Buletin

Peluncuran Buku Transformasi Feminisme Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dikutip dari YouTube LetssTalk_Sexualities beberapa waktu lalu, yang menyiarkan webinar via zoom meeting, Lestari Nurhajati dari LSPR menyatakan selamat atas terbitnya buku "Transformasi Feminisme Indonesia : Inklusivitas dan Interseksualitas oleh LetssTalk dan Konde.co adalah gambaran perjuangan bersama dari teman-teman feminis  karena salah satu yang bisa dilakukan adalah menyebarkan informasi dan pengetahuan tentang feminisme. Buku transformasi feminisme indonesia dengan tajuk lebih kecil yakni moralitas, inklusivitas dan interseksionalitas. LSPR mencoba berupaya memproduksi nilai-nilai kesetaraan gender dalam berbagai sektor yakni penulis dari akademisi dan umum untuk menyuarakan feminisme dan tidak dibatasi dari sisi kemampuannya sehingga ada pula penulis pemula.

Lestari menambahkan banyak juga penulis yang sangat profesional seperti akademisi. Buku ini banyak sekali memuat tulisan dari berbagai pihak untuk jadi acuan ketika seseorang melihat secara makro atau keseluruhan, dimana perkembangan feminisme di Indonesia yang menurutnya belum dibukukan. "Buku ini sangat luar biasa. Menarik  dengan tema beragam.
Berbagai temuan asli masyarakat di Indonesia dan di luar negeri," ujar Lestari. Ia menambahkan tidak kalah panting ada dua tokoh feminisme di dunia ini menjadi panutan yakni penulis Virginia Woolf dan Naomi Wolf. Keduanya ada di dalam masa yang amat berbeda.

Luviana : "karena Kartini menulis"

Sementara itu, Luviana dan Anita Dewi dari konde.co sama-sama menjadi editor bersama Ira dan Farid. Menurut Luviana, Buku ini menulis tentang feminisme dan media. Dalam konteks feminisme kadang media sebagai tulisan pelengkap atau sebagai kampanye dan bagian kecil tapi ternyata dengan semangat feminisme pula, buku ini ada tulisan-tulisan khusus tentang media. Kalau membaca feminisme ada feminisme postmodern dan feminisme kultural yang menyorot tentang media dan di buku ini ada. Kedua yang menggembirakan adalah karena Kartini menulis. Bacaan dan pemikiran pemikiran Kartini bisa disebarluaskan ke mana-mana dan tidak mati sampai sekarang.

Buku feminisme yang diterbitkan  bersama dengan LSPR, Letsstalk dan Konde.co itu karena salah satunya adalah karena Kartini menulis. Menulis tentang kajian dan pemikiran perempuan Indonesia yang berubah. Dalam kondisi feminisme yang terus berkembang mengalami perubahan kemudian buku ini dianggap penting untuk diterbitkan. Lalu berapa banyak organ yang terlibat? yang jelas bagi anak-anak muda buku ini sangat penting. Kalau membaca kajian feminisme di barat dan timur, buku ini khas feminisme Indonesia dan banyak sekali anak muda yang menuliskan feminisme ini dengan menggembirakan. Artinya bahwa feminisme adalah hal menggembirakan. Tidak berjarak. Tidak hanya dimiliki oleh orangtua tetapj juga anak-anak muda. Anak-anak muda di konde.co, membaca buku ini lalu menyebarluaskan sebagai hal penting 
Dan satu hal penting bagi Luviana adalah, "menulislah. Maka hidupmu tidak akan mati. Kalaupun kamu mati maka tulisanmu akan hidup."

