Diskusi Publik Isu Kekerasan Seksual Bagaimana Kaitannya dengan Hukum dan Masyarakat Adat

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Abby Gina Boang Manalu, Direktur Jurnal Perempuan dalam mengawali diskusi publik pada Selasa, (10/9) mengatakan  terkait isu kekerasan seksual, kemudian isu ini menjadi isu yang sangat kritis karena setiap tahun kasus kekerasan seksual selalu meningkat. Ia mengatakan bahwa upaya yang telah dilakukan juga sudah banyak oleh masyarakat sipil, negara dan semua pihak sehingga untuk penanganannya kita butuh komitmen bersama. Dan semua inginkan dan pastikan bahwa kebijakan juga terimplementasikan dengan baik.

Sesi pertama diskusi dibuka dengan paparan dari Ludwina Inge Nurtjahyo berjudul Dinding Rapuh Pelindung : Analisis Hukum Berperspektif Terhadap Aturan Penanganan Kekerasan Berbasis Digital di Indonesia. Berlatar sampai saat ini banyak sekali modus dan bentuk kekerasan yang berkembang. Selain itu juga ada kelompok yang sudah menaruh perhatian kepada kelompok ini. Lantas ada pertanyaan apakah regulasi yang sudah ada mampu membendung? Karena harapannya sebetulnya : ketika kita sedang banyak menggunakan ruang digital untuk belajar. Apalah perlindungannya sudah memadai?

Inge lantas membagi Interaksi di ruang digital menjadi
-interaksi fisik - terbatas pada ruang dan waktu
-batas ruang privat dan publik
-interaksi digital - batasnya?
-penerobosan ruang privat, kekerasan seksual, dan pencurian data.


Regulasi yang kita sudah punya namun apakah regulasi itu akan seperti kertas, batu, atau gunting?
1. UU nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
2. UU nomor 12 tahun 2022 tentang TOKE
3. UU nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi -meskipun disusun jauh sebelum kasus-kasus kekerasan seksual di dunia digital marak terjadi dan produk peraturan ini sering justru potensial mengkriminalisasi korban kekerasan seksual terutama yang terjadi di ramah digital.
4. UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Digital.

Permasalahan: bagaimana negara mempersepsikan posisi korban kekerasan seksual di ruang digital melalui perangkat aturan hukumnya baik yang mengatur rumah digital ataupun tentang kekerasan seksual secara khusus kepada konteks Indonesia? Perspektif apa yang muncul secara kuat di dalam perangkat aturan tersebut? Lantas apa konsekuensinya bagi korban kekerasan seksual terutama dalam hal ini

Fokus : yang dibahas adalah Non Consensual Disemination of Intimate Image (NCII) karena pengaturannya beririsan antara UU TPKS, UU ITE, dan UU Pornografi.

Persepsi dalam Regulasi 1.
Pasal 14 ayat (1) UU TPKS mengatur bahwa pelaku dari perbuatan :
-perekaman atas gambar atau tangkapan layar yang mengandung konten intim atau konten seksual yang diambil secara Non konsensual.
-perbuatan mentransmisikan informasi dan atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak orang yang menerimanya dan bertujuan untuk memenuhi keinginan seksual pengirimnya.
-penguntitan dan atau pelacakan terhadap orang yang dijadikan objek informasi atau dokumen elektronik dengan tujuan seksual. DAPAT DIPIDANA

Persepsi dan Regulasi 2.
Pada pasal 14 (2) UU TPKS mengatur pula apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud untuk :
-memeras atau mengancam
-menyesatkan dan/atau memanipulasi seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukannya suatu perbuatan, atau justru untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Perbuatan tersebut DAPAT DIPIDANA.

Persepsi dan Regulasi 3
UU nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) Pasal 4 dari UU PDP, diatur bahwa data pribadi terdiri dari data yang bersifat spesifik dan data pribadi yang bersifat umum. Pada konteks korban kekerasan seksual di ruang digital yang data pribadinya tersebar luas tanpa konsensus dari pihak korban tersebut, maka semestinya pada pengaturan di ayat (1) dari Pasal 4 UU PDP ini dapat diakomodir perlindungan data pribadi yang dimaksud, terutama pada bagian data pribadi yang bersifat spesifik. Tapi bagaimana menafsirkan data pribadi tersebut?
Implementasi dan Konsekuensi
-problematika implementasi UU TPKS ketika beririsan dengan UU ITE terkait pemaknaan NCII yakni persoalan niat dan konsen lantas pembuktian? Batas konsen dan penggalian bukti kasus pemerasan pinjol mengunakan konten intim Vs Kasus NCII Pandeglang .
-problematika implementasi UU TPKS ketika beririsan dengan UU Pornografi dan norma 'susila' - kasus Nona
-tambahkan lagi kompleksitasnya dengan pengaturan dalam KUHP (lama maupun baru)

