Apakah Teknologi AI Akan Menggantikan Wartawan dan Penulis?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Derry Wijaya, akademisi Universitas Indonesia pada Talk Show bertema Apakah Teknologi AI akan Menggantikan Wartawan dan Penulis? di  Indonesia International Book Fair yang diselenggarakan 30 September 2023 mengatakan bahwa kepandaian Artificial Intelligence (AI)  tergantung dari prompt yang diajukan  dan tergantung pada data untuk melatih. Prompt adalah pertanyaan atau ide yang  ditanyakan ke mesin.  AI sudah banyak melihat kata di dunia, jadi ia bisa pintar menggabungkan kata.

Terkait apakah penulis atau wartawan  bisa digantikan? Derry Wijaya  menjawab bahwa  tulisan-tulisan yang ada, formulanya atau repetitif akan digantikan AI. AI tahu keyword yang dipakai, tetapi kalau untuk menggantikan secara konkrit menurutnya tidak, karena mesin dilatih dalam bentuk data yang berbentuk  teks atau bahasa. Sementara itu manusia  belajar bahasa tidak dalam faktur tetapi experience, juga sensori. 

Bambang Trim, salah seorang narasumber talkshow juga memakai ChatGPT untuk membuat puisi juga  keperluan akademis. Ia sudah berbicara dua tahun sebelum AI muncul dan ternyata tidak lama serta kemampuannya makin lama makin baik. "Ini  bisa melunturkan nurani saya namun kembali lagi, penulis jangan takut. Makin hari makin belajar makin bagus." Bambang juga berharap penulis jangan malas. Terkait apakah soal emosi apakah jadi keunggulan manusia?  Menurut Bambang Trim justru yang dilakukan AI itu terlalu manusiawi padahal AI tidak  punya panca indera dan tidak punya intuisi. Intinya bagaimana mendapatkan pengalaman baru.

 

Mewakili jurnalis, Ika Ningtyas mengatakan bahwa sejak munculnya AI, hoaks semakin banyak sebab di satu sisi makin mudah meng-create hoaks itu.

Menurut Ika, Indonesia dalam isu kesehatan misalnya kasus  dr. Terawan, lalu muncul  foto kemudian jadi video yang suaranya mirip Terawan. Ini sesungguhnya yang menjadi  kekhawatiran karena sebentar lagi pemilu yang tentu membuat AI makin canggih. Bahkan  ada AI  yang diciptakan untuk mengkonter hoaks. Akan menjadi  tantangan juga karena  hoaks makin canggih dan kemampuan orang-orang  untuk meng-counter ini.

Ika mengaku beberapa kali yang mengunakan AI dan bisa melakukan deteksi tetapi waktunya lebih lama.Sebab  tools yang sangat terbatas karena hanya  ada empat informasi parsial tapi justru disinilah peran manusia untuk memeriksa apakah itu pakai AI atau bukan. Beberapa tools tersedia disediakan gratis tapi terbatas.

Asosiasi Media Cyber Indonesia (AMCI) berkongres di Bandung dan membuat panduan untuk wartawan menggunakan AI dalam membuat berita

Wahyu Dhyatmika, Direktur Utama Tempo Digital sekaligus ketua AMCI dalam talkshow menyatakan bahwa AI satu generatif file yang bisa menciptakan sendiri informasi dari basis pengetahuan yang dia ciptakan sebelumnya. AI menjadi relevan terutama dalam konteks resilien atau ketahanan sistem informasi kita.

Lalu ada pertanyaan, bagaimana kita pengguna internet bisa yakin bahwa yang kita asumsi di internet kredibel, realitas, bukan hoaks dan bukan disinformasi, adalah  otentik? Menurut Wahyu, di media ada tiga fungsi AI. 1. AI adalah platform sarana mendistribusikan informasi, ia meneruskan artikel-artikel. ia akan menggantikan media sosial.2. fungsi kedua membuat tools. Membuat caption lebih cepat dalam proses produksi. 3. AI jadi kompetitor dengan publisher. Ia bisa dengan cepat mengambil konten-konten yang trending kemudian semua akan lari, yang sebenarnya dioperasikan oleh enginering dengan AI. "Dan  kita ingin mengkondisikan AI  ada 7 prinsip di antaranya adalah  prinsip : 1. prinsip sangat general bahwa semua AI harus dicek oleh manusia dan ada kontrol produksi, 2. prinsip penegasan disklaimer, 3. kejelasan referensi,"terang Wahyu.

