Yayasan YAPHI Gelar Diskusi Mengenal Disabilitas Bersama Edy Supriyanto

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Terminologi tentang disabilitas ada banyak ragam, misalnya disabilitas, penyandang disabilitas, penyandang ketunaan (tuna rungu, tuna netra, tuna wicara), orang dengan kebutuhan khusus,  difabel dan akhir-akhir ini muncul istilah orang dengan kebutuhan berlebih. Istilah itu muncul dalam rangka memberi penghargaan. Dari segi bahasa disabilitas (dis-ability) dianggap tidak mampu, juga ketika menyebut orang dengan kebutuhan khusus. Berbagai kementerian/lembaga menggunakan istilah sesuai kepentingan mereka masing-masing. Hak disabilitas sudah dideklarasikan oleh PBB tahun 2006 lewat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Tahun 2007 Indonesia meratifikasi CRPD. Lalu atas desakan masyarakat pada tahun 2011, keluarlah Undang-Undang nomor 19 tahun 2011. Undang-undang ini berlatar belakang gerakan teman-teman disabilitas di Jogja, Solo, Makassar dan Kupang yang membentuk konsorsium lalu merumuskan hingga lahir draft 400 pasal. Demikian Edy Supriyanto Ketua Sehati, narasumber pada diskusi mengenal disabilitas dengan perspektif yang lebih luas yang dihelat oleh Yayasan YAPHI, Jumat (25/2).

Tahun 2010, Kemensos merumuskan sebuah istilah yakni penyandang disabilitas. Lalu pada tahun 2016 disahkan Undang-Undang nomor 8 tahun 2016. Ada beberapa hal yang perlu dipahami tentang disabilitas yakni orangnya, atau konsep, atau kondisi, hambatan atau bagian dari keragaman manusia. WHO menyatakan 15-20 % penduduk dunia adalah  penyandang disabilitas dan 13% orang disabilitas adalah  berusia lansia.

Edy Supriyanto kemudian memutar sebuah video berita dalam kanal youtube tentang seorang disabilitas fisik. Video dimulai dengan prolog, "terlahir dengan hambatan, bukan  halangan bagi pemuda di Ponorogo untuk beraktifitas dalam memenuhi hidup sehari-hari". Bejo namanya. Meski masih tinggal bersama kakak iparnya ia bisa memanjat pohon, memotong buah dengan kedua kaki. Saat Bejo kecil dia tidak bersekolah karena berbagai hambatan.

Setelah para peserta diskusi melihat video tersebut, Edy kemudian melempar pertanyaan ketika melihat Bejo, kira-kira apa yang tergambar di benak? Pertanyaan yang disambut oleh beberapa peserta. Ada yang menganggap bahwa Bejo luar biasa seperti orang ‘normal’. Ada juga yang memandang Bejo luar biasa karena bisa mengatasi kesulitan daripada orang yang memilliki anggota badan yang lengkap.

Kemudian Edy balik bertanya kembali, ketika Bejo bisa menggergaji dengan kaki, apa itu bisa dikatakan normal?

Tidak ada istilah normal dan tidak normal, bahkan di negara-negara maju. Ketika mengenalkan konsep normal, kebanyakan mereka berpikir bahwa konsep normal adalah mereka yang mempunyai panca indera lengkap, bukan fungsi sosialnya. “Bejo bisa menggunakan kedua kaki dengan hidup mandiri, karena diberi ruang oleh keluarga dan masyarakat,”ujar Edy Supriyanto.  Ia menambahkan, bahwa ada konsep juga yang justru keluarga dan masyarakatlah yang membuat menjadi tidak berfungsi, tidak bisa mengoptimalkan fungsi sosial. Karena konsepsi normal, orang harus punya tangan maka dibuatlah tangan palsu.

Pada pembukaan UNCRPD mengakui bahwa konsep ini dilihat dari hambatan fungsional tapi hal ini yang menjadi bahan diskusi, apakah jadi hambatan sehingga orang memilki hambatan,  karena ketika banyak diskusi tentang ini dan itu,  maka akan terjebak paradigma medis : seorang dengan hambatan sensorik gerakan, fungsi pendengaran, motorik, dan otak atau intelektualnya. “Jangan sampai kita menstigma seseorang berdasar kondisi fisik. Beberapa hal Bejo tidak ada hambatan fungsional lagi. Fungsi tangan digantikan organ lainnya. Seseorang yang punya hambatan kaki dan memakai tongkat atau teman-teman yang lumpuh layuh, teman berkursi roda bisa beraktivitas, seseorang dengan intelektual bisa bekerja dengan keragaman dia, teman Tuli disediakan JBI nggak ada hambatan, teman netra ada  screenreader, mewujudkan kesetaraaan,”jelas Edy. Ia menambahkan bahwa hambatan muncul pada lingkungan, bisa dari kebijakan yang tidak berpihak serta infrastruktur yang tidak akses. Yang kemudian menimbulkan disinformasi serta lahirnya stigma. Ia berharap kepada para peserta diskusi untuk menghilangkan stigma terlebih dahulu.

