Catatan 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan (4)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada 11 (sebelas) isu khusus dalam kajian 21 Tahun Catahu  yakni : Femisida, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Kekerasan berbasis gender terhadap Dunia Pendidikan, Kekerasan di Institusi Keagamaan, KBG terhadap Perempuan  Penyandang Disabilitas, KBG terhadap Perempuan Kelompok Non Biner Minoritas Seksual, Perempuan Pembela HAM (PPHAM), Diskriminasi dan KBG terhadap Perempuan dalam Pemilu dan Pilkada, Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi  Berbasis Gender terhadap Perempuan dalam Tahanan, Perempuan Pekerja Rumah Tangga dan Perempuan dengan HIV-AIDS

Perda Diskriminatif juga turut menyumbang adanya kekerasan terhadap Perempuan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Perda Diskriminatif mulai tercatat di Catahu 2004 terkait implementasi Qonun. Ada 32 dari 46 perempuan kasus qonun menjadi terdakwa dan terhukum. 21 tahun Catahu mencatat perda diskriminatif terhadap perempuan sebanyak 42,dan KBG dalam kebebasan beragama 12 kasus.

Lalu bagaimana dengan KBG terhadap perempuan dan pelanggaran HAM berlapis dalam konflik SDA?

-2004 Catahu 2004 meletakkan KBG terhadap perempuan dan pelanggaran HAM berlapis salam konflik Sumber Daya Alam (SDA)sebagai isu pemiskinan perempuan bersama isu-isu perempuan pekerja. Dalam konflik SDA perempuan mengalami (1)

KBG oleh baik satgas perusahaan maupun aparat. (2)  menambah kerentanan perempuan  pada KDRT akibat pemiskinan. (3) pelanggaran HAM berlapis, hak atas lingkungan hidup yang sehat,serta hak atas sosial  hak atas ruang yang aman,hak atas air bersih, hak-hak atas pekerjaan dan ekonomi, hak atas budaya akibat lenyapnya sumber-sumber alam sebagai tumpuan obat herbal,kerajinan tangan dan bahan-bahan ritual, serta hak atas sosial politik dalam hal ini pengambilan keputusan dalam penanganan konflik SDA.

-21 Tahun  Catahu mencatat,konflik SDA, (a) berlangsung dalam jangka panjang bahkan beberapa lebih dari satu hingga dua dasawarsa (Konflik TPL, PT. Dairi Prima Mineral, Kendeng, Lapindo dll). (b) umumnya tanpa penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan komunitas korban dan terdampak. (c) pemerintah membuat kriteria serta RUU Masyarakat Adat belum disahkan dan perundang-undangan terkait belum selaras. Konflik SDA juga tercatat sebagai kasus tertinggi kedua (115 kasus) di ranah negara, setelah penggusuran (975 kasus), pengambilan lahan tercatat 6 kasus.

-Berbagai konflik SDA di Indonesia berakibat rusaknya  sumber-sumber kehidupan, merentankan perempuan, kriminalisasi dan persekusi terhadap PPHAM. Menurut pasal 7 Statuta Roma tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crime againts humanity) yang termasuk dalam kategorisasi pelanggaran HAM Berat (Catahu 2016, 42-44).

 

Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan,  memaparkan tentang Daya Dukung Institusional Pemulihan Hak-Hak Korban dan Tantangannya Catahu Selama 21 Tahun.

1.) Pertumbuhan lembaga pengada layanan yang dikelola oleh pemerintah. Berangkat dari amanat UU PKDRT, Kemen PPPA mengembangkan pusat layanan terpadu untuk Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (P2TP2A) di tingkat provinsi, kota/kabupaten. Hingga tahun 2021, P2TP2A telah terbentuk di semua provinsi dan hampir di kota/kabupaten di Indonesia. Pada perkembangannya dan terutama merespon UU TPKS, P2TPKS dikuatkan dengan menjadi Unit Pelayanan Terpadu (UPT).

2. Perkembangan Ruang Layanan Khusus di Kepolisian menjadi Unit Pelayanan  Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat markas besar, kepolisian daerah provinsi dan sampai ke kepolisian resort (yang diprakarsai oleh DERAP WARNASARI). Struktur unit PPA yang menyebabkan keterbatasan SDM dan sarana /prasarana untuk dapat menjalankan mandatnya secara optimal menjadi salah satu faktor pendorong penguatan kelembagaan  UPPA yang masih terus diupayakan hingga saat  ini.

