Jaringan Visi Solo Inklusi Gandeng YAPHI Diskusikan tentang Perempuan Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) adalah momentum setiap tahun untuk menggaungkan kembali gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Peringatan 16 HAKTP dimulai pada tanggal 25 November sebagai hari Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan diakhiri pada tanggal 10 Desember sebagai hari HAM. Rangkaian peringatan ini diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa upaya menghapus kekerasan khususnya terhadap perempuan adalah salah satu bagian dari penegakan hak asasi manusia.

Mendobrak Bias, Menguatkan Sintas menjadi tema yang dipilih oleh Yayasan YAPHI untuk direfleksikan dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) pada tahun 2023. Tema ini dipilih melihat banyaknya fenomena yang masih menampakan sikap Bias Gender mulai dari Masyarakat sampai kepada Aparat Penegak Hukum dan juga Lembaga pemerintah.

Tidak dipungkiri, pandangan bias gender masih tebal seiring dengan budaya patriarki yang terlanjur mengakar kuat. Kalimat seksis yang masih sering diucapkan dengan alasan guyonan, perilaku patriarki yang masih saja dilanggengkan, dan kebijakan-kebijakan negara yang masih menggunakan kesetaraan sebagai formalitas tanpa merasuki substansi dan implementasi.

Inilah yang menjadi alasan banyaknya kasus kekerasan berbasis gender yang tidak kunjung selesai. Fakta ini yang menjadikan kata ‘mendobrak bias’ bukan lagi menjadi kata yang terdengar melebih-lebihkan, namun memang menjadi Gerakan yang penting untuk terus digaungkan dan dimulai dari diri sendiri.

Kekerasan berbasis gender sudah meninggalkan luka dan trauma bagi siapa saja yang pernah mengalaminya. Korban yang harus berproses dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, sebuah proses penerimaan yang tentu tidak mudah. Sehingga gerakan Mendobrak Bias harus beriringan dengan penguatan kepada para korban dan juga penyintas.

Berbicara mengenai kekerasan berbasis gender juga tidak bisa terlepas dari isu Perempuan disabilitas yang memiliki kerentanan ganda terhadap kekerasan. Perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan kerap kali mengalami banyak kendala dan hambatan dalam proses penyelesaian kasusnya dan dalam hal akses terhadap hak-haknya sehingga harapan untuk segera pulih pun semakin terasa jauh untuk dicapai.

Berbagai upaya untuk menguatkan dan juga advokasi mengenai kebijakan dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh orang dengan disabilitas khususnya anak dan Perempuan masih harus secara massif dilakukan. Dalam momentum peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan YAPHI Bersama Jaringan Visi Solo Inklusi terdorong untuk melakukan upaya kampanye berkaitan dengan perlindungan dan penguatan kepada perempuan dan anak korban kekerasan

 

Diskusi Hadirkan Penyintas dan Perempuan Difabel Aktivis

Diskusi Jaringan Visi Solo Inklusi yang didukung oleh Yayasan YAPHI menghadirkan Purwanti atau biasa dipanggil Ipung. Mengawali pembicaraan, Ipung mengatakan di awal-awal ia menjalani gerakan aktivisme di isu perempuan dan disabilitas, ia lebih dulu berkenalan dengan lembaga YAPHI. Ia belajar tentang hukum dan bagaimana mengembangkan organisasi. Ia mengibaratkan seperti digodok di dalam kawah candradimuka. Saat ini Ipung bekerja di lembaga Sigab Indonesia.

Ipung kemudian memberikan paparannya terkait perempuan disabilitas bahwa perempuan disabilitas itu mengalami tiga stigma bahkan bisa lebih, dengan identitas berlapis-lapis. Perempuan difabel mendapatkan stigma sebagai kanca wingking, harus tunduk kepada suami, tidak menjadi subjek hukum, dan tidak berdiri sebagai subjek hukum tunggal. Itu semua melekat pada perempuan disabilitas. Perempuan disabilitas tidak mendapat kesempatan belajar dan bekerja serta memilih kehidupan. Perempuan disabilitas diposisikan sebagai miskin. Ia mengalami penindasan tidak hanya di sektor negara tapi keluarga. Bahkan juga dialami pula oleh perempuan bukan disabilitas tetapi memiliki anak disabilitas.

 

Stigma...stigma...stigma

Kesenjangan perempuan disabilitas di bidang pendidikan sangat kentara. Ipung pernah menemui kasus  kurikulum yang diajarkan di SLB sama dengan pelajaran SD dan disabilitas sendiri tidak melakukan penolakan. Padahal disabilitas dalam kondisi dan kapasitas tidak dapat melawan itu. Jika pada kasus-kasus kekerasan pada perempuan diabilitas bahkan dipakai cara smooth dengan dipacari dulu.

Lain lagi cerita yang disampaikan oleh Warsi, seorang difabel fisik yang memiliki anak perempuan dan menjadi korban kekerasan seksual. Saat melaporkan kepada kepolisian tentang kasusnya, ia tidak dianggap oleh polisi saat itu. Peristiwa itu terjadi sekitar lima tahun lalu. Ia benar-benar merasa sendiri untuk memperjuangkan nasib anaknya. Apalagi stigma kembali datang justru  datang dari lembaga pendidikan yakni sekolah tempat anaknya menuntut ilmu. Anaknya pernah diancam dikeluarkan dari sekolah. Perlakuan ketidakadilan yang diterima Warsi bisa jadi karena dia seorang perempuan dan disabilitas. Peminggirannya sebagai ibu dari korban merupakan praktik bahwa saat itu diskriminasi kepada perempuan disabilitas itu ada dan sampai saat ini pun masih ada bahkan sering dijumpai. (Adi C. Kristiyanto, Ast)