Film Budi Pekerti, dari Penghargaan ke Penghargaan Internasional dan Sisi Lain Tema

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada kabar menggembirakan, baru-baru ini film Budi Pekerti masuk nominasi Jeffrey C. Barbakow Award Best International Feature Film Festival yang akan berlangsung di Santa Barbara California, Amerika Serikat tanggal 7-17 Februari 2024. Kabar tersebut bersumber dari akun instagram @budipekerti belum lama ini. 

Film Budi Pekerti tayang perdana di Toronto pada 9 September 2023 dan terpilih sebagai official selektif di SXSn Sidney 2023 Screen Festival dan menjadi film pembuka di Jakarta Film Week (JFW) 2023 serta menyabet 17 nominasi Piala Citra FFI 2023. Dewan juri FFI 2023 menghadiahi Piala Citra untuk Sha Ine Febriyanti  yang berperan sebagai Bu Prani dan Prilly Latuconsina di film ini.

Film ini terinspirasi dari beberapa kisah viral di media sosial terutama kasus yang menimpa guru dan memotret bagaimana media sosial bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap seseorang. Naasnya, framing yang dikenakan pada Bu Guru Prani, yang digambarkan sebagai sosok emosional sebagai respon ketidakjujuran  dengan pelontaran kata "misuh" atau mencela dalam bahasa Jawa, "Asui" padahal sebenarnya ia berucap "Ah, suwi/ ah, lama" . Publik pengguna internet jadi "chaos", saling berbalas klarifikasi yang kemudian menyangkutpautkan nama yayasan di mana Bu Prani mengajar.

Berawal dari postingan laman kuliner yang viral sehingga si pedagang justru bertambah lelah karena "dimanfaatkan" oleh anak-anaknya yang kemudian malah menjadikannya jatuh sakit karena lelah. Akibat dari dunia media sosial sampai di titik ini terlihat sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Di balik itu, adiksi kepada media sosial bukan hanya berimbas secara positif tetapi kemudian menjadi racun. Ketika perbuatan-perbuatan baik (melayani keluarga) tidak lagi ditaati demi pekerjaan berjualan dengan wahana media sosial. Kedua anak Bu Prani menolak ketika sang ibu menyuruh mereka membelikan panganan yang saat itu lagi viral. Sesungguhnya carut- marut semua persoalan berawal dari sini. Betapa etika, nilai, norma berkeluarga telah mereka tinggalkan. Beruntung akhirnya mereka lekas sadar.

Film Budi Pekerti yang disutradarai Wregas Bhanuteja juga menyorot bagaimana sistem pendidikan saat pandemi kemudian menjadi mandek. Meski kentara bahwa teknologi jelas menolong dengan adanya Zoom. Namun kerap ditemui, bahwa komunikasi secara maya pun juga berarti tidak ada kendala. Sangat berbeda ketika Bu Guru Prani yang sangat dikagumi oleh banyak muridnya memberikan pelajaran secara langsung. Ia terkenal sebagai ibu guru penyayang, mengingatkan siswa yang dianggap nakal dengan caranya sendiri, serta memberi reward bagi siswa berprestasi.

Ada hal yang jelas menggelitik saya terkait pendidikan yang diterapkan oleh Bu Prani dalam film Budi Pekerti ini. Dalam hal mengatasi siswa yang dianggap paling nakal,dikisahkan jika si murid sampai mengancam akan membunuh/melukai temannya. Maka Bu Prani memberikan hukuman yang "tidak umum" yakni ikut menggali kubur bagi jenazah yang akan dimakamkan. Sebuah hukuman yang menurutnya masuk akal karena ia berharap si siswa menjadi rendah hati dan takut kematian.

Apakah memang boleh? si Gora, nama siswa tersebut kemudian mengalami apa  yang disebut akibat dari trauma yang pernah dialaminya. Ia harus rutin kontrol ke profesional. Dampak tersebut masih membayangi Gora. Jika ia suntuk maka ia akan mencari kedamaian dengan datang dan menyepi ke kuburan. Atau membenamkan badannya dalam rendaman air berlumpur atau kotor. Ia akan merasa damai dengan melakukan itu.

Satu dampak psikologis yang membuat Bu Prani menangis lalu meminta maaf pada Gora. Pada sudut pandang isu pendidikan, apa yang dilakukan oleh Bu Prani adalah tindakan yang tidak berperspektif anak. Dan meninggalkan satu pertanyaan dan diduga menjadi penyebab Gora mesti berkonsultasi secara psikologi kepada profesional. apakah yang telah dilakukan oleh Bu Prani dengan menghukum Gora adalah tindakan yang berdiri sendiri? Tentu saja tidak.

Sebab Bu Prani sendiri adalah seseorang yang luput dari perhatian bahwa dirinya sebetulnya juga memiliki kerentanan terkait kesehatan mental. Ia adalah seorang caregiver dari Pak Didit, suaminya yang memiliki bipolar yang mengharuskannya berobat rutin dan menelan biaya tidak sedikit dari gaji Bu Prani yang seorang guru di sekolah swasta. (ast)