Sosok

Diskusi Publik Hukum sebagai Senjata Politik : Mempertanyakan Peran Kaum Intelektual

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Prof. Sulistyowati  Irianto, guru besar antropologi Universitas Indonesia sebagai salah seorang narasumber pada diskusi publik hukum sebagai senjata politik (19/6) yang diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society mempertanyakan menghadapi situasi yang dihadapi saat ini, ke mana para akademisi di kampus? Pertanyaan ini sangat relevan karena Indonesia diperjuangkan, dirawat, dimerdekakan oleh kaum intelektual, di antaranya adalah para pendiri bangsa. Kaum intelektual tidak perlu punya ijazah doktor atau profesor. Kaum intelektual menurutnya adalah semua yang hadir di ruang diskusi publik baik secara daring maupun luring.

Lantas mengapa menjadikan penting untuk mengadakan keberadaan kaum intelektual dalam babagan sejarah Indonesia? Banyak sekali buku yang disampaikan dalam power point Profesor Sulistyowati Irianto, bagaimana keberadaan gerakan masyarakat sipil  yang selalu ada di Indonesia. Dari berbagai persoalan berat, sayangnya sejarah Indonesia tidak mencatat secara memadai. Dalam gerakan masyarakat sipil kaum intelektual, sebenarnya ada gerakan perempuan juga. Jadi sebenarnya sejarah Indonesia itu kurang separuh ditulisnya. Mengapa ini penting, sebab menurutnya ada anak muda yang bertanya karena mereka benar-benar tidak tahu peristiwa Mei 98  karena belum lahir.

Betapa celakanya suatu bangsa kalau anak mudanya teralienasi dari literasi sejarah. Bagaimana membangun bangsa kalau ia tidak tahu apa yang pernah terjadi sehingga tidak tahu apa yang dipertahankan yang baik, dan apa yang salah dalam sejarah.

Prof. Sulistyowati kemudian  berfokus dengan cerita tentang ke gerakan perempuan  yang tidak pernah ia ketahui dari guru semenjak Sekolah Dasar (SD) sampai universitas. Tahun 1915 sudah banyak organisasi perempuan di antaranya Putri Mahardika, artinya pada masa itu mereka sudah dikirim untuk meraih kemerdekaan, jauh sebelum proklamasi. Mereka sudah mengirim mosi kepada pemerintah  Belanda  untuk minta perdamaian di muka hukum. Pada tahun 1930 juga ada organisasi perikatan istri Indonesia yang mengirim mosi lagi kepada pemerintah Belanda untuk minta hak politik perempuan. Pada saat itu ada dalam gerakan dunia yang meminta kesetaraan dan di pemilu dewan Kota Batavia tahun 1938 dan sudah ada perempuan yang duduk di dewan saat itu. Tahun 1955 pemilu Indonesia, perempuan sudah ikut dan itu bukan sesuatu yang gratis karena diperjuangkan sebelumnya. Lalu terselenggara kongres perempuan pertama di jogja. Perjuangannya sama, di seputar perjuangan kesetaraan bagi perempuan.

Pada waktu proklamasi itu Soekarno dikelilingi oleh perempuan tapi yang selalu disebut adalah Founding Fathers  tidak ada founding mothers-nya. Lalu tahun 1945-1949 terjadi agresi militer kedua dan itu baru ditemukan lagi oleh seseorang yang menjelaskan di disertasinya bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan perempuan selalu ada di situ ketika  terjadi pembakaran kampung di Sumatera dan Pulau Jawa. Perempuan sejak 17 Agustus 1945 sebenarnya ada yang lari-lari secara sembunyi ke Gedung Juang untuk mengibarkan bendera merah putih . “Kita harus tahu bahwa bendera merah putih itu bukan sekedar simbol tapi di situ ada darah dan air mata para pejuang perempuan,”tegas Profesor Sulistyowati.

Ia menambahkan bahwa buku-buku itu tidak banyak ditulis oleh para perempuan tetapi Indonesianis perempuan di luar negeri. Di tahun 1945 itu banyak kaum intelektual perempuan yang sudah membongkar semua bukti. Mereka dipolitisasi dengan digerwanikan dan mereka kalau yang dikirim ke luar negeri yang bukan sahabat Indonesia dicap sebagai komunis, lalu dinyatakan sebagai pengkhianat bangsa dan mereka kehilangan kewarganegaraannya. Lalu ada kelompok intelektual perempuan, para pegawai, guru-guru, tanpa proses peradilan mereka dipenjara termasuk di Plantungan Yogyakarta. "Di tahun 1998 barulah terjadi reformasi. Namun  di hari ini reformasi habis. Perjuangan kita 26 tahun itu tidak ada lagi, "ungkap Prof. Sulistyowati.

 

Apa yang Terjadi di Mei 1998?

