Tujuh Tuntutan Perempuan untuk PEMILU yang Berdaulat sesuai Azas Demokrasi, Keadilan dan Kesetaraan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jakarta-Setelah mempelajari agenda politik, visi-misi, kampanye dan rencana program para calon Presiden/Wakil Presiden Indonesia untuk periode 2024- 2028, kami, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menyerukan Deklarasi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM.

Deklarasi ini merupakan bentuk tanggung jawab atas kondisi demokrasi yang genting yang disebabkan oleh terabaikannya pembahasan mendasar bagi kepentingan kaum perempuan beserta kelompok rentan, diantaranya anak, orang dengan disabilitas, lansia, masyarakat adat, suku minoritas, kasta, ras, agama, keyakinan yang secara kultur dan struktur terkondisikan menjadi kelompok rentan dan rawan diskriminasi maupun kriminalisasi.

Deklarasi ini disuarakan oleh lebih dari 30 organisasi perempuan dan intelektual yang prihatin atas lemahnya keberpihakan dalam visi, misi serta agenda yang diusung sebagaimana disuarakan dalam debat calon presiden atau dalam lembaran visi-misi mereka. Sumbangan pemikiran ini berangkat dari pengetahuan, pengalaman, analisis berbasis bukti dari proses beraktivitas dalam ragam bidang, isu, tingkatan dan pendekatan. Aktivitas penilaian kami telah dikembangkan melalui kesadaran kritis atas prinsip kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Bahwa perwujudan demokrasi hanya mungkin terjadi jika separuh dari penduduk negeri ini (perempuan dalam segala usia dan kelas sosial) benar- benar ikut memutuskan dalam mewujudkan visi-misi dan program para kandidat presiden dan wakil presiden serta pembantu mereka kelak setelah terpilih.

Deklarasi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab moril kami dalam mengawal demokrasi yang selama beberapa tahun telah terjadi pembiaran dan penyimpangan proses-proses berdemokrasi yang berdampak langsung atau tidak langsung pada terhambatnya pencapaian keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Deklarasi ini disampaikan bertepatan dengan 95 tahun Gerakan Perempuan Indonesia yang lahir ketika berlangsungnya Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta, 22 Desember 1928. Peristiwa itu yang kemudian diperingati sebagai “Hari Perempuan” atau “Hari Ibu” merupakan momentum sejarah dari gerakan perempuan di saat kaum perempuan Indonesia menetapkan sikap politik mereka bahwa perempuan Indonesia adalah manusia bebas (merdeka), berdaulat, setara dan bermartabat.

Namun dalam peringatan Hari Gerakan Perempuan ke 95 di tahun 2023 ini, para kandidat presiden Indonesia telah menunjukkan sikap politiknya yang mengabaikan cita-cita kaum perempuan sebagaimana telah tercatat dalam sejarah gerakan perempuan. Mereka tidak mengindahkan agenda politik yang terkait dengan hak-hak perempuan yang dilanggar baik dalam pelanggaran HAM di

ruang publik maupun privat, pelanggaran HAM pada kaum perempuan utamanya di Papua dan wilayah-wilayah konflik vertikal dan horisontal, dan pelanggaran HAM berat yang juga menimpa kaum perempuan di masa lampau dan saat ini yang seharusnya menjadi bagian integral dari tema yang dibahas dalam debat dengan tema Hak Asasi Manusia itu.

Kondisi ini membuat kami menyatakan sikap dengan memetakan 7 (tujuh) catatan kegentingan perempuan sebagai berikut:

1. Rawannya Demokrasi: nepotisme, oligarki korupsi dan penyalahgunaan kewenangan melalui hukum dan perapuhan lembaga-lembaga demokrasi (MK, KPK, dll)
Kegentingan demokrasi ditandai dengan situasi politik saat ini yang mencerminkan praktik pelanggaran etika politik, korupsi dannepotisme. Hal ini berdampak pada buruknya agenda keadilan gender di Indonesia. Politik yang menyalahkan pihak lain tanpa data dan berbasis prasangka (stigmatisation and stereotyping) adalah politik yang tidak berintegritas dan menghasilkan kecacatan demokrasi. Jika hal ini dibiarkan maka hasilnya adalah bencana politik, utamanya bagi kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya yang mengalami ketidaksetaraan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

