KETERANGAN PERS: Mekanisme Respons Cepat oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK untuk Pelindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pembela HAM yang Inklusif

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2023 menandai 75 tahun lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan 25 Tahun Deklarasi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Pembela HAM.

Pada tahun ini juga, Indonesia telah menjalani masa Reformasi selama 25 tahun. Sejak itu, era demorasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia mulai bertumbuh. Partisipasi masyarakat baik secara individu, kelompok, dan organisasi dalam melakukan upaya pemajuan dan penegakan HAM terus meningkat di berbagai ranah, baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pembangunan serta lingkungan hidup. Partisipasi tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pembelaan HAM. Individu, kelompok, atau organisasi lintas gender dan keragaman seksual yang secara konsisten dan berkelanjutan melakukan kerja-kerja pemajuan dan penegakan HAM disebut sebagai Pembela Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), khususnya Pasal 28C Ayat (2), menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Di tingkat internasional, jaminan hak Pembela HAM telah dinyatakan dalam Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok, dan Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia Universal dan Kebebasan Dasar, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi PBB tentang Pembela HAM.

Namun, Pembela Hak Asasi Manusia (PHAM), termasuk Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Indonesia justru sering berada dalam kondisi memprihatinkan. Dari tahun ke tahun, Pembela HAM menghadapi dinamika dan tantangan yang semakin beragam. Mereka kerap menghadapi risiko dan tantangan yang serius bahkan mengarah pada tubuh, identitas gender atau seksualnya, seperti mengalami dan menghadapi ancaman, intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, dan hambatan hukum dari berbagai pihak, termasuk pihak berwenang, kelompok ekstrem, atau pihak yang berkepentingan. Hal ini juga terjadi terhadap Pembela HAM yang bergerak di sektor lingkungan, sumber daya alam, isu kelompok rentan, termasuk anak, perempuan, pekerja migran, kelompok minoritas agama, keragaman seksual dan masyarakat adat.

Komnas HAM dalam rentang waktu 2020 hingga Agustus 2023 menerima dan memproses aduan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap para HRD sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) aduan. Klasifikasi pelanggaran hak yang diadukan adalah Hak untuk Hidup, Hak Memperoleh Keadilan, Hak atas Kebebasan Pribadi, Hak atas Rasa Aman, serta Hak atas Kesejahteraan. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam rentang 2013-2023 terdapat 101 kasus kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM yang diadukan secara langsung. Kekerasan tersebut menyasar pada tubuh, seksualitas, atau identitas yang melekat pada dirinya sebagai perempuan, terjadi secara langsung atau bahkan menggunakan media sosial atau media internet lainnya.

Meski menghadapi ancaman, intimidasi dan kekerasan, tak jarang HRD justru dituding sebagai pelaku tindak pidana dan dikriminalisasi. LPSK yang bertugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana, mengalami keterbatasan untuk menjangkau HRD yang “dilabeli” status hukum sebagai tersangka dan terdakwa. Karena status hukum tersangka dan terdakwa bukan menjadi subyek pelindungan LPSK sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan  Korban.

Di tengah keterbatasan regulasi (hukum positif) yang secara khusus memberikan perlindungan bagi pembela HAM, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK beromitmen mengambil langkah strategis dan bersinergis dalam usaha pelindungan dan pemenuhan hak-hak Pembela HAM.

Pada Konferensi Nasional Pembela HAM yang diadakan di Bogor pada 07 Desember 2023, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK menandatangani Nota Kesepahaman tentang Mekanisme Respons Cepat Lembaga HAM Nasional untuk Pelindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pembela HAM. Mekanisme respons cepat ini bertujuan memberikan pelindungan darurat bagi pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan, dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya. Dengan menggunakan prinsip kesetaraan, keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, kewajiban negara, kerja sama, cepat dan tepat, dan kerahasiaan serta keamanan data dan informasi, kehadiran mekanisme respons cepat ini diharapkan dapat memotong rantai koordinasi berjenjang dan menetapkan pembagian peran serta protokol komunikasi bersama sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.

Bagi Pembela HAM yang sedang mengahadapi situasi darurat berupa insiden keamanan ancaman secara beruntun termasuk mengarah pada tubuh dan seksualitas perempuan; kerusakan properti atau benda yang cukup luas; adanya ancaman atau potensi ancaman nyata yang sangat membahayakan keselamatan PHAM atau keluarganya; dan/atau kebutuhan proses penegakan hukum terkait keterangan yang dimiliki oleh PHAM atau PPHAM; maupun kebutuhan penanganan tindakan medis atau psikologis secara segera karena kerja-kerja hak asasi manusianya, pengaduan hanya perlu disampaikan pada salah satu lembaga guna mendapatkan layanan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun LPSK.

Kehadiran mekanisme respons cepat untuk perlindungan dan keamanan pembela HAM diharapkan dapat mengisi ruang kosong penanganan, pemulihan dan kebijakan operasional pelindungan serta pemenuhan hak-hak Pembela HAM yang inklusif serta mendorong para Pembela HAM untuk terus berkontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia.

 

Bogor, 7 Desember 2023

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA RI

KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN RI

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Narahubung:

Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Istania DF Iskandar