Langit desa Porang Paring sangat terang, cenderung panas. Jalan setapak mobil yang beraspal menanjak melalui perbukitan. Di kanan dan kiri tampak kebun jagung milik warga tumbuh subur. Meski ada cerita sebagian kebun itu saat itu sedang diserang hama tikus, namun tak menyurutkan para petani tetap mengolah lahannya.
Siang itu, saya dan tim datang ke pertemuan yang sebelumnya sudah kami jadwalkan Sementara tim dari kantor dibagi menjadi dua, tiga orang melakukan pemetaan lahan pertanian, saya dan seorang teman mendampingi kelompok perempuan yang sudah bersiap untuk berkumpul untuk mendapatkan pengetahuan terbaru. Ada tiga belas perempuan yang duduk di rumah Sucipto, Ketua Kelompok Masyarakat Petani Pati Kidul (Kompak). Lima orang perempuan di antaranya, sebelumnya membantu menyiapkan camilan beserta kopi dan teh, serta makan siang sesudah acara kelar nanti.
Rekan saya, Dunung Sukocowati, menjelaskan kepada kelompok tentang pelaksaan pemetaan yang sedang dilakukan di hari yang sama. Sambil memperlihatkan peta yang sudah mereka miliki sebelumnya. Dengan menunjukkan wilayah lahan pertanian serta nama yang tertera, mereka jadi paham. Berbagai pertanyaan mereka lontarkan dan Dunung menjawabnya. Sampai sekira satu setengah jam pertemuan kelompok perempuan ini selesai, acara kemudian dinterupsi karena telah datang waktu makan siang. Soto ayam segar mengepul di atas meja, terbukti dengan aroma rempah yang menguar, tersaji dengan sebuah termos nasi besar, beserta lauk pauk, tempe, tahu dan ayam goreng. Tak lupa dihidangkan pula jus alpokat hasil kebun mereka.
Usai makan siang, kegiatan kelompok perempuan Porang Paring berlanjut bersama Wildan, pemateri dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang siang itu telah kelar melakukan pemetaan dengan mengoperasikan drone.
Saya dan Dunung kemudian bergeser sedikit ke rumah Sucipto lainnya, tepatnya di Sekretariat Kompak. Bersama enam anak, mewakili kelompok anak Porang-Paring, kami bermaksud untuk bermain.
Setelah mengucapkan salam dan saling bertanya kabar, Dunung bertanya bagaimana kabar anak-anak dan sekolah. Satu per satu menjawab. Hana menjawab pertama kali, “Tidak seru, karena ada dari tamu dari Madrasah Tsanawiyah/MTS (dia menyebut nama MTS) yang mempromosikan. Sukanya aku bersekolah di... (menyebut nama sekolah). Karena kalau Hana sekolah ke sana gratis,”katanya dengan ekspresi wajah datar.
Hana juga menambahkan jika ia kangen belajar sama teman kami yang ia panggil dengan ‘Mba Renny’. Beberapa bulan lalu Hana bersama kelompok anak Porang-Paring dan kelompok anak dari desa lain belajar keberagaman, mengenal gereja, mengenal agama Hindu, Konghucu, Kristen dan kebhinekaan lainnya.
Lantas Dunung menimpali, bahwa sebaiknya satu per satu bercerita tentang pengalamannya selama lebih dari dua tahun belajar bersama, “Teman-teman bisa bercerita dengan Bu Dunung, tentang apa saja. Siapa yang pas bulan Desember dulu ikut orangtuanya nonton Wayang? Ayok, boleh lho diceritakan.”
Rafa : “Aku nonton wayang. Wayangnya saru. Juga ada yang waktu itu ngomong asu. Itu saja. Di sana (di Solo) tidak ada pemandangan gunung. Seru juga pas kita pernah mainan Ular Tangga di Punden (Desa Porang Paring). Oh iya, aku sekarang sudah kelas 2 SD. Seru kalau kita mengulang lagi keliling desa ke Punden.”
Pertama kali berkegiatan di Desa Porang Paring, kami memang mengajak Rafa dan kawan-kawannya untuk melakukan transek desa dengan mengunjungi Punden berupa Batu Tumpang yang selama ini dikeramatkan oleh warga setempat. Batu Tumpang kemudian menjadi cikal bakal nama salah satu dukuh di Desa Porang Paring.
Hana : “Serunya kalau bermain dengan Kakak-kakak Yaphi.”
Ebri : “Bisa nonton wayang. Tapi kok aku ceritanya lupa ya.”
Lantas pembicaraan ditimpali oleh Bily yang pada saat momen menonton wayang, iya yang pernah jalan sendiri akan mencari teh tetapi kok kemudian hilang jejaknya. : “Pas di Solo saya pernah hilang. Mereka mencari-cari saya, dikira kalau ambil teh, kok ada di kantor. Terus ketemu sendiri.”
Saat pertemuan tersebut, terlintas ada adegan pemukulan antar anak-anak tersebut. Ada bentuk kekerasan karena walau maksudnya bercandaan tetapi dengan memukul satu sama lain dan itu sangat keras, itu disebut kekerasan. Lantas Dunung memberi pemahaman bagaimana mencegah mereka melakukan itu dan bagaimana supaya tidak bertengkar.
Ebri : “Cerita wayangnya lucu. Aku melihat kereta waktu perjalanan. Senang karena bisa naik bus, karena jarang piknik atau rekreasi. Aku bisa melihat pemandangan. Melewati gedung-gedung tinggi.”
