Momen hari lahir Kartini yang setiap tahun diperingati, seringkali dirayakan dengan gegap-gempita bersamaan perlombaan fashion show perempuan berkebaya atau pakaian tradisional lainya. Namun tidak kali ini dengan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera). Komasipera adalah komunitas yang terdiri dari masyarakat sipil pemerhati isu perempuan di Kota Surakarta.
Fanny Chotimah, penulis, penyair, sutradara sekaligus dosen perguruan tinggi negeri di Solo dalam diskusi kritis dan nonton bareng film "R.A. Kartini" yang dihelat oleh Komasipera didukung Yayasan YAPHI, Rabu (23/4)di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, menyatakan bahwa Sjumandjaja, sang sutradara, menggambarkan tokoh Kartini dengan sangat manusiawi,tidak digembor-gemborkan ketokohannya.
Menonton kembali film R.A. Kartini produksi tahun 1982, ada banyak adegan yang memperlihatkan besarnya rasa kasih sayang R.M.A.A. Sosroningrat, kepada sang putri. Ayah Kartini adalah pembaharu pada zamannya. Di samping sang ayah pula, Kartini melihat ketimpangan sosial di lingkungan sekitarnya, para petani dan nelayan yang miskin dan kesulitan membayar pajak yang tinggi.
Sementara itu Kartini gelisah dengan pilihan hidup dan memulai fase pingitan yang harus dijalaninya karena tak hanya sang ayah, tapi ibu dan kakaknya mengatakan bahwa gelar “Raden Ayu” dalam adat dan budaya Jawa adalah trah tertinggi.
Sebuah kutipan yang diucapkan oleh Kartini tentang dua kata sifat “kesatria” dan “perwira” menjadi sesuatu yang penting untuk digarisbawahi. Juga kutipan tentang masa dewasa yang sangat ditakutinya karena pada saatnya maka datanglah masa pingitan itu. Ia mengatakan bahwa yang paling ditakuti saat itu adalah menjadi dewasa. Kartini memprihatinkan kondisi bangsanya saat dia dipingit. Keadaan rakyat yang miskin dan terperdaya. Sementara itu, Nancy, teman Kartini dan keluarganya mengusahakan agar Kartini bisa sekolah ke negeri Belanda.
Kartono Melesatkan Pikiran ke Masa Depan
Kartono, kakak Kartini dengan sangat bersemangat berpidato di hadapan kaum pelajar dan mengatakan bahwa seorang Jawa yang mengerti bahasa Belanda maka akan mengerti apa yang ditulis oleh orang Belanda terhadapnya sehingga ketika terjadi kesalahan maka ia mengerti. Dan hanya sedikit orang Belanda yang mengerti orang Jawa. “Dari sedikit itu berapa yang mencintai orang Jawa?”tanyanya. Kartono juga berkata akan menjadikan musuh bagi orang-orang yang dipaksa menjadi Eropa atau berlaku seperti orang Eropa. Ia juga berkata secara berapi, "bangunlah dari tidurmu yang pulas!"
Kesadaran Kartini lahir dari keprihatinan mendalam, bagaimana kaum pribumi rendah pendidikannya lantas menggugahnya untuk membentuk sekolah yang lepas dan tidak terikat dari government atau pemerintah Hindia Belanda, yang bebas dari aturan kurikulum. Ia sadar betul tentang kebutuhan akan pendidikan dan watak sosial budaya bangsa sendiri. Menurutnya, bukan cuma sistem yang harus diperbaiki tapi rakyat yang masih dalam kegelapan harus diajari untuk pandai. Kartini akhirnya membuat sekolah dan sebagai murid pertama adalah Gayatri.
Sistem Pemerintahan yang Semakin Membuat Rakyat Tertindas dan Miskin
Dalam sesi diskusi, para peserta mengemukakan ketertarikan mereka karena ada satu kata kunci yakni “sistem” yang beberapa kali digaungkan dalam adegan-adegan. Kata "sistem" itu kemudian diinduksi atau diperluas maknanya dengan mempertontonkan dampak dari sistem pemerintahan yang semakin membuat rakyat tertindas dan miskin.
Beberapa kali juga kata-kata Kartini dengan lembut menghipnotis seperti misalnya tentang perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Sebuah kalimat menohok lagi-lagi terucap tentang bagaimana ambigunya seorang pemimpin yang harus menghadapi sebuah sistem. Jika pemimpin yang memiliki rasa keadilan pasti akan sengsara karena akan bertabrakan dengan sistem.
Menurut Pamikatsih, seorang aktivis isu difabel, ide-ide Kartini sangat luar biasa. Hal ini sangat berelasi di zaman sekarang bahwa ia yang berkecimpung di isu disabilitas menyadari ada konstruksi besar. Ketika ada kesalahan sistem yang konstruktif atau sistem itu tidak dibongkar, maka pergerakan masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang diperjuangkan. “Saya perempuan dan disabilitas mengalami ketidakadilan yakni penghargaan dari sistem, kebudayaan, agama dan struktur yang tidak berubah. Saya berusia 59 tahun dan berjuang 30 tahun ini baru sadar bahwa ini yang selalu diomongkan bahwa perjuangan perempuan Indonesia belum menjadi kesadaran kolektif bersama. Ada sistem yang belum berubah. Kalau ini dibiarkan maka R.A. Kartini hanya diperingati sebagai sanggul dan kebaya,”ungkap Pamikatsih.
