Pada Instagram dan Youtube LetssTalk_Sexualities edisi Special Forum #58 bertema Mencari Jalan Pemenuhan Hak-hak Disabilitas Tuli dan Netra, melalui pemutaran film "Sejauh Ku Melangkah", sutradara dan produser Ucu Agustin menjawab alasan mengapa ia membuat film tersebut. Pada tahun 2013 Ucu sempat berpikir membuat film terkait isu diisabilitas netra. Menurutnya sepertinya kok tidak mungkin. Saat itu Ucu berpikir mungkin ia tidak tahu atau ia tidak paham apa yang terjadi dengan isu ini di Indonesia.
Kemudian ia melihat kok dirinya berada di lingkungan dokumenter Indonesia dan ia tidak melihat isu ini (disabilitas_red). Terus suatu hari ia dikenalkan dengan mamanya Dea. Ucu bertemu Mama Dea. Pengujung 2017, Dea (salah seorang pemain film Sejauh Kumelangkah) sedang me-chalange dirinya sendiri sebagai remaja yang mandiri. Terus Ucu berpikir wah kalau Dea tertarik bikin sesuatu karena referensi audiovisual dengan referensi isu disabilitas Indonesia kayaknya kurang. Lalu ia pun bertanya ke Dea. "De, kalau aku ikutin ceritamu, kamu kan remaja mandiri. Dan saya melihat tokoh saya sebelumnya yakni 2013 tantangan paling pertama dari masa remaja seorang disabilitas adalah bagaimana men-chalange dirinya sendiri." Dea setuju.
Setelah digali dari ceritanya sendiri kemudian berproses. Ternyata di Indonesia Dea punya teman namanya Salsa. Kemudian dari situ Ucu pengin bikin sesuatu. "Kalian tertarik tidak bahwa kisah kalian dibikin cerita bareng."
Saat proses sedang berjalan Ucu banyak belajar terkait isu pendidikan terutama teman-teman disabilitas di Indonesia yakni netra. Kebetulan ia tinggal di Amerika. Ia senang sekali mendapat support dari salah satu institusi film di Amerika. Mereka membuat program saat itu. Dukungan itulah yang membuat film ini terjadi. Inspirasi lain diberikan oleh Dea dan Salsa. Ucu mengaku hanya menjembatani saja.
Pesan apa yang coba Ucu sampaikan lewat film ini kepada masyarakat terkait mengapa ia tertarik dengan Dea dan Salsa secara langsung. Ucu menjawab karena genrenya dokumenter dan bukan fiksi. Gambar-gambar yang diambil untuk dokumen, film lalu jadi gambar-gambar bercerita. Dan ini bukan film fiksi. Jadi terkait kenapa Dea atau kenapa Salsa bukan terkait akting mereka. "Ini kisah hidup mereka. Boleh tanya tentang kasus melalui dia. Pesannya bebas. Siapa pun yang ingin menginterpretasikan silakan,"jelas Ucu.
Satu hal yang menjadi concern Ucu adalah inisiatif awal. Terus Dea dan Salsa tentang bagaimana tentang pendidikan di dunia disabilitas. Di Amerika yang masih jauh dari sempurna bisa ditanyakan pada Dea , di Indonesia pun sama. Pesan Ucu kepada disabilitas netra yang masih remaja adalah mari melihat ke dalam, lalu sama-sama mencari cara menyelesaikan persoalan yang ada di dalam diri sendiri dan yang paling utama yaitu menantang diri sendiri untuk menjadi mandiri. Karena seluruh pesan ini adalah bagaimana Dea dan Salsa mempersiapkan masa depannya sebagai remaja untuk menjadi manusia mandiri terhadap dunia yang belum ramah terhadap manusia di Indonesia.
Ini adalah film pertama Ucu dan dibuat ketika ia menemani pasangannya belajar di Amerika."Terus terang saya tidak punya pekerjaan. Kesulitan utamanya adalah bagaimana terbang di Indonesia sedang suami saya sedang pendidikan post doctoral. Tapi saya melihat hal-hal seperti itu bukan hambatan pertama untuk menyelesaikan tentang bagaimana karena secara finansial tidak mampu."
Ucu memegang kameranya sendiri. Padahal di Indonesia saat ia membuat film, ia menyewa kameraman.Ia biasanya bekerja untuk film itu dengan bebas tinggal memgarahkan. Kalau di Amerika ia harus melalukan hal-hal teknis. Di Indonesia masih bisa dilakukan dengan gotong-royong. Di Amerika harus betul-betul berhitung.
Ucu belajar menjadi filmmaker mandiri sama seperti Dea dan Salsa untuk bisa memproduksi dan mengambil gambar sendiri. Rasa sukanya adalah Dea dan Salsa memiliki visi yang sama. Dea dan Salsa bisa belajar untuk melihat bahwa apa yang mereka bikin berasa bahwa hal tersebut lebih besar dari hidup mereka. "Kayaknya kita bisa bikin karya yang bisa mengetuk berbagai pihak yang harusnya terlibat di sini," terang Ucu.
Justru karena film sederhana lalu mendapat apresiasi dan Ucu menghargai film ini dapat piala tapi sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana isu ini dapat diserap oleh wilayah-wilayah di level-level yang memang dituju misalnya orang-orang di kemendikbud. Para orangtua yang lebih bisa memfasilitasi anaknya dan yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan Indonesia inklusif yang tidak hanya menjadi jargon.
Terkait pandangannya tentang inklusivisme dalam film, menurut Ucu referensi pertama adalah Amerika. Tiga tahun ia tidak pulang, ada dokumen juga tentang production film yang dimiliki oleh Obama yang masuk nominasi oscar dan bisa dilihat perbedaannya. Lalu bisa dilihat My Disability Journey itu cerita tentang remaja down syndrome yang dibuat oleh bapak dan anak. Juga tentang bagaimana para aktivis di amerika berkumpul dan mereka ramai-ramai bikin America Disability Act (ADA).
Film-film tersebut memperlihatkan pada Ucu dengan jelas orang-orang yang memberikan kesempatan bukan hanya orang yang pernah memiliki kekuasaan kayak Obama, yang membuat production house dan yang paling pertama filmya adalah tentang disabilitas. Juga anak dengan downsyndrome yang bersama dengan bapaknya bikin film. "Sekarang saatnya semua kelompok menarasikan kelompoknya. Tidak butuh lagi orang-orang yang jadi jembatan representasi. Di Indonesia saya melihat ada beberapa organisasi yang sudah secara spesifik kayak teman Tuli sudah bikin film. Ada beberapa juga berkolaborasi dengan lain. Yang penting seharusnya kita sudah mampu, yuk. Yuk disabilitas mampu dan orang-orang seperti saya juga. Jadi bisa mengambil peran masing-masing. Kita berperan masing masing. Bikin skript teman-teman bisa. Teman Tuli bisa jadi kamera person. Seharusnya tahun depan kita bisa banyak melihat kreator-kreator. Dari komunitas dan teman-teman untuk meng-create karya sendiri," pungkas Ucu. (Ast)