Hana : “Lewat Tol sebentar namun sangat seru. Ada terowongan. Kami juga melewati KFC (Kentucky Fried Chicken).”
Selepas anak-anak bercerita, lantas kami bertanya, selama pelatihan dan pendampingan dua tahun ini dampak nyata apakah yang terjadi pada mereka.
Ebri menjawab bahwa setelah diberi pelatihan oleh Yaphi, ia jadi tahu kalau tidak boleh membuli. Jadi tahu kalau tidak boleh menghina. Jadi tahu tidak boleh jadi objek kekerasan. Ia juga mengenal ciri- ciri tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Jadi tahu tentang keberagaman : adat; suku, agama dan ras. Jadi tahu bahwa kita harus saling menolong, menghormati, menyayangi, menghargai orang yang berbeda agama.
“Aku jadi tahu budaya Jawa yakni nonton wayang,” seru Ebri. .
Secara serentak pula mereka menjawab bahwa mereka jadi tahu jadi tahu tentang Hak Anak.
Dunung melontarkan pertanyaan tentang apa itu hak anak dan dijawab oleh anak-anak dengan riang gembira sambil mempraktikkan.
Anak-anak berkata jika senang apabila diajak main. Saat itu juga lantas mereka mengajak melakukan permainan.
Dunung : “Yuk...yuk, ingat kembali apa yang pernah dilakukan bareng.”
Rafa :”Aku jadi senang dan merasa seru karena menggambar. Aku senang gambar orang Dayak.”
Ebri : “Aku paling suka sewaktu menggambar rumah/perlindungan.”
Peringatan Hari Anak pernah diselenggarakan pada Komunitas Anak-anak di Porang Paring dengan kegiatan mewarnai. Menurut Hana, sampai dengan hari ini dokumentasi kegiatan tersebut masih disimpan olehnya dan beberapa teman lainnya, dengan menempelkan hasil karya tersebut di dinding kamar.
Ebri mengatakan bahwa pada momen perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus ada kegiatan mewarnai.
“Mubeng (berkeliling_red ) desa itu seru,” Rafa kembali menyeru.
Dunung bertanya terkait ke depan apakah ada harapan ada pelatihan dan kira-kira memilih pelatihan apa saja?
Hana : “Aku pengin ke Solo lagi. Pengin ketemu Mbak Renny. Pengin ada pelatihan yang ada kemahnya. Aku pernah kemah di Grobogan pas kelas 5.”
Rafa : “Pengin banget main ular tangga lagi.”
Ebri : “Aku belum pernah ikut kemah.”
Saya kemudian bertanya tentang apakah Hana dan Ebri sudah mengalami menstruasi? Lantas kedua anak tersebut menjawab dengan jelas, tanpa malu dan tanpa tabu. Mungkin hal ini dikarenakan ibu mereka pernah mengikuti tentang pengetahuan hak seksual reproduksi serta parenting mendidik anak tanpa kekerasan yang diselenggarakan oleh Yayasan Yaphi.
Ebri : “Ibu bilang kalau tiba hari menstruasi jangan panik jangan takut. Ganti celana dalam sehari dua kali.”
Hana : “Saya juga sudah dibilangi begitu oleh ibu saya dulu.”
Dunung kemudian menjelaskan jika dulu pernah ada pendidikan reproduksi diberikan kepada kelompok perempuan atau pada ibu-ibu. Anak-anak juga sudah diajari tentang sentuhan boleh dan tidak boleh.” Kalian penting sekai untuk menjaga privasi. Kalau ada yang disentuh harus berani berkata tidak dan berteriak,”ujarnya.
Dunung lantas berpesan jika Hana sudah punya pacar, harus memperhatikan banyak hal. Menurut Dunung pacaran boleh tapi yang sehat. Kalau chattingan juga harus yang sehat.
Dunung : “Yang paling harus dipahami oleh teman-teman sekalian ini, ceritanya harus bersama orangtuanya. Jangan mau kenal orang di media sosial. Atau mau di-chatt oleh orang tak dikenal. Harus paham bahwa tidak boleh melakukan kekerasan meski maksudnya bercandaan, tidak boleh ngeplak (menempeleng_red). Kalau itu terjadi di sekolah dilaporkan maka bisa dilaporkan kepada bapak atau ibu guru atau orangtua di rumah.”
Hana : “Ada beberapa kasus, saya ingin ngeplak dia (menunjuk adiknya). Oh yaaa....saya ikut latihan voli di desa.”
Ebri: “Cita-citaku pengin jadi polwan karena menangkap jahat.”
Hana : “Aku pengin jadi atlet voli.”
Bily : “Polisi!”
Nis : “Polisi!”
Rafa: “ Aku pengin jadi atlet voli!”
Ebri punya kakak dan adik. Hal kemajuan lainnya, ia sering membawa dagangan ke sekolah untuk berjualan. Bakat kewirausahaannya sudah mulai tampak.
Rafa dipilih menjadi ketua kelas. Tapi tidak mendapat juara kelas. Ia mengaku sudah pacaran tapi hanya “pacok-pacokan” ( bercandaan).
Tidak ada Caca, anak perempuan yang duduk di bangku SMP siang itu. Caca juga sering mengikuti pelatihan bersama kawan-kawan komunitasnya. Dari sang Ibu diperoleh keterangan jika Caca di hari itu sedang mengikuti pemilihan ketua OSIS di sekolah. Ia menjadi satu-satunya kandidat calon perempuan. (Ast)
*Tulisan ini sekaligus hasil monitoring dan evaluasi program Yaphi di Kelompok Anak Desa Porang-Paring