Diah Irawaty biasa dipanggil Ira mewakili Lettstalk dan editor menyatakan bahwa buku ini asalnya dari artikel atau makalah yang disampaikan di KCIF tahun lalu atau yang pertama dan diniatkan jadi buku dan dijadikan delapan tema. Organ dan temanya lalu dibikin struktur dengan standarisari penulisan ilmiah. Jadi bukan penilaian cerita narasi tapi diformat menjadi buku. Yang dijadikan sitasi dan dianggap valid di dalam penulisan ilmiah atau akademik. Ada 8 tema di antaranya tentang gender,feminisme dan seksualitas. Ada metodologi feminisme dan penulisan sejarah, transformasi gender dan keluarga baru. Bab ketiga tentang keragaman gender dan seksual, persoalan negosiasi dan gerakan. 4. Otoritas ketubuhan dan kesehatan reproduksi. Tantangan dan kesempatan. 5.Feminisme dan ancaman kerusakan ekologi/Ecofeminism, 6. Media dan kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual bab 7. Negara, kebudayaan dan diskriminasi gender, 8. Interseksualitas, agenda gerakan dan keadilan gender.

Kemudian setelah dicetak jadi 506 halaman. Dengan materi awal dari paper KCIF tahun lalu, maka tidak bisa memuat semua topik karena berdasar sub mission. Tidak semua peserta mengirim ke panitia dan jadi buku. Beberapa orang presenter ada yang keberatan jika diwajibkan menulis. Memang lebih bersifat volunteer dan direview bersama-sama. Tim akan capture dan menangkap isu-isu feminisme lalu ingin mem-frame tema tema dalam KCIF tahun lalu jadi kontribusi buku tentang feminisme yang terus berkembang. Ira berpikir ini gerakan feminisme di Indonesia yang mengikuti arus zaman dan dinamika politik yang tidak stabil, tidak stagnan dan tidak tunggal. Dari awal ia mematok feminisme itu plural tidak tunggal dan ini sangat beragam. Feminisme tidak berdiri sendiri. Tema KCIF pertama inclusif dan interseksualitas, dengan berbagai persoalan dengan isu lainnya dengan dominasi yang beragam. Dengan persoalan kelas dan etnisitas dan persoalan lainnya dan seksualitas di dalamnya.

Sebagai editor ia sangat menikmati proses penerbitan buku ini. Mulai naskah  masuknya tulisan dan review. Tim editor mengetahui perkembangan feminisme di Indonesia  yang intensif dan mereka semakin mengenal pengkaji pengkaji gender, seksualitas di Indonesia yang pengkajinya tidak hanya terpusat di Jawa dan Jakarta saja. Di kampus-kampus  besar  saja tapi menyebar. Yang mendaftar presenter KCIF ada 800-an dan menyebar dari Aceh sampai Maluku dan ada dari beberapa daerah lain. Ada pula dari Australia, Amerika dan dari benua serta negara lain. Ini potensi sangat besar bagi pengembangan studi tentang feminisme di Indonesia untuk produksi dan banyak anak muda di dalamnya sehingga membuktikan bahwa studi tentang feminisme di Indonesia mengalami kemajuan dan semua turut berbangga dan besar hati tetapi tidak kemudian menjadikan tidak humble  atau merasa lebih maju melainkan harus lebih meningkatkan kualitas diri baik dari tema yang diangkat, kualitas penulisan serta kualitas pembaca. Analisis yang lebih kritis itu perlu dikembangkan. Dan semua berharap apa yang sama-sama telah dilakukan itu ada efeknya. Yang bisa berkontribusi pada gerakan perempuan baik feminisme atau aktivisme pada advokasi kebijakan yang juga berdampak kepada kesadaran publik dan keinginan kita untuk mengembangkan tradisi diskusi dan sama-sama memproduksi pengetahuan lalu mensirkulasinya. "Ini bagian kita mensirkulasinya  dan saya harap kita tidak merasa puas. Kita akan lanjutkan tradisi memproduksi dan mereproduksi pemikiran tentang gender  dan seksualitas di Indonesia. Kita perlu proses dan wadah pengkaji isu gender dan seksualitas,"pungkas Ira


