Diskusi Mendobrak Bias, Menguatkan Sintas Bersama Yayasan YAPHI dan Komasipera

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) Yayasan YAPHI di akhir November lalu ,Vera Kartika Giantari, aktivis perempuan, melakukan pembacaan lagi terkait diskusi acara Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera) sebelumnya dan sudah mendapatkan gambaran atas persoalan-persoalan di wilayah lima kecamatan Laweyan, Jebres, Pasar Kliwon, Serengan, dan Banjarsari. Hingga memetakan persoalan pada anak yang muncul di lima wilayah di atas. Beberapa kasus anak yang terjadi adalah  kasus anak putus sekolah, anak yang tidak punya akte kelahiran. Penganiayaan anak dan kasus kekerasan seksual anak muncul pula di Kecamatan Jebres.

Kasus penganiayaan anak muncul di hampir semua kecamatan. Juga kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pernikahan  dini (pernikahan anak) yang sejak pandemi meningkat. Pada remaja kasus yang muncul adalah kasus kriminalitas dan narkoba.

Dalam diskusi juga mengurai apa saja ragam kekerasan dan lebih spesifik lagi dengan mengurai lagi. Seperti menerjemahkan arti kata serangan fisik yang berkonotasi bertujuan untuk menyakiti yakni cubitan menyakiti, pukulan menyakiti dan serangan psikis : harga diri direndahkan, martabat direndahkan. Lebih spesifik lagi, emosional, mental/psikologisnya bisa  down. Selain psikis dan fisik, ada juga kekerasan khusus  karena biasanya terjadi pada perempuan dan anak-anak,  yakni menyerang seksualitasnya : bisa bermacam-macam tidak harus alat seksual tapi tubuhnya. Secara verbal pun juga bisa dan yang diserang verbalnya.

Mereka termasuk perempuan dan anak yang tinggal di daerah konflik misalnya di daerah konflik agraria yakni di daerah pertambangan atau perempuan dan anak yang diperdagangkan sebagai pekerja seksual lewat media sosial.

Lalu apakah kekerasan itu tunggal? fisik saja? atau psikis? Kekerasan psikis misalnya diancam, direndahkan, kata-kata kotor, dikucilkan,dijauhkan dari keluarganya. Ketika mengalami kekerasan susah mencari pertolongan. sebab dia tidak tahu harus ketemu siapa sebab  menyerang psikologis dia misalnya kasus-kasus dicolek-colek, direkam pas mandi.

Vera menyampaikan lagi terkait perkosaan, bisa pelakunya adalah suami sendiri dengan paksaan kekerasaan tanpa persetujuan. Di kasus lain, kalau ada perkosaan susah pembuktiannya maka dirahkan ke persetubuhan. Bisa jadi ada intimidasi maka itu persetubuhan.

Siapakah pihak-pihak yang sering menjadi pelaku? Sesama Teman, Pacar, Orangtua, Suami, Istri, menantu yang tinggal serumah dengan anak, pekerja rumah tangga, guru, mantan, atasan, teman online via media sosial, atau teman kerja.

Siapa korbannya? yang dianggap lemah (istri, anak, pekerja rumah tangga, karyawan, murid, disabilitas). Dalam kasus-kasus disabilitas : sulit mencari saksi. biasanya keluarga. pelaku dan korban biasanya sudah kenal yang justru harusnya mendapatkan kasih sayang perlindungan penghormatan pemuliaan pada perempuan korban pasti ia yang tidak dimuliakan oleh pelaku. ada masalah di mindset bahwa perempuan pantas mendapatkan "kudu dididik" dikandani ora Isa, dikoplok wae. "

Perempuan banyak mengalah. Perempuan dianggap lemah.Perempuan yang tidak berpenghasilan. Di sini ada anggapan bahwa perempuan berpenghasilan lebih tinggi maka ia lebih kejam secara psikis lebih kekerasan verbalnya menyerang psikologis.

Mengapa perempuan dianggap lemah? ada istilah wanita : wani ditata. Lalu menjadi legal/boleh ketika wanita harus ditata. Itu salah satu saja menjadi faktor tetapi bukan patokan.

Vera mengimbuhkan ada tambahan kekerasaan yakni penggunaan perempuan dan anak untuk kepentingan tertentu. Misalnya memancing terus diperas lalu ada lagi yang jadi kurir narkoba atau dengan alasan jihad terorisme yang menggunakan perempuan.

Kenapa perempuan dan laki laki bisa menjadi pelaku kekerasan dan korban kekerasan?

