Tentang Revolusi Pemuda dan Hal-hal Lainnya di Talkshow GembiraFest 2024 Gelaran PSHK

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Zen Rahmat Sugito  atau biasa disebut Zen RS, Pemimpin Redaksi Narasi pada sesi talkshow GembiraFest ke-2 Sabtu (17/8), dimoderatori oleh Cika, asisten peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan bahwa supremasi masyarakat sipil di Indonesia hanyalah di rentang waktu 1945-1957 saja. Setelah itu supremasi sipil minus. Masa yang hampir sama juga ditemui pada kurun pasca reformasi yakni 1998-2004 sampai Undang-Undang Informasi, Teknologi dan Elektronik (UU ITE) disahkan. Itu artinya supremasi sipil republik ini pernah optimal hanya 15 tahun, dan Indonesia devisit plus elitis. Ia menilai kebebasan sipil saat ini memiliki  score  4 dari 10 saja.

Zen RS lantas mendefinisikan ulang makna pemuda yang menurutnya tentu tidak hanya dinilai secara fisik saja tetapi sosial. Ia mencontohkan Soekarno dan Hatta waktu kemerdekaan berumur 44 dan 43 tahun. Menurutnya pada zaman itu usia segitu dianggap sudah tua. Ia lalu mengutip Ben Anderson, salah seorang peneliti, Indonesianis kenamaan, menulis satu disertasi di Cornell University dengan judul The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946 (1967) yang dibukukan menjadi Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (1972).  Di situ tertulis jika pemuda adalah cita-cita kemerdekaan.

"Jadi jika usiamu 50 tahun tapi memimpin pasukan/laskar maka kamu adalah pemuda. Deskripsi sebuah sikap yang pro perubahan/revolusioner. Kalau dia konservatif, berapapun  usianya, dia bukan pemuda. Perspektif itu bisa kita angkat sekarang. Jika ada anak muda yang dalam perspektif nyaman, tidak keluar kotak, harusnya bukan pemuda lagi, "Zen kembali menekankan istilah pemuda yang muncul mula-mula  bukan kategori usia tapi sosiologis.

Saat datang pertanyaan bahwa meski memiliki media dan kedaulatan tetapi ketika pemuda bersuara, masih ada kesenjangan dan dianggap tidak sopan, Zen RS menjawab bahwa ia tidak pernah menganggap generasinya (generasi yang lahir tahun 80-an, red) lebih baik. Ia menandaskan bahwa selalu percaya bahwa generasi Indonesia makin membaik. Ia menambahkan bahwa seorang pemuda tidak begitu saja lahir, lantas tidak tiba-tiba bangun tidur sebab  selalu ada sosial ekologis dan sosial politik. Pada masa itu (tahun 1945,red) sudah diradikalisasi pada zaman Jepang. "Masa penjajahan Jepang, dia menyiapkan untuk melahirkan generasi yang membelanya. Tapi sejarah berbelok, " terang Zen.

Zen menegaskan bahwa anak muda zaman sekarang tidak apatis dan publik harus melihat konteks sosial yang apatis itu bagaimana, seperti siapa bapaknya, lantas sekolah dimana. Kalau melihat anak muda  harusnya mulai memeriksa dalam konteks sosial dan politik yang terjadi. Kalau dilihat dari helicopter view, konteks reformasi ada UU ITE dan ia selalu percaya bahwa anak muda selalu punya keinginan coba-coba.

Lantas bagaimana terkait tantangan yang tentu dari masa ke masa jelas akan beda. Bagaimana dengan penggunaan kekerasan oleh aparat negara? Zen menjawab dengan tegas bahwa tantangan pemuda saat ini adalah merebutnya lebih cepat. Adanya Hustle Culture, masyarakat sudah tidak tahu lagi  kapan waktu senggang dan tidak. Hustle Culture adalah satu situasi  yang tidak harus tiba-tiba, ia menyatakan bahwa saat ini manusia tidak bisa lagi mendefinisikan waktu.