3. Penguatan Peran Rumah Sakit dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan dalam konteks layanan terpadu menghadirkan pusat krisis terpadu (PKT) sejak 2001, penguatan peran puskesmas dan layanan konseling, serta program-program terkait kesehatan masyarakat.

4. Peningkatan peran lembaga lenagda layanan yang dikelola mandiri oleh masyarakat, dalam bentuk lembaga swadaya maupun pendamping berbasis  197 komunitas. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan Forum Pengada Layanan yang menjadi wadah untuk lembaga-lembaga tersebut bertukar informasi dam berbagi sumber daya.

5.  Didirikannya LPSK dan mekanisme pengawasan institusional penegak hukum, yaitu Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk menguatkan akses perempuan korban pada hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

6. Penggunaan mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk mengoreksi dan menguatkan jaminan hak atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis gender.

7. Tantangan kronis selama 21 tahun penanganan  kasus meski dengan pertumbuhan lembaga layanan adalah dukungan bagi SDM yang berketerampilan dan berkelanjutan, serta sarana dan prasarana untuk memberikan layanan yang dibutuhkan oleh korban. Ketersediaan anggaran menjadi isu lintas institusi, selain masalah koordinasi lintas sektor.

8. Tantangan lain yang dihadapi dalam penanganan kasus adalah kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM (PPHAM), termasuk pendamping perempuan korban kekerasan. Selain menghadapi bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat umum, PPHAM juga menghadapi kekerasan yang khas karena ia perempuan, terutama dalam bentuk pelecehan seksual dan serangan seksual lainnya (dicatat sejak tahun 2007-sekarang).

Unsur praktik penanganan kasus di lembaga-lembaga layanan, ada beberapa temuan kunci yaitu :

1.) bentuk penyelesaian KBG yang dilakukan oleh Lembaga Layanan adalah penyelesaian non hukum dan penyelesaian hukum. 2.)perangkat hukum perundang-undangan yang digunakan dalam proses litigasi yang digunakan dalam proses penyelesaian KBG.

3.) jenis rujukan yang dibutuhkan korban. Dalam proses penanganan KBG kebutuhan korban tidak hanya dalam bentuk penyelesaian secara hukum dan non hukum, kemudian tidak semua lembaga mempunyai sistem layanan yang lengkap dan memenuhi kebutuhan korban/pelapor. Karena itu banyak lembaga yang merujuk kasusnya ke lembaga layanan lain. Jenis rujukan yang diberikan akan sangat terkait dengan permintaan dan kebutuhan korban.

4.) Perkembangan penyikapan Komnas Perempuan atas Kasus-Kasus yang Dilaporkan Langsung ke Komnas Perempuan. Catahu 2012-2016 mulai terdokumentasi penyikapan yang dilakukan Komnas Perempuan dalam bentuk surat rekomendasi. Catahu 2017 mendokumentasikan penyikapan lain yakni surat pemantauan dan saksi ahli.  Pada tahun berikutnya mulai dikembangkan rujukam kasus dalam bentuk surat resmi serta amicus curiae ke dalam bentuk penyikapan Komnas Perempuan. Catahu 2020-2021 bentuk penyikapan Komnas Perempuan semakin bertambah yaitu pemberian surat keterangan melapor kepada korban/kuasanya jika diminta, surat klarifikasi yaitu surat yang ditujukan untuk meminta informasi perkembangan kasus atau klarifikasi atas pengaduan korban. Ditambah pula informasi terkait dengan respon terhadap pengaduan yang disampaikan melalui email.

Surat Rujukan adalah bentuk penyikapan terbanyak yang dikeluarkan Komnas Perempuan sejak tahun 2017. Kondisi ini mencerminkan kebutuhan mendesak dan korban saat melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan yang seringkali terjadi adalah tanpa pendampingan siapa pun. Padahal Komnas Perempuan tidak memiliki mandat mendampingi satu persatu kasus. Bentuk penyikapan kedua paling banyak adalah respon pertanyaan melalui email dan diikuti dengan surat pemantauan yang berisikan tanggapan umum atas kasus yang diajukan atau koordinasi lintas sektor. (Ast)