YAPHI Bersama SUPER Berbagi Pengalaman  Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Yayasan YAPHI dalam upaya melakukan sosialisasi dan advokasi pencegahan tindak kekerasan pada perempuan dan anak melakukan siaran melalui podcast  NGO-PHI dan YouTube Yayasan YAPHI  bersama Host Yosi Krisharyawan dengan menghadirkan Lalli Nur Anisah dan perwakilan Suara Perempuan Alor. Laili Nur Anisah adalah pengajar hukum pidana dan perlindungan perempuan dan anak di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, sedangkan Mariam dan Novi dihadirkan mewakili Suara Perempuan Alor.

Suara Perempuan Alor  atau disingkat SUPER adalah perkumpulan anak muda yang dibentuk pada tahun 2021 berlatar belakang meningkatnya kasus-kasus kekerasan baik secara fisik, non fisik, dan ekonomi. Mereka  awalnya nenggunakan nama komunitas peduli kekerasan terhadap perempuan dan anak dan memulai aksinya pada 4 Desember 2021 di peringatan Hari AIDS dengan melakukan kampanye  membagikan poster berisi penolakan kekerasan terhadap perempuan dan anak dan pesan-pesan yang berisi tentang pencegahan AIDS. Setelah itu di tanggal 10 Desember 2021 di Hari HAM melakukan roadshow bertema "Perempuan Alor Jangan Diam".

Jauh hari sebelumnya mereka melakukan talkshow radio, kebetulan di Alor ada radio Dian Mandiri Alor yang jaringannya menembus ke kampung-kampung, desa-desa sehingga bisa memanfaatkannya, dan melakukan  kampanye dua kali. Setelah itu talkshow diadakan di Kampus Tribuana Kalabahi. Semua elemen ikut menjadi peserta di even tersebut,  juga organisasi pemuda dan pemkot. Narasumber talkshow berasal dari pengajar Universitas Tribuana Kalabahi. Juga ada narasumber dari dinas kesehatan, kepolisian, pemda  dan peneliti budaya. Pada saat itu mereka berkomitmen sebab banyak menemukan kasus yang waktu itu sempat diungkapkan tetapi penyelesaiannya tidak tuntas lalu mengadakan pertemuan di sekretariat.

Mariam  dari SUPER mengatakan menyangkut pendampingan kasus memang berbeda-beda. Awalnya mereka menemukan satu kasus kekerasan dalam pacaran. Kasus pertama SUPER, waktu itu hanya mendengar korban bercerita kemudian berkomunikasi dengan rutin dan mendorongnya keluar dari persoalan. Setelah jalan beberapa bulan kemudian mereka menemukan kasus Kekerasam Dalam Rumah Tangga (KDRT) : kasus suami menganiaya istri sehingga istri pulang ke keluarga dan berinisiatif melaporkan suaminya. Istri memiliki anak yang masih kecil  dan anak ini jadi korban karena sering melihat ayah ibunya  bertengkar dan ada kekerasan di depannya. Kasus tersebut saat ini mereka dampingi dan sedang dalam tahap akan maju ke persidangan. Korban, si perempuan,  beberapa kali bertemu pendamping dan secara emosional mengatakan hidupnya lebih harmonis karena sudah bisa keluar dari belenggu kekerasan.

Mariam menambahkan beberapa kasus yang sulit adalah kasus perkosaan. Mereka sudah  mendekati korban dan ada yang mau terbuka namun ada yang masih tertutup. Sebenarnya masih banyak kasus  lagi dan yang  paling berat kasus perkosaan ayah kandung menghamili anaknya. Ayah dan ibu latar belakang pekerjaan sebagai  tani. Mereka memiliki anak 6 dan belum punya dokumen kependudukan/identitas/ data diri sama sekali. Hal itu menjadikan "PR" bagi Mariam dan kawan-kawan.

Banyak kasus yang ditangani SUPER dan Ada yang Sulit Diselesaikan

Novi, narasumber lain dari SUPER mengatakan terkhusus kasus yang beberapa waktu lalu santer  terdengar di berbagai penjuru. Pelaku adalah salah seorang kepala dinas di Kabupaten Alor. Dia memperdayai anak-anak yang masih sekolah dan putus sekolah untuk dijadikan pekerja seks. Ada upaya para pegiat isu perempuan dan anak   ingin menyelesaikan kasus itu namun di tubuh aparat hukum sendiri jaringannya sangat kuat. Kasus-kasus itu melibatkan orang-orang penting di Alor sehingga sangat sulit walau sudah berjuang, hanya beberapa orang yang mendapatkan sanksi sedangkan yang terlibat di dalamnya banyak yang tidak mendapat hukuman.

