Talkshow #NGO-PHI Seri ke-7 Yayasan YAPHI Hadirkan Myra Diarsi Ngobrolin tentang Gender

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

#NGO-PHI serial ketujuh beberapa waktu lalu telah dihelat dan tayang di kanal YouTube Yayasan YAPHI. Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI membuka perbincangan dengan mengemukakan narasi tentang seorang artis yang setelah menikah memecat semua pekerja rumah tangga yang bekerja di rumahnya. Semua peran dalam rumah tangganya digantikan oleh istrinya. Bagaimana kalau kemudian nanti punya bayi, semua yang  akan mengerjakan adalah istrinya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi peran gender dimainkan oleh sang istri.

Dalam prolog-nya, Haryati Putri menyatakan jika setiap orang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman,  dan prasangka dibalut dengan kekuasaan maka hal itu akan lebih membahayakan. Salah satunya berlatar belakang minimnya pengetahuan dan pemahaman serta masih kentalnya budaya patriarkhi, Yayasan YAPHI kemudian dalam rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) merayakan perempuan dengan mengambil tema, “Mendobrak Bias, Menguatkan Sintas,”

Kata “Bias”, terkait definisi dan kondisi perempuan saat ini seperti apa di tengah zaman yang sudah moderen ini mengapa Bias masih dirasakan bahkan sangat tebal dan semakin menebal, maka masih perlu didobrak. Myra Diarsi, seorang aktivis perempuan yang dihadirkan kali ini menyadari sesi Ngobrol Bersama YAPHI (NGO-PHI) adalah wadah untuk syiar kepada publik apalagi mereka yang sudah mendedikasikan diri  membaktikan diri untuk mendampingi korban  tindak kekerasan.

Menurut Myra, kata “Bias” arti sebetulnya adalah cara pandang. Ini ibarat sebuah sendok yang dimasukkan ke dalam air dan kelihatannya patah. Padahal dia tidak patah. Yang membuat patah adalah air keruh atau air di dalam gelas. Bias yang realitas ketutupan dengan satu cara pikir tertentu. Terkait narasi yang disampaikan pada waktu awal siaran talkshow, tentang seorang artis, menurut Myra, bagus untuk menjelaskan betapa artis ini sangat bias gender. “Gender itu kan perpanjangan jenis kelamin atau jenis kelamin sosial. Begitu anak bayi mbrojol maka diberi jenis kelaminnya lalu diberi penjelas jenis kelamin yang lain, anak perempuan diberi anting. Waktu berbaju perempuan baju warna pink, disuruh berperangai halus, kalau laki-laki  baju warna biru, tidak boleh menangis, dan harus kuat,” jelas Myra.

Kemudian pekerjaan perempuan berada hanya di ranah domestik saja dan laki-laki bekerja di luar rumah sehingga ada pengertian kalau laki-laki mencari nafkah yang pokok dan perempuan pencari nafkah tambahan. Aturan ini sebenarnya mengatur masyarakat supaya lebih teratur tetapi sayangnya basisnya ada soal hirarki di sana, ada soal nilai di sana, jadi soal yang kuat yang rasional dipandang lebih baik dipandang dari yang emosional, yang lemah lembut dan orang itu dianggap rendah. Orang yang bekerja di rumah dianggap rendah. Si artis bias gender karena istri yang baru dinikahinya itu harus ketat menjalankan peran gender di masyarakat, tidak peduli apakah si istri sanggup atau tidak, mampu atau tidak, terbiasa atau tidak. Ada ruang untuk itu atau tidak.

Bagi si korban kondisi seperti ini akan menghasilkan makin tertutup ruangnya untuk sintas,  bebas, keluar  dari ketertindasan itu. Kalau semua pekerjaan rumah tangga yang sebelumnya dikerjakan oleh pekerja rumah tangga disuruh kerjakan kepada istrinya, lha terus si suami ngapain? Kalau begitu dia kawin saja sama tukang tulaundry, atau tukang masak. Ketika secara tidak sadar ia membiarkan istrinya,itu artinya terjadi eksploitasi. Bahwa istri harus bisa begini dan begitu yang disebut bias gender, atau bias peran gender.

Sering terjadi di masyarakat ketika perempuan tertawa lepas lalu diperingatkan, itu juga bias gender. Karena karakter perempuan yang diharapkan oleh masyarakat awam adalah tertawa yang halus dan lembut. “Memakai baju diatur, potongan rambut juga diatur. Itulah bias. Ini menghambat kita untuk mengenali apa adanya,”sambung Myra.

