Eksaminasi Publik terhadap Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja Nomor 107/PUU-XVIII/2020 jo Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kepal terdiri dari 14 organisasi yakni Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Bina Desa, Sawit Watch (SW), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk  Kedaulatan Pangan (KRKP), Indonesia for Global Justice (IGJ), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Field Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani), dan Federasi Serikat Pekerja Bersatu (FSPPB) (sumber : hukumonline).

Kepal berupaya membela dan mempertahankan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia yang merasa dirugikan atas proses pembentukan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK)  yang dinilai inkonstitusional. Beberapa waktu yang lalu mereka telah melakukan Judicial Review berupa gugatan formal dan mendapat hasil UUCK dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Ahmad Surombo dalam zoom meeting, Rabu (23/2)  bertema Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Uji Formil Undang- Undang Cipta Kerja  Nomor 107/PUU-XVIII/2020 jo Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mewakili teman-temannya di Kepal merasa bangga saat ini dapat melaksanakan eksaminasi publik. Ia berharap dalam kesempatan zoom meeting dapat memperoleh penjelasan dari putusan MK sehingga publik menjadi lebih tahu.

Kegiatan zoom meeting untuk mengawal UUCK pasca putusan MK. Gugatan terhadap UUCK didasari oleh kepentingan masyarakat luas. UUCK memiliki banyak kecacatan yang berpotensi besar merugikan masyarakat terutama petani dan yang hidup di pedesaan. Mari kita lihat bersama apakah putusan MK tersebut sudah sesuai dengan keinginan rakyat atau sebaliknya.

Gunawan, penasihat senior Indonesian Human Right Committee for Social Justice sebagai moderator mengemukakan ada beberapa hal yang mereka garisbawahi dan untuk mereka mintai pendapat. Yang pertama, terkait 60 hari proses persidangan, kedua terkait saksi, ketiga terkait ahli dan keempat, MK memperkenalkan tata cara baru yaitu memperbolehkan pemohon untuk melakukan pemeriksaan terhadap keterangan tertulis dari Presiden, DPR, beserta bukti-bukti yang dilampirkan. Terkait dengan putusan, dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tetapi dinyatakan masih berlaku. Kata “tetap berlaku” menimbulkan masalah sendiri. Berikutnya, apakah yang dimaksud dengan kebijakan strategis. Yang kedua, pembentukan regulasi terkait UUCK masih tetap jalan atas instruksi mendagri, ada pembentukan bank tanah dan sebagainya.

Kemudian dari segi legislatif, prolegnas mencoba menafsirkan landasan hukum UUCK dengan mengubah Undang-Undang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Juga terkait proyek strategis nasional menimbulkan perluasan konflik agraria.

Menurut Jansen Sihalolo, koordinator kuasa hukum, terkait pertanyaan apa yang dimaksud dengan konstitusional bersyarat? Hal ini dibaca publik beragam, ada yang berpendapat undang-undang tidak berlaku sampai diperbaiki, tapi ada juga yang berpendapat undang-undang berlaku sambil diperbaiki. Yang kedua, untuk memperbaiki UUCK apakah UU PPP diubah dahulu baru kemudian UUCK atau dilakukan berbarengan? Selanjutnya, sebenarnya bank tanah dan sebagainya melanggar putusan MK atau tidak? Jika sudah lewat dua tahun, apakah UUCK akan gugur dengan sendirinya atau harus mengajukan kembali ke MK. Apakah bisa mengajukan ke MK sebelum dua tahun supaya bisa menjadi inkonstitusional permanen? Hal inilah yang akan dijawab oleh para eksaminator.

Lauddin Marsuni menyatakan bahwa catatan hukum terhadap putusan MK nomor 107 dan 91: Putusan MK nomor 91 dan 107 adalah putusan yang bersifat politis yang diambil oleh lembaga hukum. Apakah pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum? Jawabnya adalah pertimbangan hukum telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar? Prosedur hukum acara telah diterapkan dengan benar sesuai dengan UU 24/2003 dan Peraturan MK nomor 2/2021 Pedoman beracara pengujian undang-undang. Apakah amarnya sudah sesuai dengan peraturan MK nomor 2 tahun 2021? Putusan MK nomor 91 Amar putusan angka 3 frase “secara bersyarat” sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; bertentangan dengan ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf C.2 Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UU NKRI tahun 1945.

