Berharap Para Capres Beri Gagasan tentang Akar Masalah Pendidikan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Gagasan program pendidikan yang selama ini diusung oleh masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2024 ternyata tidak menggambarkan realitas yang ada di masyarakat.

Ubaid Matraji, dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dalam diskusi bedah gagasan capres tentang akar masalah pendidikan yang dihelat oleh Sabahat ICW dan JPPI, Jumat (2/2) mengatakan beberapa waktu terakhir ramai dibicarakan ada ratusan mahasiswa ITB gagal bayar dan kena pinjol. Ini artinya biaya pendidikan menjadi masalah bagi warga Indonesia. Meski UUD 45 mengatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan hak sama untuk mendapatkan pendidikan dan layanan pendidikan dari pemerintah yang berkualitas dan berkeadilan. Namun kenyataannya yang bisa berkuliah hanya orang-orang kaya sedangkan yang tidak mampu kena pinjol.

Terkait masalah yang sedang ramai di ITB, ironisnya ternyata pinjol yang digunakan ITB juga bekerja sama dengan universitas lain. Menurut Ubaid, sejak adanya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, negara telah melepaskan amanat mereka supaya memberikan layanan pendidikan dengan berbasis HAM. Negara melepaskan tanggung jawab dan kemudian apa yang oleh masyarakat kemudian disebut liberalisasi pendidikan itu.

Pertanyaannya adalah apakah ada capres dan cawapres yang berbicara dan menegaskan di level pendidikan dasar dan menengah sejak tahun 2012 dalam RPJMN jadi kebijakan Kemendikbudristek. Sebab wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun tetapi sampai tahun 2023 rata-rata lama bersekolah masih di 8 tahun . Artinya SMP saja tidak lulus. Padahal waktu pencanangan wajib belajar 12 tahun di 2012 lama sekolah 7 tahun.

Kemudian dibuat anggaran APBN dan APBD 20 % alokasi untuk pendidikan ternyata setelah 10 tahun hanya mampu menaikkan. 1 %. Itu artinya yang dicanangkan Indonesia Emas 2045 tidak tercapai karena belum ada dampak dari itu (wajib belajar).

Ubaid menambahkan Indonesia di level Asean sebenarnya sudah seperti apa terkait pendidikan ini dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena ternyata Indonesia masuk 15 negara dengan skor PISA terendah dari 80 negara yang disurvey.

Bahkan di PISA ada 3 level : di atas rata-rata, sesuai rata-rata dan bawah rata-rata. Pada tahun 2012 Indonesia masih jauh dan berada di bawah rata-rata dunia. Ini artinya apa yang kemudian harusnya dijawab di hari ini (menjadi program capres).

Lalu apa yang bisa diperbuat? DKI Jakarta yang merupakan provinsi dengan jumlah anggaran pendidikan terbesar ternyata pendidikan tingkat dasar dan sebagai sekolah terbanyak di Indonesia perlu diperbaiki. Kedua soal kesejahteraan guru yang jadi perhatian. Ada hal yang menarik ternyata peningkatan gaji guru tidak bisa
dipisahkan guru yang bersertifikasi dan guru yang belum.

Kemudian apa yang menjadi faktor? Apakah dengan menaikkan gaji secara otomatis kinerja akan meningkat. Bagi paslon 03, notabene orang yang bergelut langsung dengan kebijakan, di Jateng dan di Solo misalnya, bagaimana mengimplementasikan pendidikan yang bebas biaya. Namun terjadi diskriminasi pendidikan dan ini di Solo. Kemudian ada kasus  bOrangtua melakukan Juditial Review mengapa pasal 31 UUD 45 diskriminasi. Rata-rata mereka harus masuk sekolah swasta dan berbayar mahal. khusus di jenjang menengah SMA, SMK dan MA.

Juga terkait tingginya angka kekerasan khususnya kekerasan seksual belum ada satgas TPKS di Solo. Justru di dinas PPPAKB di provinsi ada upaya-upaya sosialisasi. Baik di Jakarta maupun Jateng data di peradilan agama tahun 2020-2023 menunjukkan ada peningkatan angka permohonan dispensasi nikah.

Kembali ke masalah di atas untuk pemerataan kesejahteraan dan keadilan menurut Ubaid, harusnya mahasiswa yang kena pinjol dapat KIP. Mereka yang harusnya dijadikan penerima manfaat yang sesungguhnya. Bukan malah melanjutkan skema pinjol lalu membolehkan,/mengesahkan. (Ast