Implikasi UU TPKS pada Penyandang Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Sebagai refleksi akhir tahun pasca enam bulan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS),  Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan webinar “Implikasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Penyandang Disabilitas” .

Kegiatan ini didukung oleh pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2). Melalui webinar ini, SAPDA mengajak pemerintah, lembaga penyedia layanan, aparat penegak hukum, pers, dan organisasi penyandang disabilitas, pemerhati isu kekerasan seksual serta masyarakat umum untuk melihat potensi implikasi UU TPKS terhadap upaya pemenuhan kebutuhan khusus dan penanganan hukum penyandang disabilitas korban kekerasan seksual.

SAPDA telah mengidentivikasi beberapa mandat penting terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual di dalam UU TPKS. Salah satunya adalah penyediaan akomodasi yang layak dan aksesibilitas. Mandat ini diatur dalam pasal 66 UU TPKS. Dalam Pasal 70 pun mengatur bahwa aksesibilitas dan akomodasi yang layak wajib diberikan saat pemulihan sebelum dan selama proses peradilan. Secara lebih spesifik, UU TPKS telah mengatur salah satu bagian penting dari akomodasi yang layak tersebut, yakni penyediaan pendamping. Pasal 27 ayat 1 UU TPKS mengatakan penyandang disabilitas berhak didampingi oleh orang tua atau wali yang ditetapkan oleh pengadilan atau pendamping.

Mandat lainnya adalah kewajiban dari aparat penegak hukum untuk mengakui kecakapan hukum penyandang disabilitas. Pasal 25 ayat 4 UU TPKS mengatakan keterangan saksi/korban penyandang disabilitas memiliki kekuatan hukum yang sama dengan saksi/korban bukan penyandang disabilitas. Ayat selanjutnya menyebutkan, keterangan penyandang disabilitas wajib didukung penilaian personal. Penilaian personal dapat membantu aparat penegak hukum maupun lembaga penyedia layanan dalam mengenal kebutuhan khusus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum dan memastikan pemenuhannya.

Selain itu, UU TPKS juga memberikan amanat bagi beberapa pemangku kepentingan yang memiliki peran strategis dalam memastikan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual. Misalnya dalam Pasal 76 mengamanatkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk memfasilitasi kebutuhan penyandang disabilitas di dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan. Pasal 83 UU TPKS turut mewajibkan Komisi Nasional Disabilitas (KND) melakukan pemantauan kemajuan penanganan kasus kekerasan. Pasal 73 juga memberikan wewenang bagi organisasi penyandang disabilitas untuk mengambil peran dalam penyediaan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. Dalam Pasal 79 pun mewajibkan negara melibatkan panti sosial dalam pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual.

Di samping itu, sejumlah bagian UU TPKS juga telah melihat kerentanan berlapis pada penyandang disabilitas terhadap kekerasan seksual. Pasal 7 UU TPKS misalnya menyebutkan pelecehan seksual fisik dan non fisik akan menjadi delik biasa (delik pidana) ketika korbannya adalah anak dan penyandang disabilitas. Pasal 14 juga mengatur hal yang sama untuk kekerasan seksual berbasis elektronik. Artinya, siapapun yang mendengar, melihat dan menyaksikan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dan penyandang disabilitas bisa langsung melaporkan tanpa adanya aduan dari korban.

Proses hukum pun tetap berjalan walaupun laporan dicabut. Kemudian, Pasal 15 UU TPKS mengatur pemberatan pidana pelaku sebanyak satu per tiga untuk tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dan penyandang disabilitas. Pemberatan yang sama juga berlaku jika pelaku berasal dari tenaga kesehatan, tenaga medis dan tenaga kependidikan. Pasal-pasal tersebut mengakui bahwa kerentanan penyandang disabilitas bisa bersumber dari orang terdekat atau bahkan pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan.

Webinar ini menghadirkan narasumber yaitu Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Valentina Gintings; Komisaris Besar Polisi Ciceu Cahyati dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI; Jaksa Utama Pratama Kejaksaan Agung RI Erni Mustikasari; serta Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI Maliki. Perwakilan dari Mahkamah Agung RI, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) DIY, serta lembaga pengada layanan penanganan kekerasan seperti Rifka Annisa dan Rumah Cakap Bermartabat SAPDA juga berpartisipasi turut memberikan tanggapan atas paparan narasumber.

Direktur Yayasan SAPDA Nurul Saadah Andriani dalam sambutannya mengatakan “Penyandang disabilitas baik perempuan maupun anak-anak terancam oleh beragam bentuk kekerasan seksual dari orang terdekat sampai dengan orang asing. Dengan terbitnya UU TPKS, setidaknya ada harapan baru bahwa kita akan lebih terlindungi dari potensi kekerasan dan para pelaku yang selama ini mengincar kita. Sebagai institusi yang bergerak pada isu perempuan, difabel dan anak, SAPDA akan terus bergerak, bekerja dan berjuang untuk memerangi kekerasan seksual melalui UU TPKS beserta semua perangkatnya.”

Koordinator layanan penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas Rumah Cakap Bermartabat SAPDA, Arini Robi Izzati yang hadir sebagai penanggap menyatakan bahwa UU TPKS mengamanatkan pemenuhan berbagai hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual. Hak-hak ini perlu diatur di dalam regulasi-regulasi turunan yang lebih teknis, baik itu peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (Perpres) untuk merespons situasi hambatan dan kerentanan penyandang disabilitas terhadap potensi kekerasan seksual. Kerentanan ini berlapis karena tak hanya berasal dari kondisi kedisabilitasan, tetapi juga kondisi ekonomi dan pendidikan yang membuatnya sulit mengakses layanan..

Pasca webinar ini diharapkan para pemangku kepentingan dapat saling bersinergi mengimplementasikan mandat UU TPKS dalam rangka memastikan pencegahan, penanganan dan pemulihan bagi semua korban kekerasan seksual, termasuk korban penyandang disabilitas. (Ast)