Konferensi Pers tentang PP 28/2024 sebagai Turunan UU Kesehatan Catatkan Beberapa Problematika

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia bersama-sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan dan  lembaga lain sedang membahas Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-undang (UU) Kesehatan  yang terdiri dari 1.072 pasal. PP ini banyak sekali yang diatur karena UU Kesehatan yang disahkan cukup besar dan hampir sama atau setara dengan UU Omnibuslaw. Karena pengaturannya banyak sekali dan  isi tentang kesehatan dimensinya banyak juga serta ter-interseksional dengan pengaturan lainnya. Demikian pernyataan Mike sebagai pembicara pertama pada konferensi pers Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif, Jumat (9/8).

Secara umum Koalisi Perempuan  banyak mengapresiasi atas disahkannya PP 28 ini. Ada beberapa pengaturan yang sifatnya mereka soroti dan sangat cukup detail misalnya melihat pengaturan-pengaturan kesehatan yang berbasis kelompok atau usia yang diatur dalam PP ini misalnya kesehatan mulai janin di usia bayi. Termasuk manusia mulai dari dalam kandungan, anak-anak, remaja, disabilitas dan bahkan juga yang lebih khusus lagi melihat persoalan-persoalan disabilitas yang cukup beragam.

Kalau dulu publik melihat disabilitas itu secara fisik, tetapi di PP ini juga mengatur disabilitas mental, intelektual, meskipun ada beberapa hal yang jadi sorotan yakni mengenai pengaturan-pengaturan yang  mereka lihat cukup baik misalnya : adanya perlindungan dan layanan yang sudah muncul yakni diarahkan kepada mereka, perempuan yang berbasis kerentanan dalam usia, juga kesehatan dan layanannya  contohnya : ketika mereka menjadi korban kekerasan.

Namun, menurut Mike, PP ini masih ada sela-selanya yakni seperti frase-frase yang akhirnya misleading ketika diangkat oleh media dan media sosial seperti soal kontrasepsi. Ini bagaimana? soalnya PP ini sudah terlanjur sah. Lalu bagaimana diimplementasikan dengan situasi-situasi yang menurut Koalisi Perempuan notabene belum harmoni,  misalnya bagaimana dengan kesulitan yang dialami organ kekerasan itu juga bisa terakomodir.

Jadi PP ini bukan hanya mengatur tentang perlindungan itu ada. Tetapi harusnya jadi catatan bagaimana PP ini dijalankan dan sudah seharusnya bisa mengurangi gap atau celah yang selama ini sulit. Misalnya bagaimana layanan itu harus memutuskan aborsi ketika korban alami kekerasan yang dialaminya, karena harus ada persetujuan dari kelompok-kelompok yang selama ini justru mungkin  sulit dan tidak semudah itu. Masalahnya menjadi korban kekerasan saja adalah sesuatu yang sulit. Menurut Mike, punya kesadaran melapor itu sudah sulit tetapi prosedur ini mempersulit perempuan ketika ia harus mengambil keputusan yang tidak mudah. Karena mengambil keputusan menyudahi kehamilan bagi korban bukan sesuatu yang mudah, bagaimana ia harus  menghadapi psikisnya, trauma atas kejadian yang ia alami. Ini bukan perkara mudah seperti percakapan "Oh saya hamil. Saya korban kekerasan seksual maka harus digugurkan" .Menurut Mike tidak semudah itu.

Bahkan dokter pun juga harus punya dasar-dasar dan tahapan-tahapan yang harus dilewati. Harus dibuktikan  bahwa itu proses kekerasan. Tentu bukan proses yang mudah dan singkat. Ketika PP yang menurut Koalisi Perempuan sudah detail mengatur tetapi ternyata masih punya tantangan apakah pengaturan yang lainnya sudah seturut atau saling dukung sehingga prosesnya tidak menyulitkan korban? Atau justru menuntun  korban masuk ke persoalannya ketika mereka ingin menyudahi haknya untuk aborsi. "Jangan sampai proses-proses dengan prosedur yang berbelit justru menjadikan  perempuan terkriminalisasi, karena keputusannya menyudahi kandungannya atau aborsi, " terang Mike.

