Keberanian Perempuan Korban untuk Melawan dalam "Sehidup Semati"

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Film Sehidup Semati besutan Upi Avianto, sutradara sekaligus penulis skenario patut kiranya saya artikan sebagai antitesis keberadaan perempuan yang sering dianggap sebagai makhluk lemah, tak berdaya, penurut kepada suami dan sangat mengagungkan sebuah ikatan pernikahan.

Keagungan pada sebuah ikatan perkawinan itu bahkan sudah didengung-dengungkan sejak awal, ditambah pidato-pidato yang disampaikan oleh seorang tokoh atau pemuka agama yang diperankan oleh Lukman Sardi. Belum lagi lagu pengiring yang terus-menerus diputar di film ini, suara Elvis Presley lewat Can't Help Falling In Love seakan mewakili perasaan seorang manusia yang mencintai pasangannya secara buta/budak cinta (bucin) namun entah mengapa tidak mendapat balasan cinta seperti adanya.

Renata yang diperankan apik oleh Laura Basuki dan Edwin dilakoni Ario Bayu membangun kisah epik mereka sejak awal dengan hubungan suami istri yang tidak setara. Bayangkan, jika seorang istri yang hidupnya seratus persen melayani suaminya namun tidak memiliki hak apa pun untuk mengetahui apa yang diakukan oleh sang suami. Sampai-sampai untuk mengakses kamar kerja si suami saja tidak boleh. Celakanya keluarga Renata pun sangat mendukung laku patriarkat tersebut dengan tetap membela menantu dan ipar mereka meski Renata datang ke rumah mereka dengan babak belur.

Untungnya muncul tokoh Asmara yang diperankan oleh Asmara Abigail. Asmara digambarkan sangat ekspresionis dibuktikan dengan adegan-adegan sangat erotis, "meracuni" pikiran Renata dengan berbagai dogma,"perempuan yang unggul di ranjang dialah perempuan yang menang di kehidupan." Seakan menyihir Renata hingga ia sadar atas batas kesabaran. Akting Asmara Abigail sungguh sempurna, seperti laiknya saat dirinya membintangi film Setan Jawa. Perannya dengan nama yang sama : Asmara sangat total serta tak kalah bagus dengan peran yang dibawakan Laura Basuki. Dua bintang perempuan ini patut diacungi jempol. Kemunculan mereka berdua di film ini dengan peran yang protagonis dan antagonis, seakan gambaran dan refleksi bagaimana perempuan selama ini ditempatkan.

Pun tatkala muncul sosok perempuan tetangga apartemen, selingkuhan Edwin yang seakan "antara ada dan tiada" namun jelas telah hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sungguh absurd untuk menggambarkan jika perempuan yang bernama Ana tersebut benar-benar hadir di dalam rumah mereka yang hanya berbeda kamar. Sampai-sampai Renata dipaksa untuk meminum obat (obat penenang kah? atau semacam obat tidur) untuk mengelabuhi laku perselingkuhan mereka.

Munculnya tokoh Ibu Maya (Ibunda Ana) yang bertetangga dan menyewa dukun untuk suatu ritual memunculkan pertanyaan, juga beberapa adegan yang dibuat semistis mungkin sebab film ini bergenre thriller. Namun begitu tidak mengurangi pesan yang ingin disampaikan bahwa pada akhirnya Renata si istri yang di film ini menjadi korban kekerasan dari suaminya mesti sadar dan melawan. Sebuah ending yang sulit diduga. Juga adegan demi adegan yang menuntun pada kejutan-kejutan yang tiada terkira. Kemenangan Renata atas kebebasan dirinya perlu dirayakan seperti gambar pada penutup film ini. Sajian makan di meja dengan latar belakang suasana kelam. (ast)