Tragedi Mei 98 di Mata Aktivis Muda

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Tragedi Mei 98 sudah lama sekali dan peristiwa tragedi tersebut termasuk kekerasan HAM berat. Namun belum ada upaya konkrit terkait keadilan dan pemenuhan HAM korban. Tahun 98 data Komnas HAM korban berjumlah 1200 orang lebih dari TPGF. 165 perempuan adalah korban tindak perkosaan. Data tersebut pernah diprotes karena berbeda dari data tim relawan. Demikian siaran Letsstalk_Sexualities pada IG Live yang dipandu oleh Renvi Liasari akhir Mei lalu.

Siaran menghadirkan Eva Nurcahyani, aktivis muda pendiri Lingkar Studi Feminis, lulusan S2 Kebidanan yang praktik di sebuah klinik. Eva adalah penerima beasiswa Munif Said Munir pada ilmu hukum, fakultas hukum, Jentera. Selain memiliki dua latar belakang berbeda, Eva asisten program Pattiro Jakarta yang terlibat dalam tim penyusun peraturan menteri dan kebijakan lainnya.

Renvi mempertanyakan pengalaman pertama Eva tentang Tragedi Mei 98, tahu dari mana peristiwa tersebut dan dari siapa sumber utama peristiwanya. Saat itu Eva masih berusia 1 tahun. Ia mendapat cerita dari orangtua dan kakek serta nenek bahwa ada kuburan korban perkosaan. Sewaktu kecil ia belum tahu konteks mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia suka pergi belajar terkait sejarah lalu mengeksplorasinya termasuk menggali sejarah tentang peristiwa Mei 98.

Waktu kecil setahu Eva hanya peristiwa peperangan. Namun saat SMP ia suka membaca buku dan setelah tahu peristiwanya sangat menyedihkan. Sedemikian pemerintah menggunakan tubuh perempuan sebagai alat politis. Eva belajar tentang tragedi reformasi dan ketika selesai kuliah kebidanan ia tertarik gerakan perempuan lalu memperdalamnya. Ia membaca buku bagaimana tragedi Mei terus-menerus disangkal dan sampai saat ini belum ada itikad baik negara.

Renvi mempertanyakan terkait apa gambaran pengalaman orang muda di saat ini tentang mei 98, apakah teman muda Eva lainnya juga punya sumber pengetahuan yang lain. Eva menjawab bahwa pengetahuan tersebut sangat beragam mulai dari keluarganya, dan dari keluarga yang menjadi korban. Banyak teman-teman Eva yang menjadi bagian dari korban.

Ada juga teman muda yang mencari tahu dengan mengikuti pelatihan dan webinar. Keragaman yang memiliki cerita macam-macam, selain perkosaan pelecehan dan penjarahan. Bahkan ada keluarga teman yang kehilangan jejak korban sebab saat itu dia berada di luar rumah.
Dari banyak hal terkait perubahan pengetahuan yang didapatnya, Eva bercerita bahwa pengetahuan yang ia dapat semakin berubah yang awalnya dari penjarahan dan rasisme, yang orangtuanya sebenarnya tidak sepenuhnya paham.

Lalu Eva banyak membaca buku-buku dari Komnas perempuan. Pengetahuannya semakin bertambah bahwa di peristiwa Mei 98 ada isu ketubuhan perempuan yang harus diketahui bersama ternyata itu ada hubungan perpolitikan. Konteks dari perkosaan Mei 98 bagian taktik dari pemerintah bagaimana negara menjadikan tubuh perempuan sebagai alat sehingga ketika berbicara tentang kekerasan seksual, tubuh perempuan itu tidak jauh dari politis. Seperti terjadi pada Ita Martadinata yang dibunuh ketika mau bersaksi di dunia internasional.

Tidak ada buku sejarah mengenai Mei 98 dan belum ada pelajaran khusus yang terkait hal tersebut lalu apa perlu alternatif pembelajaran? Menurut Eva penting mendorong kurikulum yang memuat sejarah Mei 98 sebab saat ini buku sejarah masih jadi propaganda.

Eva kemudian melakukan gerakan road to school yang membicarakan sejarah gerakan perempuan dan rezim gender termasuk tragedi perkosaan Mei 98. Ia akhirnya berjejaring dan sistem pembelajarannya dengan diskusi melingkar serta mengundang narasumber yang mau datang ke sekolah-sekolah, yakni belajar apa yang tidak didapatkan sekolah.

Eva juga melakukan kampanye kekerasan Mei 98 di ranah perguruan tinggi dan SMA. Ia dan kawan-kawan sering ditolak sebab di Banten, feminisme dianggap liberal. Di Banten juga masih belum ada komunitas dan organisasi. Lingkar Studi Feminis (LSF) yang mulanya di Pamulang Tangsel lalu melakukan penyisiran di kampus sebab banyak yang belum paham isu feminisme. (Rahardyan Susilo Nugroho/ast)