua "jump in" dalam produksi ini dan tiga hal jadi catatan : pertama data dan informasi solid, bintang film berintegritas dan kru yang solid.

Abdul Gaffar Karim, dewan pengarah Garda Pemilu mempertanyakan apa makna film ini bagi masyarakat?  Menurutnya film ini keren dan menandai titik kulminasi otorianisme. Bagaimana selama ini Presiden Joko Widodo menggunakan jurus "pangkon". orang yang kritis sedikit didekati, pendekatan sangat Jawa sekali. Ia menceritakan sewaktu di sebuah diskusi ada yang bertanya apakah perlu ada mediasi setelah 60 perguruan tinggi melakukan aksi lalu  menjawab tidak ada Public Sphere dan pemerintah menganggap Voice menjadi Noice.

Film Dirty Vote menjadi penanda voice tidak mau dikatakan moice. Momentumnya hanya tiga hari jelang pencoblosan. yang terkini departemen. politik UGM. meminta dosen mereka untuk pulang, "Didik kami tentang demokrasi."

Poin penting film ini harapannya adalah ini pembelajaran dalam demokrasi voice tidak boleh dianggap noice dan tidak boleh di-cancel. Sebab kalau tidak, maka itu akan menumpuk atau meledak. Ia salut atas kerja cepat yang bagus dan fenomena sejarah yang sangat penting.

Koordinator Gusdurian, Alissa Wahid mengatakan bahwa film ini titik penting demokrasi yang juga dihadirkan fakta pemilu pemilu lalu. Menurutnya ini tentang Kebebasan berpikir dan berpendapat. Data-data dalam Dirty Vote menunjukkan secara sistematis alat menunjukkan kekuasaan dan ada banyak hal yang terjadi sebelum hari ini. Ia mengimbau sebagai warga negara harus mengawasi "sekrup" dan "baut" di panggung itu (pemilu).

Alissa menegaskan GusDurian tidak berpolitik praktis. kalau kemudian mengangkat film Dirty Vote itu kewajiban karena sudah mendaku pejuang demokrasi. Kalau pejuang demokrasi tidak bersuara itu karena terkait etika berbangsa padahal kata Gus Dur demokrasi bukan aturan kelembagaan, bukan sekadar aturan KPU yang dilanggat atau putusan MKtapi demokrasi itu memastikan bahwa cita-cita berbangsa melalui pemerintah yang amanah dan bagaimana lembaga negara dan formalitas yang ada digunakan.

Bivitri Susanti, salah satu pemain dalam film Dirty Vote yang juga seorang dosen menyatakan kegundahannya bagaimana para guru besar, profesor, yang sudah mengajar banyak orang ketika memberikan pandangannya tentang demokrasi dikecilkan oleh tiktok yang hanya berdurasi semenit. Ia juga mengakui bertiga sering membicarakan. kecurangan pemilu. Bahkan ia sering menjadi pembicara di podcast selama sejam, atau 20 menit di seminar.  Menurutnya orang-orang hanya tahu dengan potongan potongan saja. Selama 75 hari disibukkan dengan berbagai hal ini dan itu, lalu timbul pertanyaan. 'oke demokrasi kita itu lagi dimana."

Bivitri menulis di Tempo tetapi orang banyak yang tidak membacanya dan dikalahkan dengan joget-joget. Memang terpikir untuk membuat sesuatu, lalu datanglah idenya dari Dandhy. Tujuannya supaya orang tidak di-distraksi. Memang harus dirangkaikan dengan film dan cara pandangnya jadi seperti helikopter view.

Bivitri menegaskan bahwa melihat kritik tidak hanya dengan menilai ini debat kesatu bagaimana debat kedua terus bagaimana. Sebab dia dan kawan-kawan lainnya harus menaruh dalam satu cerita dan film adalah media untuk itu. ""Kami tidak membicarakan paslon tetapi kekuasaan yang disalahgunakan. Memilih itu hak, jangan takut dihukum kalau golput. Memilih itu HAM. Saran saya tetaplah ke TPS,"jelas Bivitri.

Ia menambahkan jika politik itu bukan sesuatu yang menjijikan kalau orang-orang yang bekerja di dalamnya ada value atau nilai. (Ast)