LetssTalk_Sexualities #58 : Harapan Teman Tuli Buta Pada Perfilman

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Candra Gunawan,  Ketua Perkumpulan Tuli Buta (Pelita) masih dalam kesempatan diskusi pemutaran film "Sejauh Kumelangkah" di LetssTalk_Sexualities edisi Special Forum #58 mengatakan bahwa film tersebut bagus sekali dan ia berharap dengan adanya film yang diambil dari pengalaman penyandang disabilitas ini masyarakat jadi lebih memahami bahwa disabilitas memiliki harapan dan cita-cita sama dengan non disabilitas.

Masukan lebih banyak lagi supaya film  diangkat langsung dari kisah nyata disabilitas  terutama disabilitas ganda tuli buta seperti dirinya. Karena sampai sekarang masyarakat Indonesia belum memahami tentang disabillitas ganda. Mungkin baru tahu tentang keberadaan disabilitas tuli buta. Masyarakat akan tahu bagaimana masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka masyarakat tuli buta dengan wahana film. Candra Gunawan lewat organisasi Pelita  sebenarnya  memiliki harapan dan cita-cita sama dengan teman disabilitas lainnya untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi bangsa indonesia

Sementara itu Aria Indrawati, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) menyatakan dalam diskusi, ketika ia  tahu Ucu Agustin akan membuat film tentang kehidupan remaja disabilitas netra sebagai sesama disabilitas netra ia senang karena sesuatu yang jarang ditampilkan, baik sebagai apa pun yakni film dokumenter maupun fiksi. Aria melihat angle film ini adalah persahabatan dua remaja netra yang kemudian mereka terpisah, satu tinggal di Amerika  dan di Indoneaia mengikuti orangtua. Tapi di balik itu banyak sekali pesan.

Dikatakan sebelumnya bahwa secara pribadi Ucu punya pesan melalui film ini bahwa ia sebagai produser dan pencipta film  membebaskan penonton terkait pesan apa pun di film ini. Pesan di balik itu, bagi Aria  yang berkecimpung di dunia pendidikan dan pemberdayaan disabilitas netra bahwa kondisi anak- anak disabilitas  netra di Indonesia, yang  disaksikan pada film tersebut adalah yang tinggal di  Jakarta. Lalu bagaimana dengan Aceh, Manokwari, Biak,  Sambas  Kalimantan, atau  Halmahera? Ia  berharap itu menjadi referensi bagi semua. Siapa pun dalam kapasitas apapun, ia berharap itu menjadi pesan terhadap kondisi pendidikan netra di Indonesia.

Tuli dan buta saja seperti yang dialami Salsa untuk komunikasinya sudah diangkat  apa belum, bahwa disabilitas ganda Tuli dan Buta membutuhkan akomodasi yang berbeda dengan Tuli. "Pesan positif bahwa ayo kita mengambil peran bersama sama. Saya akan lalukan itu dengan bisa memberikan solusi sebisa saya, sebagai bagian masyarakat Indonesia saya akan  mengambil peran untuk mengatasi ini dengan kapasitas yang saya miliki,"tandas Aria.

Sedangkan Andi Kasri Unru biasa dipanggil Akas, aktivis Tuli, founder Indonesia Deaf-Hard of Hearing Law and Advokasi/Idhola mengatakan  banyak teman Tuli memiliki pendidikan yang baik. Ada guru yang mengajarkan dengan verbal dan bahasa isyarat. Ia membandingkan pengalamannya dan di kampung asalnya. Di Kota Makasaar awalnya tidak bisa berbahasa isyarat dan tidak memahami budaya Tuli. Di situ penting sekali untuk edukasi sehingga guru harus bisa mengajarkan anak Tuli bagaimana mengajarkan anak-anak Tuli sehingga ia bisa memahami. Bagaimana cara berkomunikasi yang tepat bagi anak-anak Tuli. Teman-teman Tuli banyak yang bercerita kepadanya kalau ketika guru mengajarkan kepada mereka dengan cara membelakangi atau tidak berhadapan. Ada juga yang bilang gurunya tidak bisa berisyarat, baik SIBI maupun Bisindo. Kalau di kampung atau desa biasanya pakai bahasa daerah dan bikin lebih berat lagi.

Akas mendampingi anak Tuli yang kebetulan ia temui di kampung dari dia sekolah di kampung dan sekarang kuliah semester 5-6. Ia sangat senang dan bangga karena anak itu merasa " oh,  saya bisa ya masuk kuliah dan anak-anak Tuli seperti saya bisa mendapatkan suatu bimbingan."

Ketika smp kelas 2, tahun 2017. Akas mengajarkannya bahasa  isyarat dan juga orangtuanya untuk bisa mendorong  supaya bisa kuliah. Lain hal, kampus hanya mau menerima anak PLB. Jadi inilah bukti perbedaan pendidikan di desa dan kota. Kalau mau membandingkan tidak harus Amerika. Di Indonesia antara kota dan desa sudah beda.(Ast)