2.  Hak Sipil dan Politik Perempuan atas representasi perempuan di Parlemen dan situasi perempuan pembela HAM
Secara statistik, perempuan adalah pemilih terbesar. Mereka merupakan penyumbang dari keberhasilan proses berdemokrasi dalam Pemilu yang terbukti sangat aktif dalam proses pemungutan suara atau dalam memastikan berjalannya Pemilu yang aman dan damai. Untuk itu kami menuntut agar penyelenggaraan Pemilu tidak menggunakan pendekatan-pendekatan militeristik yang represif, intimidatif serta penyalahgunaan bantuan sosial.

Norma gender, beban sosial dan kultural serta diskriminasi gender berlapis yang dialami perempuan kurang dianggap sebagai penyebab minimnya partisipasi perempuan dalam politik di ruang publik. Padahal hal itu telah berpengaruh pada rendahnya representasi keterwakilan perempuan dalam kelembagaan publik. Situasi itu menyebabkan sulitnya menyuarakan kepentingan perempuan baik untuk kepentingan masyarakat secara luas atau untuk kepentingan mereka yang beragam berdasar suku, ras, agama, keadaan fisik/mental, ekonomi dan sosialnya.

Sementara itu, upaya affirmative action yang dijamin oleh UU No. 7 tahun 1984 sebagai ratifikasi Konvensi CEDAW seringkali dihambat oleh kepentingan politik partai yang patriarkis dengan meletakkan isu perempuan sebagai isu pelengkap. Atau melancarkan kepentingan politik dinasti tanpa mempertimbangkan kualitas dan rekam jejak dalam aksi pemberdayaan perempuan dan demokrasi. Akibatnya keterwakilan perempuan tidak benar-benar mampu menyuarakan kepentingan perempuan secara subtantif. Sebaliknya pembatasan berbasis diskriminasi gender yang tak kentara telah menghambat pencalonan perempuan kritis secara sistematis, termasuk dalam pelanggengan prasangka gender dan ongkos politik yang luar biasa mahal, menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam kemungkinan menjadi wakil yang bermutu atau mencapai jabatan pemimpin publik.

Pelanggaran HAM berbasis gender berupa intimidasi dan kekerasan juga dialami perempuan pembela HAM, dan pembela hak-hak ulayat terkait akses atas kepemilikan dan pengelolaan tanah untuk kehidupan. Mereka mengalami hambatan atas hak tenurial lahan, wilayah kelola perempuan yang diperhadapkan dengan ekspansi industri raksasa ekstraktif dan sawit yang dilakukan dengan stigma sebagai penghalang kepentingan negara. Pada kenyatannya mereka adalah para pembela hak-hak korban yang mengalami intimidasi berlapis. Para pembela HAM itu

harus berhadapan dengan ragam kekerasan mental dan fisik, penangkapan (penjara), dan rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

3. Pemiskinan perempuan
Pemiskinan berbasis gender berlangsung secara sistematis yang berangkat dari asumsi yang bias gender seperti pendataan keluarga berbasis kepala keluarga (lelaki). Demikian halnya dalam pendataan sentralistik yang tak disertai akses informasi bagi perempuan dalam pemutakhiran data. Akibatnya banyak perempuan kehilangan akses mereka pada bantuan yang menjadi hak mereka.

Hal serupa terjadi pada kebijakan pemberdayaan ekonomi bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal. Secara statistik sektor informal skala rumah tangga merupakan tempat kaum perempuan mencari penghidupan sambil mengelola rumah tangga dalam ragam status perkawinan mereka. Namun sektor ini seringkali didekati sebagai kegiatan usaha kaum lelaki semata dengan asumsi yang bias gender. Bantuan pemberdayaan melalui UMKM seringkali tak menimbang kepentingan dan keterbatasan langkah perempuan akibat peran sosialnya. Akibatnya UMKM tidak mampu mendeteksi hambatan yang dihadapi perempuan sebagai pengusaha kecil seperti hambatan kultural dan struktural berbasis gender. Keterbatasan pendidikan dan penguasaan menggunakan digital, keterbatasan akses mereka kepada internet, tidak dilihat sebagai hal yang membutuhkan jalan keluar dengan pendekatan yang responsif gender.

