Kasus kekerasan kepada perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) intensitasnya makin tinggi akhir-akhir ini dan tidak sedikit yang menyebabkan kematian. Kasus Cikarang dan kasus Dokter Qory menunjukkan bagaimana penanganan kasus KDRT sangat sulit dari UU yang progresif. Kasus Cikarang korban tidak segera melaporkan kasusnya, kembali kepada pelaku dan kemudian korban dibunuh oleh suaminya. Kasus Dokter Qory yang sudah melaporkan ke polisi dan tidak segera berujung ke penangkapan pelaku. Kadang kasus pembuktian kasus KDRT sangat sulit dicari pembuktian bahkan dicarikan bukti-bukti yang lain.
Walaupun dalam undang-undang sudah menjelaskan cukup dengan saksi korban sudah bisa dilaporkan, tetapi implementasinya tidak semudah itu. Demikian pembukaan diskusi publik kerja sama LBH APIK dan Cedaw Working Group Inisiative (CWGI).LBH Apik Jakarta tengah menyusun policy brief, yakni kebijakan terkait pembuktian pasal 55 UU PKDRT. Diskusi publik ini bisa disaksikan di kanal YouTube LBH Apik Jakarta.
Uli Pangaribuan, Direktur LBH Apik Jakarta mengatakan jika pihaknya bisa menyelesaikan policy brief UU PKDRT ini. Pengalamannya selama pendampingan menemukan hambatan ketika korban melaporkan kasusnya KDRT masih dibebankan dua alat bukti padahal di pasal 55 disebutkan bahwa keterangan saksi ditambah alat bukti yang lain bisa untuk memproses kasusnya. Hal itu tidak mudah sebab UU PKDRT sudah 19 tahun berjalan namun banyak kasus terkendala. LBH APIk menerima 473 kasus KDRT, hanya 43 kasus litigasi, lainnya non litigasi dan ada yang dicabut laporannya.
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi, meski usia UU PKDRT sudah 19 tahun ternyata masih banyak kesulitan dan jadi tugas berat bagi pendamping untuk memberikan penguatan kepada korban. Karena korban hambatannya sangat berat maka mereka mencabut laporannya.
Hambatan-hambatan Pembuktian Kasus KDRT
Listyowati, Ketua Yayasan Kalyana Mitra mengatakan meski sudah 19 tahun tapi masih banyak kendala dan ada dua hal yang jadi pencermatan, yang pertama masih berhadapan dengan perspektif yang bias dengan substansi maupun konsep dasar apa yang disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Ia menambahkan bahwa saat ini kita masih menghadapi masyarakat dan sistem hukum masyarakat yang tidak berpihak pada korban yang melihat kasus kasus KDRT, dianggap di ranah kasus privat. Hal ini merugkan korban untuk mendapatkan keadilan. Hal yang juga dibutuhkan adalah ketegasan, kepastian dan komitmen negara lewat penegak hukum untuk mengimplentasikan UU PKDRT dari tingkat nasional sampai tingakt daerah.
Kalau di tingkat nasional sudah banyak yang mengimplentasikan tetapi tidak sedikit di tingkat daerah impementasi UU PKDRT punya banyak kendala. Ini jadi PR bersama tidak hanya LBH APIK saja tetapi juga masyarakat sipil yang punya peran cukup krusial bagaimana mewujudkan keadilan dan keberpihakan kepada korban. Di satu sisi sudah punya undang-undang yang sudah berphak kepada perempuan tetapi di sisi lain, keadilan hukum belum berpihak kepada perempuan korban KDRT. Dan kekerasan dalam rumah tangga termasuk pelanggaran HAM.
UU PKDRT sebagai bentuk pelaksanaan dari CEDAW yang telah diratifikasi melalui UU nomor 7 tahun 1984, namun sayangnya setelah 19 tahun dilaksanakan pada praktiknya masih banyak kasus KDRT yang dilaporkan. Hal ini terungkap dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022 yang mencatat bahwa lebih dari 800 kasus kekeraan di ranah personal yang dilaporkan.
Kemudian data itu didukung oleh Catahu LBH Apik Jakarta yang menerima 473 kasus. Hanya 34 kasus yang dapat dproses secara litigasi dan hanya 13 yang sampai putusan. Rendahnya kasus yang sampai pada proses litigasi ini menunjukkan hambatan dengan lemahnya implementasi UU PKDRT. Penerapan pasal 55 UU PKDRT tentang pembuktian. Ditegaskan dalam pasal 55 tersebut bahwa keterangan saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa pelaku bersalah namun berdasarkan pengalaman teman-teman LBH Apik Jakarta, aparat penegak hukum kebanyakan masih berpacu ke dalam KUHAP, khususnya di pasal 185. (ast)