Forum Diskusi Denpasar12 Bedah Lagi RUU PPRT

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Setelah sempat ada angin segar di Maret 2023  lalu September di tahun yang sama kemudian menghilang lagi lantas apa kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) oleh DPR RI sampai dimana?

Menandai atas penayangan ke-200 pada Rabu (15/8), Forum Diskusi Denpasar 12 memilih tema yang dibahas lagi-lagi tentang RUU PPRT. Willy Aditya, Wakil Ketua Baleg DPR RI yang menjadi salah satu narasumber mengatakan dulu sempat optimis karena Presiden Jokowi sudah memberi highlight dan segera akan dibahas, begitu statemen DPR RI. Berkaca dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dulu juga diawali dukungan dari presiden. Menurutnya, kalau secara politik tekanannya lebih besar UU TPKS, lalu bisa digolkan  meski bias agama. Namun kalau RUU PPRT dianggap bias kelas padahal tidak, karena juga melindungi pemberi kerja.

Willy menambahkan bahwa setiap paripurna, pihaknya sudah interupsi. Bahkan pemerintah sudah  kirim Surat Presiden (Surpres) ke DPR disertai Daftar Isian Masalah (DIM) yang disusun oleh tim pemerintah yakni wakil menteri hukum dan HAM, sama seperti tim UU TPKS. "Kalau saya lihat, kalau ini ada political will. Yang kita butuhkan strong political will. Sebulan lalu DPR press conference  RUU PPRT. Apa sih yang dikhawatirkan? PRT kita banyak dan tidak diakui sebagai pekerja, " tegas Willy. Ia mencurigai masih banyak yang "paranoia" dengan RUU PPRT ini. Kenapa paranoia? karena tidak membaca padahal ini RUU simpel. Dan ada asas kekeluargaan, kemanusiaan dan moral dan di kala zaman Megawati sudah diperjuangkan.

Padahal tidak semestinya DPR alami "paranoia". Ia sudah minta waktu ke ketua DPR biar tidak terbalik menjadi mis. Ia juga mempertanyakan dulu yang paling  kekeh yakni fraksi PDIP tapi sekarang kesannya seperti menghindar  padahal menurutnya ini bukan election dan secara political will semestinya kuat.

Mengapa RUU PPRT harus segera disahkan?  Sebab ada peringatan kalau mau carry over harus di pembahasan satu. Padahal kata Willy kalau mau, seminggu pun bisa jadi karena DPR sudah lama menjalin komunikasi tentang RUU ini dengan pemerintah. Hanya kurang di pasal "pidana" yang bisa dibahas lagi dengan Wamen.

Periode ini pemerintahan saat ini menunjukkan progress yang lebih baik jika dihitung masa perjuangan 20 tahun yakni dengan adanya sudah ada Surpres dan DIM. Menurut Willy ini historical progress.

Lantas bagaimana semangat PDIP waktu itu? Menurut Eva Kusuma Sundari, dari Institut Sarinah, yang dulu pernah duduk di partai PDIP,  beda pimpinan akan beda agenda politik  dan tidak ada kepentingan carry over. Meski argumen jelas berada yakni membela wong cilik, tetapi yang dulu masih pro rakyat, pro marhaen tetapi sekarang sudah tidak.

Masalah kedua adalah tidak berhasil dilobi karena problem komunikasi yang tertutup. Padahal sudah ada desakan dari Kantor Staf Presiden (KSP) , Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Komnas Perempuan  dan ratusan aksi PRT  di depan DPR tapi kenapa tidak digoyahkan? Ada  Prof. Musdah Mulia mau menghadap Ketua DPR RI tetapi ketika mau bicara UU PPRT lalu seketika sekretarisnya menutup komunikasi. Sedihnya ketika komnas perempuan juga menghadap lantas ada pembicaraan, "oh, PDIP mendukung. Saya mendukung" Tetapi kenyataan antara omongan dan tindakan tidak menyambung.  Semestinya mekanisme kolektif kolegial harus yang produktif yang pro rakyat dan RUU ini sudah draft ke-64.

Eva juga prihatin karena sesama anggota DPR RI masih ada kalimat "Mbak Eva, ini gimana ya, ngurusi babu," Padahal RUU ini  normatif intinya PRT terlindungi. Padahal menurutnya negara seperti Philipina punya undang-undang perlindungan PRT sehingga menaikkan bargaining position, artinya bisa menaikkan harga diri pekerja yang bekerja ke luar negeri.

 

Political Ignorance yang Menjangkiti Anggota DPR terkait RUU PPRT

 

Airlangga Pribadi Kusman, dosen Fisip Universitas Airlangga menyatakan bahwa yang terjadi saat ini terkait RUU PPRT adalah political Ignorance  atau ketidaktahuan politik alias adanya ketakutan akan kesetaraan padahal tujuan dari negara Indonesia sendiri adalah elindungi setiap warga negara. Menurut Airlangga  RUU PPRT moderat bukan progresif tapi penting untuk segera diketok saat ini agar mudah melangkah ke depan untuk membuktikan  bahwa semua kelas sebenarnya dilindungi. Artinya ini juga berguna  bagi pemberi kerja. "Ini tentang Sarinah. Bung Karno  tahun 1947 menulis tentang PRT-nya  artinya persidangan terhadap perempuan juga perlindungan status sosialnya, " tegas Airlangga. Lantas apa yang harus dilakukan? Jawab Airlangga, ketika elit mengidap political ignorance maka yang diperlukan adalah kerja sama dan tekanan politik dari masyarakat

Jika RUU PPRT disahkan saat ingin, artinya benefit untuk semua. Kalau semua sepakat, maka semua benefit dengan cara mengangkat derajat bagi mereka yang ada di posisi paling bawah. Kalau tidak ada, berarti political loser dibanding  undang-undang yang lain yang progresif di 5 tahun terakhir. Dan jika ada pihak yang menolak malah kerugian politik.

Airlangga menambahkan bahwa  isi- isi pikiran kalangan pinggiran tidak ada dalam radar mereka (anggota DPR). Jadi orang orang yang mengalami peminggiran, eksploitasi, bukan bagian dari konsen mereka.

Prof. Dr. Rahmat Syafaat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam diskusi menyatakan  bahwa realitas saat ini hampir 70% anggota DPR adalah pengusaha. Mereka memiliki perspektif untuk membangun kekuatan dengan modal untuk bertahan lama dan semakin besar. Itu oligarki politik dan siapa jejaring itu? Menurut Prof. Rahmat, ya jelas penguasa saat ini.

Menurutnya apalagi kepada PRT, mereka kepada buruh saja juga menindas. Kebetulan Prof. Rahmat dosen hukum perburuhan sehingga tahu banyak yang hanya digaji UMR. Padahal UU menyatakan buruh harus mendapat upah layak. Dan saat ini menurutnya Undang Undang Buruh tidak berpihak kepada Buruh. Undang-undang dibuat tapi tidak ditegakkan. Contohnya ketika dibukanya  akses lahan selama 90 tahun. Jadi menurutnya harus ada gerakan. Seperti pihaknya melawan Undang-Undang Ciptakerja. Dan bagaimana kekuatan mereka yang mencari keadilan untuk membongkar oligarki. Syaratnya harus ada yang mendorong : akademisi, LSM, dan PRT sendiri.

"Pentingnya Ethic of Care sebagai agenda interseksional untuk perempuan saat ini sebab oligarki kita itu saat ini dikepung oleh tangible secara resources yang orientasinya mempertahankan kemakmuran." pungkasnya. (Ast)