Pemiskinan perempuan yang lain terjadi pada pekerja rentan dalam rezim patriarki dan rezim upah murah dengan berbagai eksploitasi di domestik dan area kerja publik. Dalam dunia perburuhan, pekerja perempuan baik formal maupun sektor yang diinformalkan (Pekerja Rumah Tangga/ PRT, pekerja rumahan, pekerja berbasis online, pekerja freelance, buruh lepas, petani dan nelayan) adalah kelompok rentan mengingat kebijakan perburuhan yang ada tidak menjamin hak-hak mereka sebagai buruh dan perempuan. Kerentanan buruh perempuan ini dilanggengkan dengan sistem upah murah, eksklusivitas perlindungan sosial dari jaminan sosial, bantuan sosial dan layanan sosial yang tidak berbasis pada realitas income keluarga miskin, sekaligus pelanggaran hak reproduksi perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan.

Secara lebih komprehensif kemiskinan perempuan termanifestasi dalam hilangnya hak pada kehidupan yang layak, seperti hak atas perlindungan sosial dari rahim sampai wafat, termasuk penghasilan minimal untuk semua perempuan di sektor formal maupun informal terlepas dari status perkawinan mereka.

4. Pengabaian atas kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi perempuan
Terjadi pengabaian negara terhadap pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi/ HKSR seperti tak tersedianya layanan informasi menyeluruh bagi perempuan, termasuk remaja, serta aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Pelanggaran itu dilakukan dalam bentuk kriminalisasi atau pemerasan terhadap perempuan (klien, korban, dan kelompok rentan) serta para pemberi layanan. Dalam isu sunat perempuan, Indonesia mecatat, satu di antara dua perempuan berusia di bawah 14 tahun mengalami berbagai bentuk pemotongan, perlukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis (Survei Riskesdas, 2013). Situasi itu makin memprihatinkan akibat proses medikalisasi pada sunat perempuan. Indonesia telah mengikrarkan untuk pemenuhan HKSR yang dijamin oleh negara, bebas dari diskriminasi dan kriminalisasi, namun ikrar itu belum memadai untuk terpenuhinya hak reproduksi perempuan.

Persoalan lain terkait HKSR dan kesehatan adalah sulitnya akses layanan kesehatan meskipun sudah ada BPJS. Antara lain disebabkan oleh kurangnya layanan kesehatan seperti Puskesmas di

daerah-daerah dengan layanan yang responsif gender, responsif pada perempuan dengan disabilitas terutama disabilitas mental, dan lansia.

Pelanggaran hak reproduksi juga dipicu oleh meluasnya pandangan fundamentalis yang memaksakan perempuan menjalankan reproduksi mereka tanpa jeda, tanpa batas dan tanpa menimbang kesanggupan manusiawi mereka serta akses menggunakan kontrasepsi.

Tanpa kepedulian pada isu perempuan, kami melihat para calon presiden telah mengabaikan banyak masalah seperti pelanggaran hak hidup anak untuk berkembang, angka perkawinan anak yang tidak turun meski usia perkawinan anak secara hukum sudah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Sementara itu penanganan stunting yang tak menimbang soal relasi kuasa akses dan kontrol perempuan pada ekonomi keluarga hanya menjadikan program ini sebagai program yang tak sanggup mengatasi akar masalah stunting seperti ketimpangan gender, buruknya status gizi yang antara lain disebabkan oleh rendahnya pemahaman (kaum lelaki) tentang gizi itu sendiri dan hambatan perempuan dalam pengambilan keputusan.