Ada cara pandang di Indonesia jika perempuan dianggap lemah. Karena siapa yang paling berkuasa?  Bahkan secara politik? Kesenjangan informasi? Kebanyakan mereka yang berkuasa laki-laki sehingga cara pandang kebanyakan dengan cara laki-laki.  Apakah perempuan dianggap lemah hanya di Solo saja? tidak hanya dilihat dari satu sisi saja. Bagaimana situasi perempuan? bahkan saat zaman jahiliyah?  Bagaimana perempuan menjadi budak seksual di banyak tempat, pekerjaan, negara? itu sudah sejak zaman dulu. Kaca mata yang dipakai lebih banyak pakai siapa yang kuat. Budaya yang dibentuk karena kebiasaan-kebiasaan yang dianggap benar terus-menerus menggunakan kaca mata laki-laki karena itu bentukan masyarakat dari zaman ke zaman. Lalu semua berubah karena pengetahuan baru juga ada yakni pengetahuan agama.

Laili Nur Anisah, dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta di sesi kedua menyampaikan bagaimana implementasi UU TPKS dan sampai mana aturan PP yang ada di bawahnya. Ia membuka diskusi bahwa seorang pelaku kekerasan seksual dianggap sebagai sudah pelaku sebelum ada putusan. Ia memulai diskusi dengan mengemukakan tentang konsep keperawanan yang biasanya disematkan kepada anak-anak perempuan. Sepanjang kehidupan anak-anak perempuan awamnya yang disarankan adalah untuk menjaga kehormatan karena ada konsep keperawanan. Inii muncul ketika terjadi saat ada kasus kekerasan seksual padahal yang harus dilakukan saat awal bertemu dengan korban adalah membangun komunikasi dan korban harus dipercayai dulu.

Apakah sudah ada jawaban atas kasus-kasus yang terjadi? Yang sebenarnya sudah ada itu banyak yakni kekerasan seksual ada di KUHP, UU PKDRT, UU PA, dan  UU TPPO. Lalu kenapa masih butuh UU TPKS? apakah problem penanganan akan berkurang? Jawabnya adalah tidak cukup karena pendamping yang mendampingi kurang malah bisa dituntut pencemaran hukum. Jadi ada kepastian hukum maka ada Lex Specialist,

Laili juga memaparkan isi UU TPKS :1. TPKS, 2. Pemidanaan (sanksi dan pemidanaan) 3. Hukum Acara Pidana Khusus, 4.Jenis tindak pidana kekerasan pasal 4 (1) UU TPKS. Ada 9 jenis kekerasan fisik.1. kekerasan seksual non fisik, 2. pelecehan seksual fisik, 3. pemaksaan kontrasepsi, 4. pemaksaan sterilisasi, 5. pemaksaan perkawinan, 6. penyiksaan seksual, 7. eksploitasi seksual, 8.perbudakan seksual 9. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Perkosaan dan pelecehan seksual masuk di UU TPKS. Alasan siulan yang tidak diperkenankan oleh korban karena adanya Rape Culture atau budaya perkosaan.Delik Aduan misalnya Perzinaan (harus istrinya yang mengadu/melapor). Kasus singsot/bersiul juga yang harus melaporkan keluarga sendiri.

Pemaksaan kontrasepsi masih ditemui  kasus pada anak disabilitas mental. Membiarkan anak ini untuk jalan-jalan sendiri tentu sangat rentan. Apakah disabilitas mental makhluk seksual atau aseksual? Jawabnya adalah makhluk seksual.

                                                                                                                                                                              

UU TPKS Melindungi Difabel Mental

Laili Nur Anisah pernah melakukan penelitian di Batam, waktu itu ada kasus ayah kandung yang memperkosa anak sendiri, difabel mental berat yang secara fisik usia 30 tahun dan mental 10 tahun. Dan  secara undang-undang dianggap dewasa. Setelah ibu meninggal, si anak diperkosa bapaknya dengan selalu diberi teh gula. Si anak akhirnya bilang ke ibu tiri. Hasil pemeriksaan mengatakan bahwa anak tidak mungkin berbohong kecuali dia sendiri artinya si korban tidak memiliki imajinasi kecuali pada dirinya. Kasus terjadi di tahun  2015 sedangkan sidang digelar tahun 2022.

Di UU TPKS ada restitusi yakni penggantian kerugian, kerugian dampak psikologis bagi korban. Ada pula kompensasi. Restitusi diambil dari harta pelaku. Kompensasi diambil dari pajak. Dan wajib hukumnya diputus oleh hakim apalagi putusan di atas 4 tahun. Maka restitusi wajib dan boleh disertakan. Jadi jaksa dan polisi wajib memasukkan restitusi  dan hakim wajib menghitung. Harta pelaku boleh disita. Kalau pelaku tidak punya uang, maka wajib bagi pemerintah keluarkan dana kompensasi. Adanya UU TPKS memastikan bahwa korban tidak ditinggal. Korban diberi restitusi dan kompensasi.

Beberapa catatan penting lagi terkait UU TPKS adalah sanksi pidana : 15 tahun untuk perbudakan seksual. Ini ditambah 1/3 kalau pelaku orang dekat misalnya keluarga atau korban difabel. Kekerasan seksual juga tidak boleh dimediasi. Tidak boleh pula Restoratif of Justice (RG) karena tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan persoalan harga diri. (Ast)