Catatan Audiensi JLPAK2S Bersama Komisi IV DPRD Sukoharjo

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Data Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2021 mencatat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan data SIMPONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kemen PPPA) RI mencatat pada tahun 2021 ada 11.149 kasus kekerasan terhadap anak. Di sisi menunjukan bahwa banyaknya jumlah kasus yang terjadi pun seringkali berbanding terbalik dengan performa banyak pihak dalam memberikan penanganan terhadap perempuan, disabilitas dan anak yang menjadi korban kekerasan maupun berhadapan hukum.

Di Kabupaten Sukoharjo, kasus-kasus perempuan, disabilitas dan anak bervariasi mulai dari KDRT, anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh pelaku dewasa maupun pelaku anak. Belum lagi kasus kekerasan yang dialami oleh anak dan perempuan dengan disabilitas. Menurut data yang diperoleh dari Bidang PPA Polres Sukoharjo, dalam rentang waktu bulan Januari 2021-Juni 2021 jumlah kasus yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo adalah sebagai berikut: Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum sebanyak 16 kasus, kasus anak sebagai korban sebanyak 7 kasus, kasus KDRT sebanyak 8 kasus.

Selain itu, hal yang cukup memprihatinkan adalah pada tahun 2020 terdapat peningkatan jumlah dispensasi nikah menjadi 432, serta terdapat pula 731 kasus perceraian di Posbakum Pengadilan Agama Sukoharjo. Kasus perceraian mayoritas terjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri.

Beberapa tantangan ditemukan oleh para pendamping terutama yang tergabung dalam Jaringan Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) masih membutuhkan regulasi dan kebijakan antara : visum yang masih berbayar, biaya peralatan kesehatan dan psikologis masih berbayar, belum adanya mekanisme layanan dan/atau SOP yang inklusif serta belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi layak bagi korban kekerasan bagi perempuan dan anak disabilitas.

Dari temuan-temuan tersebut maka jelas akan berdampak beberapa di antaranya adalah belum terlayani dan terlindunginya hak-hak perempuan, disabilitas dan anak sebagai korban. Pelaku juga tidak mendapatkan hukuman/sanksi sehingga tidak ada efek jera, berdampak psikologis berupa traumatik bahkan ada dampak adiksi seksual. Juga dampak psikologis bagi korban sehingga korban takut mengungkap kasus untuk mendapatkan hak-haknya. Biaya visum yang berbayar dan dibebankan kepada korban/lembaga pendamping sehingga menghambat proses penanganan kasus bahkan tidak tertanganinya kasus. Selain itu dampak kepada korban yakni tidak mendapatkan layanan kesehatan baik fisik maupun psikologis. Stigma dan diskriminasi karena identitas yang terungkap secara jelas membuat korban mengalami kekerasan berlapis.

Di sisi peraturan dan perundang-undangan, Kabupaten Sukoharjo sudah memiliki banyak payung hukum  yakni 1. Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak, Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak, Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Kabupaten Layak Anak, Peraturan Bupati No. 3 tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 18 tahun 2017 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Bupati No.3 tahun 2021 tentang Bantuan Pembiayaan Kesehatan bagi PMKS dan Bencana Alam.

Setelah pada Oktober 2021 JLPAK2S melakukan audiensi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Keluarga Berencana (PPPAKB) dan menyampaikan beberapa  permasalahan yang dihadapi seperti di atas, kemudian JLPAK2S mengajukan surat untuk beraudiensi kepada para wakil rakyat yakni DPRD agar permasalahan dan tantangan yang dihadapi mereka didengar oleh para anggota dewan. Audiensi pun digelar pada 7 Maret 2022 di Gedung B DPRD Sukoharjo dan diterima oleh Danur Sri Wardhana (Ketua Komisi IV),  ST, Agus Sumantri, SH, SpN, MM, dan Sekretaris Sukardi Budi Martono, SH.