Padahal perempuan yang terpuruk dalam suatu peristiwa kekerasan dan ketertindasan, untuk dia sintas, dia harus dikenali realitasnya bagaimana supaya ada intervensi. Bahkan cara untuk mencegah, biar lebih jitu. Kalau penolongnya sendiri juga bias, lalu bagaimana? Cerita berikut Ini mungkin agak ekstrem.  Ada seorang pekerja seks, lalu diperkosa, lalu dikatakan, “ya wes lah wong kuwi gaweyane,” ada bias bahwa di kepala orang itu mengatakan “salahe dewe kok pekerjaannya itu.” Sehingga ia melupakan pekerja seks meladeni seksual untuk pekerjaan, untuk hidupnya, dan perkosaan bukan untuk pekerjaan dan bukan untuk ongkos hidupnya.

Host talkshow, Haryati Putri kembali mengemukakan bahwa membongkar paradigma atau mengubah persepsi itu penting. Karena orang biasanya menyebut gender adalah jenis kelamin tetapi sekarang orang menyebutnya laki-laki, perempuan, lalu mengganti dengan menyebutnya gender adalah peran atau pekerjaan dan sosial  yang bisa dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan. Muncul pertanyaan siapakah yang bisa membentuk kolaborasi riil dalam mendobrak bias itu? Jawabnya adalah semua pihak di masyarakat, orang yang peduli pada masa depan dan yang harus di belakang kepalanya adalah bangsa. Dalam konteks yang lebih besar dan bukan individu-individu. Angka kekerasan pada perempuan di negara ini masih tinggi, angka kematian ibu juga tinggi, paling  bahkan paling tinggi se-Asia. Ini  bukan urusan individu ke individu tetapi kemaslahatan manusia sebagai warga negara. Sebab negara tidak teridri dari laki-laki saja, justru warga negara 50 persen plus 1 adalah perempuan.

Jadi siapa yang harus berkolaborasi adalah semua pihak yang peduli ini masa depan harus dikemanakan dengan cara bagaimana? Karena mimpi-mimpi gerakan perempuan adalah dunia baru maka ajaklah mengadakan perubahan menuju dunia baru yang justru perempuan jangan di belakang terus untuk memerangi bias dan sintas untuk masa depan.

Juga bukan hanya melulu urusan menteri pemberdayaan perempuan tapi justru pemberdayaan perempuan itu harusnya menjadi perspektif. Dan dia lintas multi, tidak dikotakkan sendiri jadi semacam kandang atau kotak jadi anggarannya pun semacam yang anggarannya pun semacam koordinasi.

Lalu bagaimana gender di kehidupan sehari-hari, dan bagaimana gender menjadi bisa jadi basis tindak kekerasan? Ini belum banyak ditelusur. Ini harus berani membongkar hal-hal yang menjadi ganjalan.  Memang tidak mudah dan harus menjalankan proses penyadaran karena nyaman. Gender itu kalau diperankan nyaman.

Myra Diarsi mengutip bagaimana orang-orang muda yang membuat media sosial TikTok, membuat konten yang menyodorkan narasi traditional wife atau perempuan kembali menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Itu yang ditiru adalah anak-anak muda. Jika dari para perempuan aktivis memiliki kekhawatiran akan membuat pengaruh buruk femnisme, itu tidak sepenuhnya benar sebab feminisme adalah nilai keadilan dan kesetaraan. Seharusnya hal demikian adalah “Cancel Culture” alias penghentian dukungan atau kalau zaman dulu dinamakan boikot, tapi yang diboikot adalah narasinya bukan orangnya. Jadi ketika dia mengatakan begitu harus dibatalkan.

Kembali kepada kasus artis seperti diceritakan di atas, kata Myra Diarsi, seharusnya ia mendapat “Cancel Culture.”

Kembali kepada tema awal, Mendobrak Bias, Menguatkan Sintas”. Sintas adalah selesai, keluar, bisa mengatasi proses yang menyakitkan, memurukkan segala hal yang membuat dia tersiksa maka dia kemudian mengatakan “Ya, saya sudah sintas. Saya bukan lagi korban.”

Para perempuan sendiri harus asertif, harus bisa mengemukakan apa yang diingini. Belajar mengetahui dengan benar mana relasi-relasi dalam rumah tangga.

Menutup perbincangan, Myra mengemukakan harapan ke depan, sudah ada satu kecanggihan teknologi bahwa berpikir kritis dan asertif itu bisa dilakukan dengan membangun dialog-dialog. Tidak  semata-mata berbagi apa yang diperoleh dalam bermedia sosial. (Ast)