5. Ketidakadilan iklim, politik lingkungan eksploitatif, ketidakadilan pangan dan transisi energi yang meminggirkan perempuan
Oligarki politik yang pro-investasi dalam skala besar telah menguras sumber daya alam, menggerus keanekaragaman hayati, menyumbang pada krisis iklim, menghancurkan pengetahuan dan ruang hidup perempuan adat dan perempuan lokal di wilayah daratan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Hal itu mendorong terjadinya ketidakadilan agraria dan ketidakadilan pangan yang berkelindan dengan ketidakadilan gender. Secara kumulatif hal ini telah berkontribusi pada pemiskinan perempuan, perkawinan anak, kekerasan fisik dan psikis, dan masalah stunting sistemik.

Proyek-proyek besar yang diklaim sebagai bagian dari pemberdayaan lokal yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi masalah pangan dan upaya transisi energi, didominasi oleh kepentingan industri, terbukti tidak ramah lingkungan dan mengabaikan hak-hak perempuan adat dan perempuan lokal, serta semakin memiskinkan perempuan yang kehilangan sumber- sumber kehidupannya. Walhasil, tanpa pilihan perempuan menjadi tenaga kerja migran ke luar negeri yang berjuang demi menyelamatkan kelangsungan keluarga dengan kondisi yang juga rentan terhadap perdagangan orang.

6. Keberagaman Identitas dan interpretasi yang mendiskriminasi Perempuan
Pembiaran pelanggaran kebebasan sipil dan politik termasuk pelembagaan tafsir agama yang dibiarkan melanggar hak asasi dasar melalui perundangan dan Perda diskriminatif, dengan dalih implementasi mandat otonomi daerah, masih menjadi persoalan yang sangat serius bagi perempuan di daerah-daerah.

Pengabaian negara ini dapat dilihat dari minimnya pemenuhan hak layanan dasar kelompok rentan perempuan dengan ragam identitas gender, suku, ras, agama dan kepercayaan. Layanan dasar tersebut meliputi layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, administrasi kependudukan, akses terhadap berbagai bantuan pemerintah, akses pinjaman ke bank, dan lainnya.

Pengakuan negara terhadap pilihan agama dan keyakinan selain enam agama yang diakui, serta pengabaian atas fakta keberagaman gender yang tak ditimbang sebagai prinsip dalam hak asasi manusia sepanjang tak melanggar hukum, tak dipersoalkan sebagai pelanggaran HAM oleh para kandidat. Sikap itu bisa diartikan sebagai persetujuan pada sikap negara yang diskriminatif atau setidaknya tak menganggap hal itu sebagai persoalan mendasar dalam demokrasi. Padahal

semua itu merupakan bagian dari kerentanan pada kelompok minoritas yang tak memiliki kepastian hukum, jaminan keamanan serta akses pada keadilan. Tanpa adanya sikap politik yang jelas saat ini, maka pada masa yang akan datang mereka rentan mengalami ancaman dalam jaminan keadilan yang akan dengan mudah menjadi korban kekerasan horizontal dan diskriminasi, baik dilakukan oleh negara, masyarakat maupun aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung.

7. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa lalu yang Tak Tuntas
Masih minimnya data yang dimiliki negara tentang jumlah para perempuan yang mengalami tindak kekerasan pada peristiwa 65 menunjukkan bahwa isu gender dalam pelanggaran HAM kurang mendapat perhatian. Padahal kekerasan yang mereka alami telah menghilangkan martabat mereka sebagai manusia dan sebagai perempuan. Kini, diantara mereka sudah banyak yang wafat dan usia sangat lanjut, mereka hidup sendiri, terkucil dan tanpa akses ekonomi baik karena tidak diterima oleh keluarga dan lingkungannya atau karena stigma sebagai PKI yang terus menjadi momok. Demikian halnya dengan kekerasan seksual kepada perempuan terutama etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 sampai saat ini belum tertangani secara hukum. Para korban pelanggaran HAM berat di Aceh pun menunggu tindak lanjut negara, terlebih setelah penyerahan laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh kepada Sekretariat Presiden dan DPR Aceh. Dugaan berlakunya kekebalan hukum kepada para pelaku dan otak pelanggaran HAM berat tak dapat dibiarkan tanpa pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban. Penyelesaian non-judicial tidak cukup, karena akan mengekalkan impunitas.