Dr. Nicodemus Niko yang menjadi kontributor dalam diskusi menyatakan bahwa masyarakat asli Dayak. Ada feminisme lokal karena pengetahuan-pengetahuan tentang adat sangat kental sekali. Bahwa ajaran adat di tempatnya adalah memberdayakan. Ini yang ia maksud dengan feminisme lokal. Saat ini perempuan adat berada di bawah tekanan baik kapitalisme maupun negara. Perempuan adat seringkali terpinggirkan di dalam proses-proses kepemilikan modal. Perempuan adat selalu menjadi orang-orang yang dipinggirkan dalam konteks di lingkungan kami di Dayak Benawan. Sangat penuh perjuangan. Mereka masih mempertahankan adat supaya pengetahuan- pengetahuan tidak hilang ditelan perusahaan yang saat ini mendominasi. Juga di bawah tekanan negara. Di satu pihak mendukung dan melindungi masyarakat adat  tapi di pihak yang lain negara juga menjadi penekan. Banyak tokoh adat yang dikriminalisasi. Banyak perempuan adat yang teirmbas oleh kebijakan negara. Kemudian jika dilihat satu kajian bank dunia bahwa kesetaraan itu tidak ada bagi perempuan yang bekerja di satu negara pun. Sangat tidak mungkin setara antara laki laki dan perempuan.Bagaimana Indonesia membaca itu. Kalau tidak ada penghidupan feminisme lokal ini maka tidak dapat membaca narasi-narasi yang ada di dalam  buku feminisime Indonesia  yang dilaunching ini 

Niko membaca beberapa bab di buku ini bahwa satu gerakan yang membahas tentang satu ancaman ekologi itu ada dalam satu tulisan bahwa anyaman rotan itu simbul perlawanan perempuan. Ini berasal dari perempuan lokal  yang melawan. Inilah yang ia maksud menghidupkan kembali hal-hal semacam ini. Jika tidak didokunentasikan di buku maka tidak bisa membaca, oh ternyata ada ya  perlawanan perempuan  hanya melalui anyaman rotan. Ini yang penting pendokumentasian pengetahuan feminisme. Dan sebagai kontrubutor ia ikut berbangga dengan adanya wadah dan kesempatan. Menurutnya gerakan feminisne lokal sangat kuat untuk mempromosi. Feminisme lokal mempromosikan partisipasi, tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki. Perempuan tidak bisa bekerja sendiri tapi bersama-sama mendorong.

Niko melihat buku ini satu gerakan alternatif yang sangat berani. Di dalam buku ini banyak yang menyoroti bahwa negara tidak berpihak pada kesetaraan gender  bukan berarti mengesampingkan peran negara. Bahwa negara hadir itu harus. Ia membaca juga ada gerakan feminis yang sangat unik di dalam buku ini. Bahwa gerakan ini harus ramai-ramai. Gerakan feminis sepanjang sejarah telah mentransformasikan maskulinitas dan patriartki serta melibatkan laki-laki dalam kesetaraan gender dan sangat memiliki kontribusi. Dan dalam setiap tulisan kontributor sangat menarasikan pemberdayaan kelompok rentan.


Pemikiran interseksualitas  ada nilai tradisi lokal yang menjadi penting dalam proses melihat pengetahuan feminisme. Misalnya perempuan adat di wilayah mereka keseharian menganyam rotan. Ketika perkebunan kelapa sawit membabat habis hutan mereka lalu mereka membuat anyaman rotan.

Lainnya tradisi lokal  saat ini masyarakat adat Dayak Bengawan  banyak laki laki atau ayah yang mendorong berusaha keras agar anak perempuan bisa sekolah tinggi. Pada zaman dulu anak perempuan susah cari akses kuliah di perguruan tinggi.

Pencapaian kesetaraan gender di tanah air sejatinya memerlukan langkah bersama dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil karena tanpa kesadaran kolektif, pencapaian kesetaraan gender tidak terwujud. (Ast)