Ahmad, Dosen di sebuah PT swasta di Maluku dalam ajang diskusi berbicara bahwa  ternyata AI muncul menggantikan posisi baru seperti promoter. Di kampus beberapa jenjang S1,S2,S3, bagaimana AI  tidak hanya menampilkan referensi tetapi juga analisis.

Hal itu dibenarkan oleh  Derry bahwa ada penelitian AI bisa untuk menulis ilmiah terutama abstrak dan mereka tidak bisa membedakan mana yang AI  dan manusia. tetapi kalau ia diminta lebihpanjang atau banyak datanya,  AI mulai ber"halusinasi.”AI  tidak bisa membuat ide baru. Ia hanya bisa memparafrase ide. Kelihatannya baru tetapi untuk transformasi ide dia belum bisa, ibarat  seperti orang yang sok pintar omong tetapi secara substansi tidak pintar.

Antisipasi dan Regulasi

Menurut Wahyu Dhyatmikan antisipasi yang mungkin bisa digunakan adalah bagaimana kita menggunakan regulasi yang tepat yang jarang dibicarakan dan bagaimana regulasi di dunia kampus, dunia hukum dan  bagaimana terkait ini yang menjadi kekhawatiran. Menurutnya  ini salah satu alasan kenapa harus ada panduan. "Saat ini mungkin tidak bisa bikin puisi seperti Sapardi, tetapi suatu saat bisa bikin. Maka perlu regulasi,"katanya.

Wahyu menambahkan google baru saja membuat aturan bahwa publisher boleh menggunakan ChatGPT atau AI yang sebelumnya google tidak menyediakan. Semua isi google jadi bahan belajar AI. AI belajar  dari informasi dan konten orang Indonesia tetapi kita nanti membeli teknologi mereka. Jadi, mestinya ada kompensasi yang fair yang dibuat oleh publisher.

Hal itu ditambahkan pula oleh Derry bahwa Ai butuh informasi dari kita manusia  yang sustainable dan growing.

Sedangkan menurut Ika, solusi untuk kampus adalah yang penting literasi digital bagaimana kompensasi AI jika digunakan di akademik, contoh  CoC penggunaan AI di akademik misalnya. Di beberapa negara sudah ada riset bahwa tidak semua sumber yang disediakan oleh ChatGPT  semua benar karena ada bias.

Juga butuh orang yang sadar seperti dilakukan oleh Bambang Trim. Thesis penelitiannya minim menggunakan ChatGPT. Dengan kesadaran sendiri akhirnya ia tidak gunakan sebab editor harus bisa mendeteksi jika itu teknik dari mesin.

 

Copyright  dan Payung Hukum

Terkait copyright di  di AMCI, di negara- negara Eropa yang ada payung hukum supaya dapat royalti adalah dengan undang undang hak cipta dengan  menghargai dan memberi apresiasi. "Jika di Indonesia terkait perlindungan ini kita bisa nego yang lain, dengan jurnalisme berkualitas dan public good. Memakai logika hukum itu karena ada UU Pers dan institusi yang melindungi," jelas Wahyu.

Bambang Trim sebagai  penulis buku anak tetapi  tidak bisa ilustrasi. Menurutnya di  pusbuk sangat diperhatikan, namun  rezim copyright kita buruk, kaitannya dengan persoalan pembajakan buku yang tidak selesai-selesai, lalu muncul makhluk bernama AI.Ternyata persoalannya tak hanya copyright dan bahkan data pribadi sebab di  era AI  foto kita pun digunakan.

Maka dengan adanya regulasi, maka akan ada perlindungan HAM-nya dan ini jadi "PR" Indonesia. Pendekatan ini mulai didiskusikan untuk  semua kepentingan, baik soal hak cipta dan hak lainnya supaya AI digunakan untuk memperkuat HAM. (ast)