PP ini juga harus dilihat lewat hukum acara yang selama ini masih berjalan bagi aparat penegak hukum dan yang lainnya. Secara umum terkait PP ini, maka Kemenkes perlu mengambil langkah ketika pemahaman publik di media ada yang salah kaprah. Mereka yang masih remaja atau anak apakah PP ini justru menyetujui perkawinan anak atau kekerasan itu sendiri. Itu yang harus dibenahi oleh pemerintah ketika ada dampak atau insight atas apa yang dikeluarkan. Pemahaman publik berbeda-beda dan apa yang harus dilakukan tidak semudah itu karena kontrasepsi ada prosedurnya, karena melihat pengaturan suatu pasal juga harus melihat pasal lainnya. Berarti diatur di dalam kelompok pasal tertentu lalu dibunyikan  di kelompok tertentu. Ini berbeda karena judul pasal berbeda. Tantangan ke depan harusnya  disosialisasikan dan semua pihak paham karena yang menjalankan PP ini tentu bukan Kemenkes saja tapi ada BKKBN dan lembaga lain, juga mekanisme lain dalam upaya terintegrasi misalnya perlindungan sosial dan BPJS.

Salwa Paramita dari Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS) menyampaikan  beberapa uraian dari peraturan pemerintah tentang kesehatan ini masalahnya apa saja : 1.Adanya stigma penyandang disabilitas yang masih didominasi pikiran ableism, contohnya di peraturan pemerintah ini masih mengatur  nomenklatur  mencegah kedisabilitasan.  Ada beberapa stigma  diskriminasi di pasal-pasal yang seharusnya  peraturan pemerintah menempatkan penyandang disabilitas dalam perspektif HAM sebagaimana yang diamanatkan  Undang-undang nomor 8 Tahun 2016. Dan juga Undang-undang nomor 19 tahun 2011 tentang Ratifikasi CRPD. 2. Menempatkan kedisabilitasan sebagai suatu penyakit yang seharusnya bisa dicegah  atau disembuhkan  justru melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada orang dengan disabilitas.

Salwa sebagai difabel psikososial mengatakan bahwa permasalahan yang ada  beberapa di antaranya persetujuan-persetujuan tindakan medis  yang masih diatur disini yakni  orang yang memiliki gangguan jiwa berat dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki hak. "Memberikan persetujuan medis yang dilakukan  terhadapnya kecuali yang mengalami gangguan jiwa berat yang dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan kedaruratan."

Perlu diatur dalam ayat dan pasal selanjutnya  tentang tindakan medis dan batasan waktunya termasuk yang berkaitan dengan  persetujuan tindakan. Mengapa demikian? Jika tidak, akan terjadi kesewenang-wenangan tindakan medis, jadi perlu diatur  lebih rijit lagi mengenai batasannya termasuk waktu dan hal-hal berkaitan dengan persetujuan tindakan. 2. Di bagian dari kesehatan jiwa ada nomor register bunuh diri. Ini berasal dari kepolisian, dinas kependudukan dan catatan  sipil . PJS berpendapat bahwa ini bukan merupakan tupoksi dari kepolisian dan disdukcapil mengingat data dari kesehatan jiwa termasuk bunuh diri ini termasuk insindensial dimana negara adalah lini kesehatan seharusnya menjamin kerahasiaan data ini. Juga bagaimana tentang pengaturan fasilitas layanan kesehatan jiwa yang diatur berbasis masyarakat di sini ditulis pesantren. Menurut PJS,  PP ini belum mengatur secara rijit pengaturan kewenangan.

Kenyataannya yang terjadi sekarang adalah panti-panti rehabilitasi jiwa berbasis pesantren ada lempar-lemparan kewenangan mana yang bertanggung jawab, antara dinas sosial dan dinas kesehatan ataupun ke dinas lembaga di bawah Kemenag yang belum diatur secara rijit. Selanjutnya adalah ada di bidang posisi tertentu atau jabatan tertentu setiap orang diwajibkan pemeriksaan kesehatan jiwa. Sebenarnya  ini masih diskriminatif bahwa orang dengan kesehatan jiwa tidak mendapatkan jabatan atau menduduki kedudukan tertentu. Pemeriksaan kesehatan jiwa ini menurut PJS menjadi penting tetapj dalam pemenuhan  aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak (AYL) dalam lingkungan kerja.

Khotimun, dari asosiasi LBH Apik lebih menitikberatkan ke korban yang sebelumnya hanya bisa mengakses atau mengakomodasi korban ke dalam aborsi, tapi lebih luas yakni ke korban kekerasan seksual yang ada di UU  TPKS, jadi sebetulnya adalah ruang yang bisa diharapkan atau sudah cukup menangkap suara masyarakat sipil, yang punya risiko mengalami kehamilan tetapi juga korban kekerasan yang lain seperti eksploitasi seksual bahkan pelecehan seksual fisik juga.