 

Apa yang terjadi dengan perempuan pada Mei 1998? Profesor  Sulistyowati kemudian menarasikan, sekelompok perempuan mengalami kejahatan seksual bukan diperkosa sebagai perkosaan  biasa tapi dilukai oleh benda tajam dan tumpul dan ada yang mati. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menjelaskan tentang itu.

 

Lantas apalah situasi kita hari ini sekarang lebih baik? Karena tahun 1998 yang mereka lakukan adalah kekerasan fisik, tetapi hari ini yang mereka lakukan adalah kekerasan budaya dengan memperlakukan hukum sebagai senjata politik. Diam-diam mereka menggunakan otoritas sebagai lembaga tinggi negara untuk membuat hukum yang mendefinisikan kepentingan para elit politik. Dari Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), yang kurang dipahami adalah para sarjana hukum yang menjadi hakim itu apakah mereka sengaja menyalahgunakan teori yang mereka dapat di kelas, positivisme hukum yang memang aliran itu apabila disalahgunakan akan begitu saja eksitensinya, untuk diletakkan dari huruf ke huruf dan pasal ke pasal. Dan eksistensi itu jika dilepaskan  apakah adil berdampak adil ? Itu tidak ditampakkan  maka itu sebabnya MK yang melanggar etika berat tidak dapat digugurkan.

Dan di masa demisioner ini mereka hendak mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU Penyiaran), RUU Polri dan itu artinya apa? Kita bisa mengubah dari negara hukum ke negara kekuasaan. Ada hak asasi dari individu dan kelompok sosial dan hak memiliki properti harus ada. Unsur mekanisme kontrol  siapa yang bisa mengontrol? Pengadilan kita tidak independen. “Ada pembusukan hukum,”terang Profesor Sulistyowati.

Ke mana Kaum Intelektual Kampus?

Karena hukum itu dibuat mereka yang punya otoritas. Lalu pertanyaannya ke mana kaum intelektual kampus? Mereka sedang memperjuangkan diri sendiri karena kampus dibombardir oleh regulasi-regulasi yang merugikan sehingga mereka tidak bisa bergerak. Baru-baru ini ada Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dirjen Dikti) yang mengatakan seorang dosen itu akar, pohon, rantingnya itu ilmu. Apakah bisa jika kecenderungan pengetahuan global adalah transdisiplin, interdisiplin. Maka sudah seharusnya universitas itu otonom. Itu yang disampaikan oleh Mr. Supomo pendiri bangsa.

Apa itu otonomi kampus? Menurut Profesor Sulistyowati dosen mempunyai kebebasan akademik. Ia bisa berbicara seperti di dalam dskusi publik, ia juga boleh kuliah, dan melakukan riset. Dan juga kebebasan akademis harus didukung oleh tata kelola universitas yang baik : transparan dan akuntabel. Tetapi yang terjadi adalah ilmu pengetahuan direduksi sedemikian rupa menjadi soal-soal birokrasi dan administrasi. Dosen semenstinya tidak bisa disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) lainnya sebab ia punya tugas memproduksi pengetahuan. Penyeragaman kebijakan, peraturan, terhadap universitas dan dosen menyebabkan tidak tumbuh universitas yang sesuai dengan kesejahteraannya yang sesuai geografi dengan struktur. Harusnya universitas di Papua, Kalimantan jadi center of action dalam bidang kehutanan, kehutanan sosial, dalam bidang oceanologi.

Akibatnya menurut Sulistyowati lagi, ada 4000 lebih universitas di Indonesia menjadi universitas yang biasa-biasa saja. Belum pernah orang Indonesia meraih penghargaan nobel karena di sini tidak ada basic science research, akibatnya Indonesia yang kaya raya luar biasa, tidak ada industri baja yang tangguh, tidak ada industri petrokima yang tangguh, industri obat-obatan yang tangguh, alat rumah sakit yang tangguh karena semua itu impor dan industri besar di negara maju. “Itulah akibat dari penyeragaman kebijakan  yang diterapkan kepada universitas di Indonesia dan kami sebagai dosen betul betul dikungkung dengan robot-robot administratif sehingga dosen dosen tidak bisa bergerak. Ilmuwan dan ilmu itu seperti pedang bermata dua. Ia mencontohkan tentang Film Oppenheimer bertutur tentang  penemuan pengetahuan yang dikerjakan bertahun-tahun dalam hidup seorang ilmuwan. Begitu dikooptasi oleh kekuasaan maka ilmu itu berubah menjadi pembunuh,” terang Sulistyowati.

"Di Indonesia selalu kita berhadapan dengan kasus Rempang, kasus Kendeng. Kami berjuang dengan teman akademisi bikin petisi dan sebagainya. Tapi di sebelah sana juga ada ilmuwannya. Sekarang kita lihat apakah the rolling elite itu ada ilmuwannya? Ada. Kita tidak sebut namanya. Banyak Profesor di sebelah sana. Kita sudah tahu. Saya menangis bersama Ibu Omi dan kawan-kawan  bagaimana keadaan kita hari ini,” pungkasnya.  (Ast)