Walau MK membuat ruang hukum dengan cara mencabut peraturan MK nomor 06/MK/2005 dan peraturan MK nomor 9 tahun 2020, dan menggunakan ketentuan Pasal 72 ayat (2) Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Normanya dibuat sendiri untuk mengatur putusan sendiri, suatu bentuk kekuasaan yang luar biasa.

Putusan MK nomor 107 :  Amar putusan “menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima” sesuai dengan ketentuan: Pasal 24C UUD 45, maka putusannya bersifat final untuk menguji UU, Pasal 48 UU RI nomor 24/2003, Pasal 72 ayat (1) huruf a Peraturan MK nomor 2/2021

Lalu apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat? Putusan nomor 91 tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena: 1. Seharusnya pemaknaan inkonstitusional sementara adalah Undang-undang nomor 11/20 tidak memiliki kekuatan mengikat hingga pemerintah melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 tahun sejak putusan MK dibacakan, 2. Memaknai UU 11/20 sebagai inkonstitusional sementara tetapi pemerintah tidak memenuhi putusan MK, maka semua produk perundang-undangan yang lahir berdasarkan Undang-undang nomor 11/20 adalah batal demi hukum, 3. Bila demikian terjadi, maka terjadilah kekacauan hukum di Indonesia, 4.Kekacauan hukum tersebut berdampak negatif terhadap aspek ekonomi, politik, sosial, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.

Putusan nomor 107 tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat, akan tetapi harus diterima karena prinsip hukumnya suatu undang-undang tidak bisa diuji formal 2 (dua) kali. Keadilan yang tertinggi adalah sesungguhnya ketidakadilan. Kita tidak dapat menerima dengan rasa keadilan, tapi sesuai hukum formal kita harus menerimanya dengan baik.

Maria Sumardjono sebagai eksaminator menyatakan bahwa penjelasan Lauddin Marsuni sudah cukup memberi gambaran. “Itu bisa memperkaya pandangan kita. Kalau saya sendiri, bersikap tidak ada putusan yang sempurna kecuali putusan yang di atas,”ujarnya. Dalam rangka mengawal putusan MK, ada beberapa yang ia sampaikan untuk menjadi bekal. Pemerintah masih menganggap UUCK masih berlaku. Fakta tidak ada putusan MK yang membatalkan. Kenapa tidak dibatalkan? Karena MK hanya berwenang menguji dan tidak memiliki wewenang untuk membatalkan.  Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, langsung disambar surat satgas percepatan sosialisasi dengan judul ‘tindak lanjut putusan MK’ isinya UUCK dan aturan pelaksana tetap berlaku, tidak ada satu pasal pun yang dibatalkan, dan  Presiden memastikan investasi tetap aman dan terjamin.

Kemudian tambah Maria Sumardjono, ada juga Perpres siluman nomor 113 tahun 2021 tentang struktur dan penyelenggaraan badan bank tanah. Belum puas lagi, ada Keppres nomor 1 tahun 2022 tentang satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi. Dalam pertimbangan tidak ada UUCK tapi ada 5 PP pelaksana UUCK. Ini artinya melaksanakan UUCK. Ini wajib dikawal supaya tidak sesat pikir. Memang (UUCK) berlaku secara UU tapi tidak memiliki nyawa. Jika ingin konstitusional maka harus diperbaiki. Jika tidak diperbaiki maka sesuai amar 6, maka UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang dicabut UUCK dinyatakan berlaku kembali. Jika tidak memiliki kekuatan mengikat sama saja dengan tidak berlaku, untuk apa berlaku jika tidak memiliki kekuatan mengikat. “Jika pemerintah berlapang dada maka harus membatalkan. Putusan sudah jelas, masalahnya yang berkuasa tetap tidak mau terima,” jelas Maria Sumardjono.

Ia menambahkan perbaikan formil berupa perbaikan UU PPP dengan tujuan untuk membangun sistem perundang-undangan yang lebih baik, atau sekedar mencari “pembenaran”. Perbaikan substansi perlu, yang diajukan formil, kok disuruh batal-batalkan pasal, itu menjerumuskan Presiden.  Secara materiil tetap harus diperbaiki. Masalah besar adalah partisipasi publik. Jika partisipasi publik dilaksanakan maka parlemen akan benar-benar menjadi perwakilan publik, bukan hanya sekedar stempel, contohnya adalah Ibu Kota Negara (IKN) yang merupakan babak dua UUCK. Publik merupakan pihak terdampak atau yang konsen dengan kebijakan yang dirancang. Partisipasi publik yang bermakna ada tiga : hak untuk didengar pendapatnya, untuk dipertimbangkan, dan hak untuk memperoleh jawaban atas pandangannya. Lalu  kapan partisipasi? Sejak pengajuan rancangan, pembahasan, dan persetujuan. Kewajiban negara agar partisipasi publik terpenuhi harus dipikirkan benar-benar dan harus dilaksanakan.

