Sosok

ICRS, PUSAD dan Komnas HAM Bedah Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pramono Ubaid, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam sambutan saat bedah buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama, Rabu (19/6) yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerja sama dengan program studi agama dan lintas agama, sekolah pascasarjana, UGM dan Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina menyatakan bahwa  sudah ada kemajuan lewat konstitusi lama dan amandemen, tetapi pada tataran implementasi masih menyisakan sejumlah persoalan. Baik di berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan di daerah. Sehingga dari hari ke hari persoalan kebebasan beragama kadang-kadang di satu sisi ada regresi sebagaimana demokrasi di Indonesia.

Penanganan pemerintah pada kelompok keagamaan kadang masih ambigu. Seringkali yang ditangani oleh Komnas HAM adalah pendirian tempat ibadah dan kebebesan menjalankan ibadah. Para penegak hukum masih seringkali memakai peraturan bersama, tidak di nilai-nilai kontitusi. Padahal peraturan bersama itu bagi Pramono secara pribadi, membuat hambatan yang berlapis. Hambatan pertama bersifat administratif karena harus ada persetujuan masyarakat, persetujuan jamaahnya sendiri dan bersifat administratif sekali. Setelah itu ada persyaratan atau hambatan yang bersifat teologis karena harus ada perizinan yang dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) itu artinya hambatan yang bersifat teologis. Jadi kadang satu kelompok keagamaan sudah memenuhi persyaratan tetapi  naik ke level  berikut. Juga hambatan yang masyarakat di luarnya. Hambatan ketiga politisi di daerah terkait suara pemilih  "ini mempengaruhi perolehan suara saya tidak? kalau pas pilkada menurun,ya mending tidak saya kasih saja,” begitu seringnya kalimat terlontar.

Level hambatan yang bertingkat sering jadi persoalan ketika  menyelesaikannya harus jeli dulu hambatannya seperti apa. Dan itu membuat pendekatan komnas harus sesuai.

Kurniasari Novita Dewi, penyuluh di Komnas HAM yang menjadi moderator bedah buku lantas mempersilakan narasumber berbicara. Zainal Abidin Bagir, Direktur ICRS, salah seorang penulis buku yang hadir dalam acara mengatakan bahwa buku ini sebagai penanda  20 Tahun Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan oleh Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) dan UGM. Inti utamanya, pihaknya  ingin menunjukkan adanya beberapa perkembangan baru dalam pendekatan advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan dan itu perlu dicatat, dianaliais dan didiskusikan bersama-sama.

Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama ini dimulai dengan latar belakang sejarah advokasi kemudian mengambil dua kasus. Yang pertama kasus spesifik cukup kontroversial terkait Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Kedua mengenai mediasi di Komnas HAM. Ada banyak kasus yang dilihat di situ. Jadi dua studi kasus utama ada di buku ini dan dua bab berikutnya lebih refleksi teoritis. Dari kasus-kasus itu apa sejarahnya, yang ingin ditunjukkan di sini bahwa advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sudah ada sejarahnya di Indonesia. Ini bukan sesuatu baru. Paling tidak di dua dasa warsa, 20 tahun bisa dibilang panjang atau pendek. Intinya sudah punya sejarah  mulai dari amandemen UUD 45 setelah reformasi.

Kemudian kalau ada pertanyaan beberapa aktivis termasuk pengacara yang terlibat dalam isu-isu dengan mengunakan bahasa yang spesifik kebebasan beragama atau berkeyakinan maka mulainya tahun 2005. Di tahun itu mulai muncul kasus macam-macam sampai ke pengadilan: ada penyerangan Ahmadiyah dan lain-lain.  Tidak semua kasus baru tetapi bahasa kebebasan beragama dan berkeyakinan digunakan dengan lebih sadar pada saat itu,  lalu ada beberapa regulasi, yang semua terkait tata kelola agama di Indonesia. Lalu ada kasus Ahmadiyah, Syiah di Sampang yang dikenal dengan Kasus Sampang. Banyak sekali kasus rumah ibadah dan tidak hanya gereja. Yang paling menonjol kemudian diputuskan untuk dipelajari.

Sampai sekarang ketika KUHP disahkankan, ada beberapa perspektif kebebasan beragama yang didiskusikan di situ  artinya  bahwa ICRS  punya sejarah dan sudah bisa berefleksi dan menganalisis dari pengalaman ini selama dua dasawarsa.Ada di dalam buku dan tabel  pertemuan aktivis tokoh agama dari gerakan kebebasan beragama dan berkeyakinan.Maka sudah banyak praktik yang dibangun terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia  lalu advokasi banyak  baik legal dari litigasi sampai pembuatan undang-undang maupun advokasi kasus-kasus spesifik . Bukan hanya itu tetapi juga jadi advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan ini sudah cukup berkembang sehingga banyak penyintas yang jadi aktivis dan mengadvokasi bukan hanya komunitasnya saja. Peningkatan kapasitas juga sudah dilakukan.