Kedua, menurut Khotim memang korban kekerasan seksual rentan untuk mengalami kriminalisasi kalau dia jadi korban. Ini sebenarnya cukup lama kasusnya seperti di LBH NTT pernah ada kasus kekerasan seksual yang ada tipu daya,  kekerasan, lantas mengalami kehamilan. Kemudian dilakuan aborsi di rumahnya karena dia tidak dapat mengakses aborsi yang aman. Karena kondisi itu, ia justru dilaporkan ke ke polisi dengan tuntutan 8 tahun. Dia yang mengalami kekerasan seksual akhirnya menjadi korban lagi. Bahkan dia tidak mendapatkan perlindungan karena persyaratan untuk aborsi yang aman sulit didapatkan oleh korban dan banyak yang tidak tahu. Karena memang di daerah- daerah informasinya tidak sampai. Di pasal 118 dan 120 meski sebelumnya sudah disebutkan ada syarat agar bisa mengakses aborsi, dia harus bisa menunjukkan keterangan dokter atas usia kehamilannya dan keterangan penyidik.

Nah keterangan penyidik menjadi dilema karena ada beberapa catatan, kenapa harus menyertakan keterangan penyidik, padahal kenyataannya demikian : pertama  tidak semua korban langsung serta merta melaporkan ke polisi karena korban seringkali mengalami kesulitan, dalam kondisi trauma, takut, malu, juga ada stigma masyarakat yang kemudian menyebabkan dia tidak langsung melapor. Ketika nanti sudah lapor ke polisi, terkait usia kehamilannya yang diatur di KUHP 14 minggu. Keterangan penyidik akan jadi kendala. Kedua adalah lama waktu yang diberikan belum ada standarnya berapa lama penyidik akan memberikan  keterangan untuk mendukung korban kekerasan seksual mendapat aborsi . Standar ini juga tidak ada sehingga korban kesulitan dalam hal ini. Khotim berharap dipermudah dan tidak harus ada keterangan penyidik tetapi dengan UU TPKS  di situ ada rekomendasi pendamping, baik di lembaga layanan atau pemerintah.

Khotim menambahkan sebagai jaringan akan mengamati bagaimana PP ini diimplementasikan. Dan apakah nanti akan ada peristiwa yang bisa melanggar hak-hak korban yang berakar dari kekerasan seksual. "Kami memantau setelah ini implementasinya, kalau misalnya ada  hal yang merugikan secara konstitusional kepada perempuan terutama korban kekerasan seksual, " pungkasnya.

Semestinya Inklusif dan Non Diskriminatif 

Edith, feminis queer dari Kubukatabu yang memproduksi dan redistribusi pengalaman  seksual dan penyediaan layanan konseling bagi individu dengan orientasi seksual, identitas gender dan karakteristik, ekspresi dan ragam gender memberikan banyak pernyataan pula.Di Kubukatabu ia berproses mengamati dan menelisik PP tentang kesehatan ini dan memiliki catatan-catatan yang pertama : 1. Ingin meng-address pengalaman partisipasi dan pelibatan publik dalam persiapan atau penyusunan PP ini karena organisasi seperti Kubukatabu yang  fokus di topik seksualitas yang beragam sehari-hari berhadapan dengan kasus kekerasan dan diskriminasi yang berbasis SOGIEB ini masih minum sekali pelibatannya. Dan ketika ingin terlibat, ia belum juga tahu di kanal mana yang bisa dimaksimalkan. Kedua berkaitan dengan PP, masih diskriminatif dan nyata, serta mengabaikan azas yang disebutkan oleh UU Kesehatannya sendiri. Di Pasal 8 ayat 4 menyebutkan bahwa layanan Kesehatan Primer dan lanjutan harusnya mencakup bahasanya rentan dan non inklusif yang harusnya inklusif dan non diskriminatif termasuk dalam hal ini adalah orientasi seksual dan identitas gender. Satu sisi PP ini menunjukkan diskriminasi  dalam akses layanan kesehatan.