Fanny Chotimah menanggapinya bahwa setelah menonton flm R.A. Kartini, jadi tahu pemikiran Kartini dan ide-idenya yang berbahaya. Kartini berargumen ketika suaminya berkata bahwa sudah menjadi “nasib” bagi mereka yang bukan bangsawan, tetapi Kartini lalu menyanggahnya bahwa itu adalah “sistem”. Menurut Fanny, ini kuat relasinya dengan kasus-kasus difabel yang berkaitan dengan sistem, negara dan bagaimana perlakuan negara terhadap mereka.
Anik Mahanani, pemerhati isu pendidikan dan perempuan menyampaikan bahwa film ini tentang pendidikan perempuan tetapi yang sekarang terjadi adalah pendidikan yang hasilnya memprihatinkan misalnya terjadi di Buleleng, anak SMP belum bisa membaca. Lantas poligami direduksi dengan permaknaan sempit dan itu ‘”disetujui” yang lantas menimbulkan pertanyaan besar, "apa karena perempuan punya vagina"?
Menjadi Bangsa yang Pelupa
Bukik Setiawan, pemerhati pendidikan yang turut hadir dalam diskusi bersepakat dengan sebagian besar pendapat yang disampaikan oleh para peserta. Lantas ia melontarkan pertanyaan, setelah merdeka kok sama keadaannya. Menurutnya Kartini dan tokoh-tokoh di film itu adalah bagian apa yang selama ini bangsa Indonesia perjuangkan. Namun demikian ada yang putus dalam perjuangan tersebut yakni di peristiwa 1965. Ia melihat ada beberapa rujukan terkait putusnya pengetahuan, pemahaman serta perjuangan tersebut. “Kartini lebih mewah dalam membaca buku dibanding anak-anak sekarang. Saya dilarang membaca Rumah Kaca, Jejak Langkah dan karya Pramudya lainnya. Nah, menurut saya, yang jahat dari Orde Baru itu adalah pemutusan 32 tahun sejarah bangsa,”terang Bukik. Ia menambahkan sebagai bangsa, yang hilang dari sekolah-sekolah dan bagaimana melanjutkan perjuangan Kartini , yang sekarang PR-nya adalah setelah kemarin memperjuangkan Merdeka Belajar, adalah ujian nasional yang dihapus muncul lagi . “Maka kita bicara, berjuang lebih panjang lagi untuk 50 tahun ke depan,”pungkasnya.
Fanny Chotimah menanggapinya dengan menyatakan bahwa selama ini rakyat dibiarkan jadi bangsa pelupa. Padahal justru seharusnya mencari tahu. Dan kalau tahu maka persoalan yang sebenarnya adalah supaya tidak terulang lagi sehingga peristiwa yang membuat trauma tidak terjadi di masa depan.
Vera Kartika Giantari, pemerhati isu anak dan perempuan menyatakan apresiasi kepada pekerja film terutama kepada Fanny yang membagi film berdurasi tiga jam tersebut menjadi per babak tetapi tidak menghilangkan ruhnya . Ia menambahkan apa yang perlu dipelajari adalah budaya patriarki . Itu sebenarnya yang ia ditekankan bahwa di film ini, laki-laki digambarkan sebagai bukan yang sangat kejam. Kartini mampu menjadi pembaharu, dia mendobrak pemikiran yang elegan bagaimana priyayi dengan tanpa mempermasalah dan menjaga kesadaran.
Vera menambahkan bahwa setiap kata di film ini ternyata penuh makna, contohnya : "Kalaupun ini bencana, itu adalah sebuah nikmat. “Saya bayangkan Kartini di masa kini, pemikiran dan strategi apa yang akan dia lakukan. Di film digambarkan bagaimana dia melihat peluang perajin dan gagasan ekspor. Kartini hadir tidak tiba-tiba dan akhir dari darah pembaharu dan ia dididik orangtuanya agar mampu mengekspresikan,”ungkap Vera.
Diakui oleh Fanny, jika film terkesan suram, karena keberpihakan sutradara Sjumandjaja kepada manusia. Film in juga terkesan mengajar keberanian. Kata-kata “kesatria” dan “perwira” dari awal sampai akhir selalu disinggung.
Menjadi Kesatria Seperti Apa?
Para peserta diskusi kemudian diajak oleh Fanny yang berperan sebagai fasilitator sekaligus narsumber untuk merefleksikan kembali kata “kesatria”
Menurut Vera Kartika Giantari, kesatria itu radikal, berpikir secara mendasar dan saat ini bisa ditemukan pada orang yang apabila berpikir akan berbeda, tidak seperti lainnya, serta jujur dan berani mengatakan apa adanya.
Seorang peserta menyatakan bahwa dalam film R.A. Kartini, digambarkan suami Kartini tidak kesatria ketika sebelum menikah berjanji tidak akan mengambil selir tetapi nyatanya mengkhianati janji.
Bukik Setiawan kembali mengemukakan pendapatnya terkait term kesatria, dalam film R.A. Kartini digambarkan dari sudut pandang sebaliknya yakni ayah atau suami yang reflektif dan mawas diri. Juga keberanian menerima umpan balik, bercermin dan keberanian melakukan perbaikan. “Di film, yang paling susah adalah ini. Saat ini susah mencari pejabat yang mau berefleksi dengan mengatakan “Ya, ini salah dan mau saya perbaiki.”
Pendapat lain dikemukakan oleh Pamikatsih, bahwa sifat kesatria itu berani melakukan hal yang berbeda karena melakukan yang berbeda itu sulit.
Yosi Krisharyawan menyorot bahwa Kartini sesungguhnya mempunyai privilese dan tidak memanfaatkan privilese tersebut untuk kepentingan diri sendiri. Menurutnya, jiwa Kartini berkorban dengan mengurangi kenyamanan supaya orang lain nyaman. (Ast)