Lalu strategi-strategi apa saja yang sudah pernah dijalankan? Secara ringkas bisa dibagi : Sasaran kebebasan beragama dan berkeyakinan itu bisa mengubah perilaku negara atau aktor lain, bisa mengubah tekanan jadi melawan, bisa bekerja sama baik dengan negara dengan membuat undang-undang atau dengan kelompok masyarakat bisa engagement dengan kelompok tertentu.

Beberapa pola utama yang dicatat di bab pertama itu pertama adanya : ambiguitas lanskap pasca reformasi setelah 1998, jadi ada penguatan jaminan formal untuk politik  tapi pada waktu yang sama memberikan ruang gerak yang besar bagi orang beragama. Termasuk kelompok yang mempersulit kelompok dalam situasi kebebasan beragama. Kedua ada tren judisialisasi konflik-konflik keagamaan. Ada yang beragama dan mengalami konflik keagamaan tetapi kemudian dijudisilisasi atau dijadikan legal lantas diibawa ke pengadilan seperti Ahmadiyah dan Syiah yang panjang sekali sejarahnya di Indonesia. Termasuk sejarah-sejarah ketegangannya.  Mereka didiskriminasi atau dimarjinalisasi menggunakan undang-undang atau peraturan yang disebut di-judisialisasi. Termasuk isu rumah ibadah. Bahkan isu rumah ibadah sudah ada sejak tahun 60-an.

Ihsan Ali Fauzi,Direktur  PUSAD Paramadina mengatakan bahwa Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) harus terus dilakukan meski sangat sensitif. Melakukan advokasi tapi juga mempelajari apa yang dilakukan agar berkembang lebih bagus,  itulah yang dilakukan Zainal Abidin Bagir yakni melakukan  studi sistematik.

Tulisan Ihsan kebanyakan terkait upaya memediasi yang dilakukan oleh Komnas HAM. Latar belakang, tidak hanya kebebasan beragama dan berkeyakinan tapi juga ada konflik sektarian yang melibatkan kekerasan, terutama yang menonjol adalah Ahmadiyah.

Menurutnya konflik sektarian di masa reformasi ini baru menyebabkan kematian seseorang. Sebelumnya belum pernah terjadi. Ada kasus Cikesik dan Sampang, 2012 dan 2013.  Pertama kali dalam sejarah orang meninggal gara gara konflik. Di tengah tengah itu belakangan  ini mediasi dianggap sebagai salah satu cara menyelesaikan konflik.

Mediasi mungkin lebih bagus daripada menjadikannya satu kasus hukum. Tapi semua juga tahu  kalau mediasi sering disalahpahami, disalahgunakan dalam bentuk pemaksaan suatu kelompok kecil tunduk ke kelompok besar. Itu bukan kerukunan tetapi istilahnya adalah “perukunan”. Mediasi dilakukan di depan polisi. Media ini penting dipelajari dan diajarkan karena kadang-kadang mediasi ini disalahpahami atau disalahgunakan. Yang kedua sudah dari awal Komnas HAM ingin melakukan mediasi meski baru belakangan yakni di tahun 2010 ada SOP mengenai mediasi di Komnas. Sejak awal mediasi sudah ada di Komnas yang mengurusi HAM, satu paket dengan  penguatan HAM.

Apa saja isu kebebasan beragama dan berkeyakinan yang Komnas mediasi? PUSAD merinci lagi, kapan dilakukan, kapan dilakukan sebagai bentuk keberhasilan, kapan tidak atau mencapai perdamaian. Dalam studi ini semua dokumentasi Komnas HAM yang bisa diperoleh untuk digunakan dari tahun 2012 sampai 2020 dengan metode wawancara komisioner dan beberapa pihak yang mediasinya dilakukan Komnas HAM.

Bahasan terkait konseptualitas yakni tentang mediasi HAM dan mediasi komunitas.Dulu ada perbedaan tentang justice dan piece. Salah kaprah selama ini karena menghadap-hadapkan nilai keadilan dan perdamaian (konteks kedaruratan). Ada sinergi promosi HAM dan transparansi publik. Makna HAM juga diperlebar dalam literatur mengenai HAM. Pada akhirnya sekarang muncul empat domensi HAM. Pertama HAM sebagai norma, HAM sebagai infrastruktur, HAM sebagai hubungan (tidak saja vertikal, tetapi juga horizintal, HAM sebagai proses (relasi kuasa, ketimpangan struktural). Perluasan makna HAM juga membuka kemungkinan untuk mediasi kasus-kasus HAM. HAM terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan juga bisa dimediasi karena agama ditafsirkan dan dijalankan oleh manusia. Salah satu kunci keberhasilan mediasi : identitas mediator yang terkait dengan mandat, sumber daya dan motivasinya (peran sebagai Komnas). Mediasi biasa dan mediasi komunitas : Komnas HAM sebagai mediator komunitas (mediasi yang terlibat).