Pada audiensi yang juga dihadiri oleh Kasat Reskrim dan Kanit PPA Polres Sukoharjo tersebut, JLPAK2S yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil NGO, dan organisasi disabilitas yakni Yayasan YAPHI, SPEKHAM, KAKAK, Sehati, Fatayat NU, LKBHI UIN, MHH Aisyiyah, DPC Peradi dan individu pemerhati isu anak dan perempuan, memberi masukan yang berjumlah 12 poin : 1.Perbaikan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo tentang perlindungan perempuan, anak dan disabilitas yang implementatif dan komprehensif.2.Mengalokasikan anggaran untuk perempuan, anak dan disabilitas khususnya bagi korban kekerasan.3.Menyusun Mekanisme dan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak baik di pemerintah kabupaten Sukoharjo dan Aparat Penegak Hukum secara partisipatif; 4. Menyelenggarkan jaminan kesehatan dan Sosial bagi korban kekerasan termasuk visum dan layanag dukungan psikologis 5.Adanya kolaborasi dan kordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah, Aparat Penegak Hukum dan Penyedia Layanan  Perlindungan Perempuan, disabilitas dan anak dalam pelaksanaan layanan, pelaksanaan Perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan; 6. Peningkatan pemahaman dan keterampilan petugas, pendamping dan relawan tentang prinsip-prinsip, kode etik dan mekanisme pendampingan bagi perempuan, anak dan disabilitas 7.Adanya rencana rencana strategis dan kerja bagi layanan perempuan , anak dan disabilitas korban kekerasan 8.Adanya monitoring /rapat koordinasi secara berkala sistem layanan terpadu dengan dinas atau instansi atau lembaga pemberi layanan; 9. Adanya rumah aman bagi perempuan, disabilitas dan anak korban kekerasan 10. Adanya Jaminan Sosial bagi Perempuan, Disabilitas dan Anak korban kekerasan, yang pelaksanaanya sesuai dengan prinsip-prinsip  dan kode etik Layanan bagi korban kekerasan; 11.Melakukan upaya–upaya pencegahan melalui sosialisasi, kampanye dan edukasi tentang penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, anak dan disabititas dengan pelibatan masrayakat serta lembaga pendamping korban kekerasan; 12.Melakukan rehabilitasi dan reintegrasi bagi perempuan, anak dan disabilitas korban kekerasan.

Kasat Reskim Sukoharjo mewakili Kapolres  menyatakan beberapa temuan persoalan yang belum ada solusi yakni visum dan  biaya psikologi. Hal ini karena belum ada mekanisme dan SOP  inklusif. Kepolisian mengkaver biaya visum jika sudah di ranah sidik, jika masih aduan belum bisa. Ia menambahkan bahwa di Polres sudah ada ruang pemeriksaan khusus. Ada langkah kehati-hatian, bagi yang ada trauma sebab butuh proses. Namun pihaknya butuh komitmen untuk pelayanan lebih baik.

Proboningsih Dwi Danarti, Kepala Dinas PPPAKB Kabupaten Sukoharjo menjawab apa yang disampaikan oleh jaringan bahwa setelah pertemuan dengan jaringan pada Oktober 2021 kemudian melakukan rakor dengan OPD lain.  Pihaknya kemudian membentuk tim pendampingan/penjangkauan kasus sesuai Perda nomor 16/2016. Dari tim penjangkauan kasus dan satgas mereka berkoordinasi dengan program BKKBN dari Kementerian PPPA, dan sudah ada beberapa yang masuk. Dinas PPPAKB juga memiliki SOP terkait  pengaduan masyarakat dan peninjauan kasus/masalah.  Mereka juga mengarsipkan/mendokumentasikan kasus. Ia mengemukakan akan ada perbup baru setelah mengupas permasalahan apa yang ada di Kabupaten Sukoharjo terkait penanganan kasus anak dan perempuan berjudul “Bantuan Pelayanan & Perawatan Kesehatan di Kabupaten Sukoharjo”.

Dari pihak dinas kesehatan juga mengemukakan akan ada perubahan Perbup 03/2021 setelah melakukan rakor. Untuk pelayanan rawat jalan, visum, gawat darurat, biaya sesuai bantuan biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit dan puskesmas.  Sepanjang Polres tidak mengeluarkan biaya maka semua akan ditanggung dinas kesehatan.

Agus Sumantri dari Komisi IV memberi respon segala sesuatu yang diusulkan dalam audiensi tidak hanya visum namun juga Rumah Aman. Ia juga mengimbau apa yang diinginkan untuk dituliskan/dicatat sebagai revisi perda supaya bisa diusulkan dan sebagai leading sector adalah Dinas PPPA.

Edy Supriyanto sebagai juru bicara JLPAK2S menyatakan terima kasih karena OPD sudah responsif terbukti dengan rencana penyusunan perbup. Namun ia menyayangkan karena masih ada penyebutan nama korban dan alamat dengan lengkap, bahkan disampaikan oleh kepala dinas saat audiensi. Terkait kode etik penyebutan nama korban Edy menambahkan bahwa perlu disampaikan juga kepada relawan pendamping untuk tidak menyebut demi mengurangi stigma kepada korban. Terkait permasalahan yang dihadapi oleh korban dengan disabilitas mental di Sukoharjo selain kasus diversi atau proses damai juga pelaku yang kebal hukum. Ia berharap “Rumah Aman” jangan ada judul karena sifatnya sebagai rumah perlindungan pada korban.

Senada dengan Edy, Vera Kartika Giantari berharap Kabupaten Sukoharjo yang sudah lebih baik dengan banyaknya aturan hukum memiliki  SOP dan mekanisme yang lebih baik lagi sehingga memudahkan korban untuk mengakses layanan. Dan di dalam audiensi tersebut diperoleh kesepakatan untuk tidak lagi menyebut nama dan alamat lengkap korban. (ast)