Dengan kondisi kegentingan ini, maka kami Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menuntut:

 

1. Ditegakkannya demokrasi dan supremasi hukum serta pelaksanaan pemilihan umum baik legislatif maupun pemilihan presiden langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta menjamin netralitas TNI, POLRI, Aparatur Sipil Negara. Kami menuntut penyelenggara pemilu yang berkompeten, berintegritas dan melindungi hak perempuan.

 

2. Untuk perwujudan cita-cita keadilan, para calon presiden dan wakil presidan wajib menjamin pemenuhan hak sipil dan politik perempuan serta representasi perempuan di parlemen dan pemenuhan HAM sebagai agenda prioritas.

 

3. Calon presiden dan wakil presiden menempatkan penghapusan praktik pemiskinan perempuan dan memastikan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya; memberi dukungan terhadap pelaku UMKM, perlindungan bagi pekerja infomal baik pekerja rumahan, memastikan adanya UU perlindungan pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja perawatan dan pengasuhan tak berbayar serta memberikan perlindungan sosial yang komprehensif.

 

4.  Calon presiden dan wakil presiden menindaklanjuti implementasi UU TPKS, pembuatan peraturan turunan serta memperkuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi semua perempuan dan semua perempuan korban kekerasan seksual.

 

5. Calon presiden dan wakil presiden berjanji untuk menerbitkan kebijakan tentang keadilan iklim, penghapusan praktek pengelolaan lingkungan yang eksploitatif serta menyusun Rencana Aksi Nasional perubahan iklim yang responsif gender, inklusi disabilitas dan inklusi sosial.

6. Menghapuskan praktik semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, perempuan lanjut usia, kepala keluarga, dan perempuan marjinal lainnya.

 

7.   Penuntasan penyelesaian pelanggaran 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara termasuk kekerasan seksual pada perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

 

Jakarta, 22 Desember 2023

 

Deklarator Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM

 

1.  Abby Gina (Yayasan Jurnal Perempuan)

2.  Anis Hidayah (Komisioner Komnas HAM)

3.  Armayanti Sanusi (Solidaritas Perempuan)

4.  Atas Hendartini Habsjah (Wakil Ketua PKBI-Pusat Periode 2010-2018)

5.  Aufa Hanifah (Perempuan Content Creator)

6.  Budhis Utami (KAPAL Perempuan)

7.  Henny Supolo (Yayasan Cahaya Guru)

8.  Ika Ayu (Ketua Save All Women and Girls)

9.  Indri Sri Sembadra (KAPAL Perempuan)

10.  Justin Anthonie (Jaringan SDGs)

11. Khusnul Khotimah (Pendamping Pengorganisasian Perempuan Miskin Kota)

12. Lies Marcoes (PUAN Amal Hayati)

13.  Listyowati(Kalyanamitra)

14. Lita Anggraini (Jala PRT)

15.  Luviana (individu)

16.  Magdalena Sitorus (Komisioner Komnas Perempuan 2015-2019)

17.  Mia Siscawati (Prodi Kajian Gender SKSG UI)

18.  Mike Verawati (KPI)

19.  Misiyah (KAPAL Perempuan)

20.   Musdah Mulia (ICRP)

21.   Mutiara Ika Pratiwi (Ketua Perempuan Mahardhika)

22.  Mutya Gustina (Kaukus Perempuan Muda)

23.   Nanda Dwinta Sari (Yayasan Kesehatan Perempuan)

24.  Pera Sopariyanti (Rahima)

25.  Ratna Batara Munti (Asosiasi LBH APIK Indonesia)

26.  Romlawati (Yayasan PEKKA))

27.  Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan)

28.   Vivi Widyawati (Perempuan Mahardika)

29.  Yuni Sri Rejeki (KePPaK Perempuan)

30.   Yuni Warlif (Solidaritas Perempuan)

31.   Yuniyanti Chuzaifah (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2010-2014 dan 2015-2019)

32.   Yusnaningsi Kasim (Koordinator Sekolah Perempuan Nusantara)

33.    Zumrotin K. Susilo (Yayasan Kesehatan Perempuan)