Pada bagian pengalaman Komnas memediasi konflik sektarian ada bagian tentang konflik sektarian : dipicu anggapan mengenai aliran sesat dan menyesatkan.Jumlah kasus sebanyak 23 (21 bersumber dari pengaduan, Ahmadiyah (termasuk masjid  Ahmadiyah : 12 dan 23), Syiah (4 kasus), lainnya 7 kasus. Konflik Ahmadiyah selalu dipicu Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 menteri tentang Ahmadiyah (2008), yang ambigu dan bisa ditafsirkan berbeda. Tidak melarang Ahmadiyah: tetapi warga Ahmadiyah dilarang menyebarkan agamanya. (1) umumnya penutupan masjid, (2) pengusiran dan ancaman pengusiran, (3) larangan berkegiatan.

Catatan lainnya, mediasi kasus Ahmadiyah hampir selalu terkatung-katung : (1) ibadah di luar masjid, (2) penyegelan dibuka sendiri, tetapi berulang (keberhasilan terkait layanan adminduk, kasus Manislor).

-Langkah mediasi komnas umumnya disambut baik pemda, tapi ada opini publik.

-Komnas HAM alami hambatan struktural terkait dua aturan : PBM 2006 tentang rumah ibadah, dan SKB 3 menteri tentang Ahmadiyah (2008) dalam soal konflik sektarian : (1) intensif menyelesaikan kasus-kasus rumah ibadah lebih kuat dibanding kasus-kasus kedua (opini publik) : (2) Penolakan terhadap Ahmadiyah lebih keras dibanding penolakan terhadap Syiah.

-Mediasi terkait rumah ibadah lebih berhasil dibanding mediasi terkait konlik sektarian : (1) muatan politik kedua isu berbeda dan pengaruhnya terhadap opini publik, (2) konflik terkait Ahmadiyah lebih berat dimediasi (berhasil untuk layanan adminduk).

-Secara umum pemda menyanbut baik langkah mediasi Komnas, meskipun belum menjamin tercapainya akhir yang memuaskan, (1) dengan segala keterbatasannya, Komnas lebih didengar dari lembaga lain karena mandatnya, (2) pemda dapat memanfaatkan mandat Komnas untuk meningkatkan daya tawarnya melawan opini publik yang kurang bersahabat HAM.

-Jumlah kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan kecil dan semuanya bersumber dari pengaduan : (1) korban perlu melaporkan : (2) Perlunya pelatihan  pengaduan kampus.

 

Pertanyaan Penanya

Seorang penanya mewakili Ahmadiyah dalam diskusi bedah buku mengatakan bahwa di buku ini kurang detail saat menuliskan konflik Ahmadiyah karena dari jemaah Ahmadiyah melaporkannya tidak hanya kepada komnas HAM saja tetapi juga kepada Komnas Perempuan, Ombudsman ketika ada beberapa anggota Ahmadiyah menjadi saksi saat kasus Sintang juga ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Laporan juga diberikan kepada Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan karena ada beberapa tindakan hakim dalam persidangan. Ia memberi  apresiasi setinggi-tingginya kepada komnas HAM yang telah mendindaklanjuti pengaduan dan beberapa kasus terselesaikan melalui mediasi.

Di kasus Surabaya, pihaknya sempat terhambat memperpanjang izinnya lantas melalui mediasi izin tersebut diperoleh kembali. Tetapi memang ada faktor penunjang yaitu dukungan dan ketegasan dari Ombudsman. Ombudsman memanggil langsung Bu Risma dipanggil ke Jakarta. Panggilan pertama diwakili. Panggilan kedua masih mewakilkan .Panggilan ketiga karena Ombudman memberi oltimatum maka hadir. Pertemuan itu benar-benar peacefull karena memandang Ahmadiyah baik. Adanya legal opinium Universitas Airlangga dan dilampirkan di Komnas HAM dan mungkin jadi rujukan Komnas HAM sehingga mendorong terbit Izin Pemakaian Tanah (IPT) di Surabaya.

Pada kasus Jambi, yang menjadi mediator saat itu adalah Sandra Moniaga oleh Ahmadiyah dikenal sangat tegas., buat kami beliau sangat tegas. Di kantor gubernur, pihak yang dimediatorkan kepada Ahmadiyah menggunakan Fatwa MUI yang tidak bisa digunakan. Tidak bisa satu pihak menggunakan rujukan yang tidak sesuai dengan yang disandarkan. (Ast)