Prof. Achmad Sodiki, eksaminator juga, menyatakan bahwa Jika undang-undang dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau tidak sebetulnya sudah dinyatakan tidak berlaku karena dengan demikian sudah kehilangan daya untuk dipatuhi. Untuk tidak menimbulkan kekosongan hukum maka ketentuan-ketentuan lama masih berlaku untuk tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Turunan dari hal-hal yang sudah tidak berlaku tentunya sudah tidak ada lagi. Jika batangnya tidak berlaku maka rantingnya juga tidak berlaku. UUCK adalah suatu masakan yang tidak ada dasar hukumnya dalam UU PPP, semacam masak soto tapi panduannya adalah rawon, atau sebaliknya, sekalipun dagingnya sama.Oleh sebab itu,perubahan/penyesuaian/penempatan landasan hukum dalam penyusunan perundang-undangan harus ada. “Seringkali ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di bawah menelikung peraturan yang lebih tinggi. Ini yang dikhawatirkan. Jika sumbernya tidak pasti bagaimana aturan-aturan penjabarannya bisa dianggap pasti. Putusan MK sejajar undang-undang, jika dilanggar bukan saja melanggar undang-undang tapi juga melanggar konstitusi,”papar Prof. Achmad Sodiki.

“Jika Negara Tidak Menaati Maka Bukan Negara Hukum, Namun Negara Kekuasaan”

Dalam diskusi semua eksaminator menyatakan bahwa UUCK tidak berlaku, tapi pemerintah masih menjalankannya. Apakah ada langkah hukum yang bisa dilakukan masyarakat? Dan bagaimana status hukum jika ada peraturan yang berlandaskan UUCK? Beberapa pertanyaan lainnya adalah apakah mungkin dilakukan uji materi di MA sedangkan dalam laporan tahunan MA, banyak peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA) yang diterbitkan rujukannya ada UUCK. Bagaimana penjelasannya? Setelah dua tahun perbaikan, langkah hukum bagaimana yang dapat dilakukan untuk menilai apakah sudah sesuai dengan putusan MK atau belum?

Lauddin Marsuni menjawab bahwa Kita sekarang dalam situasi serba salah. Menguji UUCK sama dengan mengakui undang-undang itu sendiri, padahal sudah dinyatakan inkonstitusional. Semua peraturan perundang-undangan turunan UUCK pasca putusan MK nomor 91 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pula. Lalu apa yang diuji? Jika diuji sama dengan menerima dengan diam-diam. Serba salah yang kedua adalah jika pemerintah melaksanakan kebijakan strategis, berarti dalam konteks UU nomor 30/2014 tentang administrasi pemerintahan, mengujinya ke Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), akan tetapi sama saja jika dilakukan berarti mengakui bahwa UUCK tidak inkonstitusional. Serba salah yang ketiga, apabila semua produk perundang-undangan yang diyakini pelaksanaan dari UUCK diujikan ke MA, sama juga dengan mengakui UUCK. “Kita sekarang ini bukan berada dalam ruang hukum namun ruang kekuasaan. Kita tidak boleh pasrah. Mari jangan pernah berhenti menyampaikan bahwa UUCK inkonstitusional. Partisipasi publik sangat penting,” tegas Lauddin.

Maria Sumardjono memberi jawaban bahwa ini produk hukum yang elitis, tertutup partisipasi. Jika putusan MK tidak dilaksanakan, kita tidak dapat mem’force’, yang bisa dilakukan adalah mengawal, terus-menerus menyuarakan dan memberi alternatif jalan keluar. “Do your best, God will do the rest. Jangan kita putus asa,” kata Maria Sumardjono.

Eksaminator terakhir, Prof. Achmad Sodiki menyatakan bahwa yang terpenting tata cara dan prosedur penting untuk diperbaiki dan disempurnakan dulu. Jika sudah dinyatakan inkonstitusional maka bukan hanya secara prosedural saja, namun secara substantif juga tidak mengikat lagi. Jika negara tidak menaati maka bukan negara hukum, namun negara kekuasaan. (Yosi Krisharyawan/Ast)