Tantangan
Tantangan yang dihadapi pada penanganan kasus kekerasan seksual pada ruang digital dan secara khusus NCII antara lain :
-pilihan regulasi dan tafsir Aparat Penegak Hukum (APH) (kekerasan seksual atau pornografi)
-perlindungan data pribadi (termasuk data pelapor, terlapor, dan keluarga)
-soal pembuktian
-literasi digital masyarakat
-pengawasan dan evaluasi terhadap sanksinya yang diberikan. (Ast)

Narasumber kedua, Tracy Pasaribu dari Kemitraan memberikan paparan tentang bagaimana membangun "Ruang Aman" perempuan adat dan kekerasan seksual di masyarakat adat.

Kemitraan bekerja bersama 10 CSO lokal di 7 provinsi dan 13 Kabupaten serta 42 desa bekerja sama dengan Laboratorium Antropologi (Laura) UGM untuk riset entnografinya.

Selain itu, Kemitraan juga mendorong pengakuan-pengakuan dari kelompok marjinal dan rentan salah satunya adalah masyarakat Adat. Payungnya adalah inklusi sosial yang berawal dari data, dimana persoalan-persoalan eksklusi terjadi pada komunitas masyarakat adat dan harus dihadapi dan seperti layaknya CSO.

Kemitraan sudah memiliki asumsi dan kerangka berpikir . Namun di beberapa daerah, lalu muncullah bagaimana perempuan Adat bercerita tentang kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual yang mereka alami. Kemudian program berjalan sebagai lembaga yang bergerak di advokasi hutan adat, persoalan pengakuan masyarakat adat, dan masalah layanan dasar : kebutuhan pendidikan kesehatan, sejak awal lantas ketemulah bahwa dari isu ini bisa belajar mencermati bagaimana menghadapai kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual.

Dalam lingkup masyarakat adat, ada begitu banyak lapisa-lapisan yang sangat sensitif dan dalam mendiskusikannya lantas Kemitraan menyusun kertas kerja, lalu menemui pendamping-pendamping masyarakat, kemudian mendiskusikan bagaimana soal kekerasan seksual.

Kemitraan juga mengkonsultasikan persoalan ini dengan Ibu Inge (narasumber pertama) . Kemudian ada momen dengan Jurnal Perempuan Lantas ada usul kenapa Kemitraan tidak menyusun sebuah riset. Riset etnografi supaya bisa mengetahui bagaimana pendapat perempuan adat atau masyarakat adat sendiri tentang kekerasan seksual dan sebenarnya bentuk-bentuk kekerasan seksual. "Memang saat kami lakukan kajian dan mengumpulkan data-data sekunder memang masih minim riset-riset di masyarakat adat dan apa sih akar masalahnya. Akhirnya itulah yang membuat kemitraan bekerja sama dengan Laura untuk lakukan riset," terang Tracy.
Tracy menambahkan tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran bentuk-bentuk kekerasan seksual dan akar masalah dari sisi pandang komunitas adat, khususnya, perempuan adat itu sendiri. Lokasi penelitian ada tiga Desa Wanggameti (Sumba Timur), Desa Malacan (Kepulauan Mentawai) dan
Komunitas etnis Tionghoa-Cina Benteng, (Tangerang) dan dilakukan dari September hingga November 2023.

Tiga peneliti oleh Laura UGM tinggal kurang lebih tiga bulan di masing masing masyarakat.

Hasilnya ada sebuah penelitian dan sudah didesiminasikan juga di sebuah tempat di Jakarta awal 2024 dan ada temuan bahwa di masyarakat adat sendiri, di desa Wanggameti kalau kita menggunakan mobil itu sekitar 3-4 jam (Nopember lebih lama lagi) . Kalau naik kendaraan umum dari Waingapu ke Wanggameti kalau berangkat jam 1 akan sampai jam 9 malam. Kalau dari Wanggameti jam 11 siang maka sampai Waingapu jam 1 pagi. Lokasinya cukup jauh dari kota: perbukitan, perdesaan, berkelok kelok dan tidak semua diaspal dan banyak batu. (Bersambung)