Perempuan, Queer, dan Disabilitas dalam Pusaran Industri Kreatif

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kelompok minoritas gender atau queer menghadapi masalah kekerasan dan selama masa pandemi COVID-19 mengalami penurunan pendapatan, peningkatan beban mengurus rumah akibat WFH hingga harus mendampingi anak dalam proses pembelajaran di rumah. Belum lagi, sejumlah sektor industri belum memberi kesempatan kerja setara dan inklusif bagi pekerja dengan ekspresi gender minoritas. Kelompok minoritas lainnya yang mengalami hal sama adalah penyandang disabilitas.

Pada Sabtu (5/3), Sindikasi menyelenggarakan diskusi seri #pekerjabicara dengan menghadirkan narasumber Nurdiyansah Dalidjo, divisi gender Sindikasi  dan Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika serta Dewi Tjakrawinata dari Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia. #pekerjabicara adalah rangkaian kegiatan menuju Konferensi Pembentukan Sindikasi wilayah Jabodetabek yang rencananya akan diselenggarakan Sabtu, 26 Maret 2022.

Nurdiyansah menyampaikan adanya kebutuhan serikat pekerja yang inklusif, bukan hanya aspek gender laki-laki dan perempuan tanpa menyebut ekspresi gender tertentu. Sindikasi memiliki tugas  tugas yang pertama untuk mengusung kesetaraan dan membantu mengawal dan pencegahan kekerasan berbasis gender. Di masa pandemi COVID-19, menurut Nurdiyansah ada temuan teman-teman  LGBTQ, terutama transgender belum terpenuhi haknya sebagai warga negara yakni terkait paket bantuan persyaratan dengan KTP, ini berarti ketiadaan akses yang inklusif untuk lGBTQ dalam pemenuhan hak dasar warga negara. Juga hak atas kesehatan, bagaimana ketika mereka mengakses vaksin memerlukan KTP.

Sindikasi juga bisa menyoroti dua dimensi, porsi kerja queer di industri media, dan bagaimana industri media menyoroti queer. Seturut dengan  AJI dan Konde.co yang  baru saja melakukan penelitian terkait kekerasan yang dialami oleh awak media. Bagaimana orang-orang queer ditonjolkan seksualitasnya. Di sisi lain, bagaimana mereka menggugat, kaitannya seberapa jauh teman queer bisa duduk di peran-peran strategis padahal di situasi homophobic. Sindikasi ingin tahu, berapa jurnalis yang queer. Dan apakah negara dan masyarakat sudah menyediakan tempat bagi mereka, karena mereka visible, untuk masuk sebagai pekerja saja sulit. 

Robertus Ronny, moderator diskusi mempertanyakan publik masih homophobia, sehingga tidak bisa mengakomodir gender yang dianggap lain.  Lalu apakah Sindikasi sudah melakukan advokasi?

Nurdiyansah menjawab bahwa pihaknya belum melakukan advokasi. Sindikasi baru mengusahakan ruang yang aman. Pengkambinghitaman LGBTQ jadi populis dan memancing untuk klik bait justru dilakukan oleh politikus dan pejabat. Ia mengungkapkan di tahun 2016 KPI melarang kampanye LGBTQ. Tayangan Dorce Show mulai tidak ada pada 12 Februari 2016 diikuti kebijakan kemenkominfo dengan melakukan pemblokiran situs dan aplikasi serta organisasi queer. Aplikasi teman gay yang diblokir adalah Blued dan Grindr. Hal itu menjadi tekanan bagi mereka.

Di serikat pekerja ada interseksualitas antara isu pekerja dan buruh. Gerakan buruh sendiri lekat dengan kultur seksis, ada sesuatu yang meragukan untuk teman LGBTQ gabung dengan buruh. “Di sisi lain, kita menantang diri sendiri apakah masih memandang rendah dengan isu buruh, semoga tidak melupakan bahwa buruh punya identitas queer. Di kelompok LGBT sendiri kita adalah pekerja. Ini pendekatan baru, bagaimana kelompok LGBT bergandengan dengan kelompok minoritas lain untuk duduk bersama dalam satu barisan sama,”terang Nurdiyansyah.

Di divisi gender, Sindikasi juga belum menggunakan GEDSI sebagai pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Ketika divisi gender terbentuk di kepengurusan kedua, maka hal pertama mereka lakukan adalah asesmen internal. Sindikasi akan meluncurkan dokumen asesmen gender, misalnya dari angka saja kepengurusan Sindikasi antara perempuan dan laki -aki seimbang, bahkan perempuan lebih besar, lalu bagaimana dengan queer dan disabilitas? Sebab di Sindikasi juga ada teman disabilitas.

Nurdiyansah mengaku bahwa di kepengurusan pertama Sindikasi masih sangat miskin dengan kesetaraan gender dan inklusi sosial.  Di kepengurusan kedua mulai ada langkah baik. Lalu apakah itu berdampak kepada teman-teman? Ternyata belum. “Teman queer merasa nyaman di Sindikasi. Di kepengurusan pertama masih ada bro culture. Kita berjejaring dengan yang lain di luar Sindikasi dan organisasi pekerja lain,”ungkapnya.

