Aspek masalah akses kesehatan, sosial, ekonomi yang di alami oleh masyarakat difabel saat terjadi bencana itu begitu kompleks. Maka dibutuhkan membangun komitmen, aliansi, konsolidasi, dan aksi, untuk mewujudkan kesetaraan difabel pada hak perlindungan, informasi, dan kontribusi dalam konteks mitigasi bencana serta Pengurangan Risiko Bencana yang inklusif. Lebih lanjut terkait tiga dampak dijelaskan bahwa secara ekonomi dengan kenaikan bahan pokok karena gagal panen atau sulitnya hasil alam, Sosial dengan perpindahan rumah dan perubahan kondisi sosial, Kesehatan, mengancam jiwa akibat bencana. Demikian tutur Jenny Sirait, Urban Campaigner Greenpeace Indonesia, selaku pemateri pada webinar yang dihelat oleh program GOOD Sigab Indonesia via zoommeeting pada Selasa (13/8).
Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa difabel memiliki kemungkinan menjadi korban saat terjadi bencana alam sebesar empat kali lipat dibandingkan dengan kelompok nondifabel. World Health Organization (WHO) dan Bank Dunia juga mencatat salah satu akibat dari meningkatnya populasi difabel di dunia, salah satu faktornya adalah dampak dari terjadinya bencana alam. Oleh karenanya kesadaran untuk mempelajari pentingnya mengetahui pengurangan risiko bencana sejak dini itu harus diterapkan.
Difabel menjadi kelompok berisiko yang memiliki persentase empat kali lipat terdampak manakala bencana alam terjadi, sudah semestinya difabel mendapatkan kesetaraan, perlindungan, dan keterlibatan pada akses informasi mitigasi bencana. Tidak hanya itu saja, masyarakat difabel seharusnya dilibatkan dalam perancangan, penyuluhan, dan pendidikan terkait mitigasi, pengurangan risiko, dan kesetaraan dalam aspek hak pelayanan mitigasi bencana dari pemangku kebijakan.
Menurut Edy Supriyanto, Ketua Paguyuban Sehati Kabupaten Sukoharjo, sejauh ini isu tentang mitigasi bencana yang melibatkan difabel kurang terlaksana dengan baik. Mereka masih terstigma menjadi masyarakat rentan, dan kalau dilihat di lapangan, paradigmanya hanya menjadi objek untuk ditolong dan tidak mendapatkan edukasi. Hal ini diperparah dengan realita bahwa terkadang para relawan yang menolong tidak paham akan difabel, cara menghadapi, dan cara berinteraksi serta sensitivitas disabilitasnya masih kurang. Dampaknya adalah menimbulkan bencana yang berkelanjutan.
Maka penting dipahami terkait keterlibatan, sosialisasi, dan edukasi kepada difabel tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Termasuk relawan yang mendampinginya. Serta melibatkan semua stakeholder baik pemerintah, organisasi, lembaga, sam masyarakat yang bergiat di isu disabilitas.
Beberapa payung hukum terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB) : 1. UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Perka No 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas Dalam Penanggulangan Bencana, 2. Perka No 11 Tahun 2014 Tentang Peran serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Perka No 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, 3. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044 yang merupakan pedoman nasional untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana. (Ast)