Salah-salah mengartikan kata ‘luar biasa’  maka akan jadi objek inspirasi untuk membangun motivasi. Misalnya ketika mengajak anak atau seseorang ke sebuah panti lalu kita mengatakan,  "Itu lho dia seperti itu aja bisa". Jadi salah ketika melihat disabilitas.

Ketika hambatan sosial berinteraksi dengan hambatan lingkungan maka membuat seseorang tidak bisa berpartisipasi. Makna berpartisipasi bisa dengan komunitas. Di lain hal, sering ditemui bagaimana anak dengan disabilitas dikenai over protective.

Dalam diskusi juga dibagikan ilustrasi ada anak diberikan kursi roda, tetapi dia di dalam satu tempat dan situasi ada undak-undakan/tangga. Selama ini penyelesaian kita masih di tahap ini? atau sudah diselesaikan?  atau belum? Dari hambatan tersebut apakah alat bantu  seperti kursi roda, dan tongkat bertujuan untuk kemandirian dia? Atau untuk menggantikan fungsi tubuh? apakah ukuran kursi roda sudah sesuai dengan ukuran tubuhnya? apakah mau orang sakit, anak, lansia, polio, dengan  kursi roda sama? kursi roda orang sakit?

Ternyata selama ini kursi roda yang diberikan hanya kursi roda medik tanpa melihat ukuran. Sehingga dampaknya justru tidak  memandirikan dan masih butuh bantuan orang lain alias justru muncul beban baru, harus ada yang mendorong. Ada juga yang kemudian malah tidak bisa digunakan. Ketika anak-anak duduk dengan kursi roda dengan kursi dewasa, dan bersandar, disabilitasnya akan bertambah, misalnya mengalami skeleosis. Kalau melihat fenomena tidak adanya pengguna kursi roda di ruang publik, karena harus dibantu, ini dampak dari kebijakan yang tidak melibatkan teman atau organisasi disabilitas.

Menurut Edy  setiap orang punya hak menyampaikan kebutuhannya, sama dengan Gender. Disabilitas bisa terjadi karena waktu, dan budaya, sehingga muncul hal-hal di atas. Banyak sekali bangunan sesuai dengan undang-undang layanan publik, namun baru taat hukum belum akses layanan atau manfaat layanan. Kalau bagi teman netra, tongkat aluminium jika mereka aktif maka hanya bisa digunakan berapa bulan saja. Ini yang menyebabkan teman disabilitas tidak muncul di ruang publik.

Kemudian  ada pertanyaan menggelitik yang biasanya dilontarkan  kepada pejabat, alasan mengapa tidak dibangun aksesibilitas, "tidak tentu setahun sekali disabilitas datang ke sini.”

“Ketika lingkungan, masyarakat, kebijakan, dan budaya kita mendukung, kalau di gender ada budaya gender, kalau disabilitas adalah ideologi kenormalan,”jelas Edy. Disabilitas adalah keragaman manusia. Kalau bicara soal konsep, bagaimana di ruang ini ada teman yang tidak paham bahasa Indonesia, kita ngobrol pakai bahasa Indonesia? berarti ada disabilitas. Kalau misalnya ada teman Tuli? kalau tidak ada JBI maka mengalami kedisabilitasan maka disediakan untuk mengakomodasi teman yang berkomunikasi dengan isyarat. “Di konsep CRPD : Disabilitas adalah Konsep, bukan orang dan bukan kondisi." imbuhnya.

Ketika sebuah pertemuan mengundang perempuan, misalnya ada peserta yang datang dari desa yang tidak paham bahasa Indonesia misalnya, maka mereka disabilitas. Kalau di Undnag-Undang nomor 8 tahun 2016, di pasal 4, yang disabilitas itu orangnya. Dalam keterangan di undang-undang,  hambatan itu dialami minimal enam bulan. “Ini bisa kita contohkan, di staf kita ada alami kecelakaan, dia patah kaki sehingga harus pakai kruk 3-4 bulan. Sebenarnya ia mengalami kedisabilitasan tapi belum masuk Person with Disability, Tetapi kalau sudah enam bulan, tetapi masih ada hambatan, maka masuk person with disability,” terang Edy.

Sayangnya, menurut Edy,  kita sering mengidentifikasi disabilitas yang akan menjebak jadi paradigma tertentu dan akan memengaruhi tindakan sehingga menghilangkan kesempatan untuk berpartisipasi. Persepsi orang pakai tongkat putih adalah orang yang perlu bantuan, padahal belum tentu.

Lalu kenapa Bejo tidak seperti Nick Vujicic?  karena Bejo hidup di lingkungan miskin. Nick tinggal di lingkungan gereja dan banyak dukungan. Teman-teman aktivis banyak yang lahir dari sosial ekonomi bagus dan  banyak teman disabilitas datang dari latar belakang ekonomi rendah.

Kemudian apa beda anak Tuli sekolah di SLB? dan di sekolah tidak SLB? di SLB menyebut Tuli itu kasar.  Lalu dibikin istilah memperhalus : tuna rungu wicara, anak buta, Yang saat ini lagi menjadi perbincangan teman-teman aktivis, istilah itu digunakan oleh penggunanya atau yang melihat/orang lain? (ast)