Bagaimana tempat kerja/industri nyaman bagi teman queer?

Nurdiyansah menyampaikan bahwa ada teman gay yang punya phobia dengan teman transgender. Ada juga yang homophobia terinternalisasi, jadi homophobia terlembagakan, misal kamu stright, aku queer, tentu sulit ketika kantor tidak memastikan bahwa kalian akan ramah. Tapi juga tidak fair, “hei Diyan, kamu gay ya kok kamu ga mau terbuka?”

Dengan terlembagakan, maka ada akan ada aturan-aturan, yang tidak mengkriminalisasi queer misalnya seperti peristiawadi Aceh dan Kalimantan Selatan. Untuk teman-teman stright, mau jadi supporter allies, atau heteroseksual ally yakni seorang heteroseksual atau cisgender yang mendukung hak sipil setara, kesetaraan gender, gerakan sosial LGBT harus memberdayai diri sendiri dengan keberagaman SOGIESC sebagai framework untuk menghargai seksualitas. 

“Kalau sudah paham maka kita akan ngobrol. Aku pikir mulainya di Sindikasi sendiri ada queer, ada aku, mengupayakan pengarusutamaan di queer dan disabilitas. Mudah-mudahan teman-teman nyaman, juga teman pekerja queer nyaman kalau mau bergabung kepada kita,”pungkas Nurdiyansah.

Vivi Widyawati tentang Pekerja Queer di Industri Garmen : “Kami punya komunitas queer, Pelangi Mahardhika, mereka semua buruh garmen.”  

Kenapa kita penting bicara diskriminasi terhadap gender ekspresi dan orientasi seksual? Menurut Vivi Widyawati semua buruh haknya harus diberikan, tetapi kita suka lupa, bahwa diskriminasi berbasis gender ekspresi dan orientasi seksual mereka alami. Buruh queer punya spesifikasi, maka menurutnya penting secara spesifik mendiskusikan hal ini. Apalagi di tengah masyarakat yang homophobia dan orang belum memiliki perspektif bahwa laki-laki dan perempuan adalah gender.  Karena kekerasan, diskriminasi dan penindasannya berbeda. Dalam industri  garmen diskriminasi queer bukan suatu hal baru, karena  industri garmen sangat tua, dan teman queer bekerja sudah lama dan masih berlangsung sampai hari ini.

Vivi menambahkan bahwa belum ada klausul yang spesifik perlindungan pekerja terkait gender ekspresi dan orientasi seksual mereka, maka ke depan menurutnya perlu diatur secara spesifik.

Ia mengecek, dalam Peraturan Kerja Bersama (PKB), belum menuliskan tentang keragaman gender ekspresi dan orientasi seksual. Diskriminasi terdapat pada tempat kerja, karena diskriminasi berbasis queer. Kenapa diskriminasi berbasis queer penting? karena terkait pekerjaan, agar pekerja queer dapat menikmati hak yang sama. Persoalan ini ada di depan mata dan dialami oleh teman-teman. Ada isu juga mereka diusir dari kos-kosan, banyak pasangan ini tinggal bersama. Mereka tidak menyatakan, tetapi ia yang punya perspektif maka akan tahu. Mereka menyebut tomboy. Mereka nyata, bekerja dan menyumbang tenaganya, dan ada yang memiliki latar belakang sebagai  orangtua tunggal. Mereka menyebut “fam”. Di sini sangat kelihatan interseksualnya : buruh, queer, orangtua tunggal, dan berasal  dari luar daerah.

Ketika pandemi COVID-19, mereka sulit cari kerja karena visible . Ada sebuah pengakuan “ jadi tiap aku melamar mereka selalu melihat fisik”. Kemudian ada yang di dalam pabrik dikata-katai  “oh mereka jadi-jadian” mereka harus menjadi orang lain agar diterima kerja, dan diberi beban kerja yang lebih banyak dari yang lain dengan stigma “lha kamu tomboy.”

Atau saat akan mengambil cuti, dengan ekspresi tomboy,  dengan identitas perempuan, dan mengambil cuti hamil susah “lha kamu kan laki-laki” yang ketiga adalah pelecehan. Mereka ditanyai dengan nada yang merendahkan. Banyak pekerja queer yang belum memiliki banyak pengetahuan. Mereka menyendiri, kalau makan sendiri dan bergaul dengan kalangan mereka sendiri.  “Mereka perlu akses toilet yang ramah gender. Kalau ada orang yang hetero allies mereka senang,” terang Vivi.

Untuk itu, sambung Vivi, mereka mendorong pemerintah meratifikasi ILO 190 tahun 2019, karena dalam satu konvensi ILO tersebut tertulis bahwa setiap orang bekerja bebas dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Pihaknya sudah berusaha bicara pada pemerintah, tapi belum berhasil diskusi dengan menteri, kenapa sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi. Konvensi ini tentang perlindungan buruh secara keseluruhan. Namun di masa pandemi COVID-19 pemerintah malah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang banyak merampas hak-hak buruh. Ini artinya belum ada keinginan politik dari pemerintah untuk lebih mengutamakan hak  buruh. (ast)