Makanya Zen  selalu mengajak para pemuda untuk definisikan kembali waktu luang, merebut waktu luang dan mempolitisasi waktu luang secara otonom. Karena menurutnya kalau pemuda tidak memiliki kritikal maka tidak punya waktu, space,  untuk memikirkan sesuatu yang dipilih. (pelajaran dari pilpres lalu-red) "Kalau kita baca sejarah peradaban hampir semua omong, semua temuan  hebat  kala mereka punya waktu luang. Kita sudah tidak memiliki itu, "tegasnya.

Zen belajar tentang generasi sekarang, karena dia seorang pembelajar sejarah secara informal, penekanannya adalah bahwa para pemuda tidak bisa balik ke masa lalu. Dan setiap kali ia melihat pemuda, ia selalu melihat tentang sesuatu yang tidak bisa dia lawan. Maka menurutnya, yang harus disegerakan dilakukan oleh pemuda adalah mengisi waktu luang, harus membunuh pahlawan dan melahirkan pahlawan. Bahwa pemuda butuh tindakan kepahlawanan sehari-hari, menciptakan pahlawan sendiri  dengan menciptakan mitos pahlawan. Ia juga memberikan jurus jitu, di tengah era saat ini bahwa jika ada yang berani menyampaikan keresahan tetapi sering orang muda mendapat kecaman, maka jawabnya adalah  jangan berekspektasi  terhadap orang lain.

"Kita pernah proper pada 1999-2002, pernah ada publik merepresentasikan  konsensus dalam bentuk amandemen. Kita jangan berharap terlalu banyak pada negara. Setiap kali kita bersuara, pasti ada suara balik. Maka kita harus kenal dengan di sekeliling kita ibarat "Dimana langit dijunjung", background check, kenali sekelilingmu. Kita bercakap-cakap sekarang bukan untuk mendengar tapi untuk membantah, "pungkas Zen.

 

Lawan Pikiran Mapan dan Bebaskan Pikiranmu

Mengawali talkshow sesi kedua, Bivitri Susanti, pengajar STIH Jentera memberikan kalimat pembuka bahwa cara-cara rakyat Indonesia  saat merayakan kemerdekaan selama ini sangat militeristik. Realita itu ditunjukkan dengan keharusan ikut baris- berbaris, dan harus bertegak. Juga perilaku yang sering didengar sehari-hari seperti "Siaaaap..! "atau jika hendak berbicara diawali dengan kata "mohon izin, " Itu yang jadi pertanyaan adalah mengapa mau ngomong saja susah? Bisa diartikan begitulah cara negara untuk merepresi kebebasan. Seakan-akan publik diberi gagasan bahwa negara itulah yang harus publik layani, dan harus dihormati. Bahkan hal sekecil itu bisa menggambarkan bahwa rakyat/masyarakat diajari melayani otoritas. Pertanyaannya kemudian bagaimana cara pemuda bertahan atau melawan? Dan apakah relevan untuk anak muda? Menurut Bivitri melawan adalah melawan dengan kata-kata. Pertama harus melawan dulu pikiran mapan yang sering digembar gemborkan oleh penguasa bahwa kritik harus solutif, itu artinya pemuda sudah  diberi pagar itu.  Itu yang mestinya harus dilawan.

Lantas narasi policy diartikan  sebagai kebijakan padahal tidak bijak. Pemerintah identik dengan kata perintah. Jadi menurut Bivitri, melalui  bahasa saja publik sudah diokupasi. Makanya harus dibongkarlah kemapanan-kemapanan itu serta memperbanyak anak-anak muda melawan otoritas yang tidak adil. Dari situ akan terjawab misal untuk meminta hukum yang kejam itu harus direvisi, harus dicabut yang sifatnya formal. Dan selalu diingat adalah perombakan sistem datang tidak sebagai hadiah dan harus dilakukan bersama sama.

Bivitri lantas mengajak para pemuda untuk Reimagining Indonesia, pertama-tama dengan membongkar dulu pikiran-pikiran mapan  supaya tidak terbatas. "Indonesia emas yang elit pikir adalah berbeda. Oke, untuk melihat yang terjadi generasi-generasi lain. Tetapi di sini pemimpin tidak punya imajinasi yang baik. Esensinya negara Ada untuk memenuhi hak-hak warga. Lantas jangan pernah berpikir gue terlalu banyak nuntut. Kita harus jadi warga yang bawel, menuntut. Kita yang harus membesarkan tuntutan, "pungkasnya. (Astuti)