Ada lagi yang kasusnya terkait anak sekolah di Alor yang prosesnya, korban tldak mendapat haknya serta dipublish di media, serta tidak ada proses pemulihan. Ini menjadi hal penting bagi SUPER dan mereka tidak hanya fokus pada korban tetapi juga pelaku supaya  tidak mengulangi.

Realitas di masyarakat masih banyak perempuan jadi korban KDRT diselesaikan secara internal, hukuman hanya sebatas denda. Ada korban kekerasan seksual memilih menjaga nama baik keluarga dan masa depannya seperti apa jadi diselesaikan kekeluargaan, didenda makan atau sarung. Kalau penyelesaiannya begitu, maka korban akan terus merasa bersalah sebab dia merasa menjadi penyebab kekerasan seksual yang menimpanya.


Budaya Patriarki yang Mengakar

Novi menambahkan jika budaya patriarki yang masih kental menjadi hambatan dalam mereka bergerak. Contohnya ketika perempuan menyampaikan pendapat masih sering diabaikan. Apalagi jika pelaku orang dekat. Dalam pendampingannya mereka  perlahan bersyukur pada akhirnya  ada keluarga korban  yang  mendukung sebab banyak keluarga tidak mendukung dan korban selalu disalahkan.

Terkait budaya patriarki diiyakan oleh Laili Nur Anisah bahwa masih banyak perempuan korban yang butuh bantuan dari SUPER. Apalagi jika dipandang berat oleh korban. Misalnya jika korban berada di bawah kekuasaan orang-orang tertentu yang memiliki jabatan. Di Jawa pun juga memiliki problem yang sama terkait dengan cara pikir,  terkait budaya hukum, budaya di masyarakat yang memang membatasi advokasi kekerasan seksual mencapai tujuan. Tidak hanya di Alor saja tetapi di Jawa juga ada budaya patriarki.

Budaya patriarki mendikte para perempuan supaya  tidak berani bicara jika terjadi kasus-kasus kekerasan kepada perempuan dan anak. Karena menurut budaya patriarki perempuan itu dinilai terhormat jika ia tidak nakal atau tidak melakukan hal di luar norma masyarakat. Dan  ini problem bersama. Kalau korban ngomong atau mengadu, ia akan dibungkam lagi karena dianggap merusak citra atau nama baik keluarga. Ini berhubungan sekali dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan  9 Mei 2022. Dalam UU TPKS tidak diperbolehkan tindak kekerasan seksual diselesaikan di luar pengadilan. Kalau pelaku dan korbannya dewasa maka bisa ditindak. Kalau pelaku anak dan korban anak bisa  dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak ( UU PA) tapi kalau pelaku  dewasa, korban anak, diselesaikan dengan UU TPKS.

Kenapa tidak boleh diselesaikan di luar pengadilan? Sebab yang bermusyawarah atau duduk bareng pasti kerabat korban yang laki-laki, ayah, paman, kakek. Korban tidak diberi ruang untuk bicara.

Laili Nur Anisah kemudian menjelaskan beberapa hal terkait UU TPKS yang memuat 9 tindak pidana kekerasan yang diatur. Kesembilan tindakan kekerasan tersebut adalah : 1. Kekerasan seksual non fisik. Korban bisa laki-laki bahkan orang dengan orientasi seksual yang berbeda.
2. Kekerasan seksual fisik misal disentuh  bagian sensitif bahkan entah kepala, dahi.
3. Pemaksaan alat kontrasepsi.
4. Pemaksaan sterilisasi.
5  Pemaksaan perkawinan misal diculik atau "kawin tangkap" 
6. Penyiksaan seksual.
7. Eksploitasi seksual misal pelaku mengeksploitasi korban untuk mendapat uang dan pelaku punya jabatan tertentu.
8. Perbudakan seksual ; penyekapan.
9. Kekerasan seksual berbasis eletronik.

Di Kabupaten Alor sendiri sudah dilakukan sosialisasi UU TPKS tetapi masih sangat terbatas pada sedikit aparat penegak hukum. Dan  dalam diskusi, masih banyak orang tua yang tidak terima terkait perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga (suami dan istri)  yang menurut mereka itu  berurusan secara privat, sehingga dijelaskan pun tidak terima. (Astuti)