Ironisnya di pasal 114 ayat 1 disebutkan orang sehat bebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual. "Ini poin yang ingin  saya highlight juga karena menempatkan orientasi seksual sebagai gangguan. Karena ketika bicara kesehatan seksual adalah bicara soal kondisi seseorang secara fisik, emosional, mau mental atau fisik berkaitan dengan kesehatannya. Persyaratan untuk melakukan  penghormatan sebagai hal dia sebagai manusia yang utuh. Termasuk dia harus bebas dari pelecehan, diskriminasi dan kesehatan seksual yang setidaknya juga dicatatkan di WHO.Atas tercantumnya kalimat di pasal, yang jadi persoalannya. Kenapa?"jelas Edith. Ia menambahkan karena ketika menempatkan orientasi sosial sebagai gangguan maka harusnya apakah ada upaya diganti karena orientasi seksual bukan gangguan, ini sudah di highlight oleh Komite Komite artinya Indonesia sudah tunduk dengan perjanjian internasional dan di tahun 2021 bersidang dan sudah memberikan rekomendasi sidang  yang spesifik, ada laporan Indonesia di siklus ke delapan, dengan tegas mempertanyakan praktik-praktik upaya mengubah atau mengoreksi masih terjadi justru ketika pasal ini dihadirkan berpotensi membahayakan kehidupan orang dengan orientasi seksual yang beragam.

Di awal tadi disebutkan PP ini melihat siklus hidup manusia dan ketika hal ini masih ditegaskan juga sebagai gangguan,  maka itu bukannya menjadi sesuatu yang memulihkan justru membahayakan bagi kesehatan fisik, kesehatan mental dan bahkan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari individu tersebut. Kenapa Kubukatabu juga cukup yakin dan melakukan catatan, bahwa mereka juga melakukan penelitian yang menuliskan bagaimana sih upaya mengubah seseorang dari orientasi seksual, identitas gender dan karakteristik seksual itu sebetulnya punya dampak yang membahayakan bagi kehidupan. Kubukatabu mencatatkan upaya pengubahan ini sangat lekat dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sudah dicantumkan pula dalam UU TPKS. Yang belum  yang pemaksaan pernikahan. Pemaksaan pernikahan jadi bentuk yang sangat spesifik juga mereka temukan dalam upaya-upaya pengubahan itu sendiri lalu ada perkosaan dalam pernikahan, perkosaan kuratif, yang tentu jika dikaitkan dengan akses bahwa ternyata  individu ini mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Bagaimana kelanjutannya nanti sementara kasus-kasus yang mereka catat dalam penelitian tidak ada satu pun yang masuk ke ranah hukum karena stigmanya sangat kuat.

Sekali lagi, ketika berbicara orientasi seksual sebagai gangguan dan kini dicantumkan dengan tegas di PP ini, sebetulnya ada catatan di Kubukatabu ketika berbicara soal terkini, di world asosiasi menegaskan bahwa sebetulnya tidak ada bukti scientific dan bahwa  orientasi seksual bisa diubah. Bahwa "pentingnya untuk mengobati atau mengubah" Itu adalah sesuatu yang tidak etis.  Kalau dicantumkan bahwa ini gangguan bahwa sejak awal PP ini sudah menunjukkan kemunduran karena tidak melihat martabat tentang orientasi yang beragam.

Hal-hal lain, Kubukatabu melihat bahwa pasal ini sangat melanggengkan stigma. Stigma tentang seksualitas manusia dan juga bisa menghambat individu untuk mengakses layanan kesehatan yang sudah tersedia. Tindakan ini juga punya dampak yang panjang terhadap kondisi mental dan emosional seperti saat ngomongin  soal episode depresi berkelanjutan, munculnya keinginan bunuh diri dan kecemasan dalam membangun relasi dan membangun dalam kehidupan secara lebih general dan berpartisipasi di rumah publik. Justru ketika ini ingin mendorong tentang definisi tentang kesehatan seksual yang sehat justru membahayakan atau bahkan justru adanya indikasi sebuah penyiksaan juga. Karena dilakukan oleh institusi-institusi yang sudah ditunjuk oleh pemerintah. Jadi desakannya adalah: 1. Perlu aturan yang jelas bagaimana menyusun aturan operasional tentang layanan kesehatan yang memuat prinsip kesehatan yang non diskriminatif dan apa sih definisi inklusif  dan berpusat pada korban.

Tidak bisa dipungkiri jika situasi ini terjadi pada individu dengan orientasi seksual yang beragam : biseksual, dll yang juga bisa berlapis lapis karena tindakannya sangat lekat dengan  tindakan kekerasan seksual itu sendiri. 2. Mendorong agar konsisten penyediaan layanan yang inklusif.

Ika Ayu dari Samsara, secara spesifik akan menambahkan hal-hal yang berkenaan dengan layanan dan akses aborsi di dalam PP nomor 28 tahun 2024 UU yang pembahasannya cukup alot juga, memasukkan akses aborsi yang tidak serta merta dituliskan sebagaimana di KUHP. Di UU Kesehatan tahun 2009 disebutkan bahwa akses untuk aborsi korban perkosaan di 60 hari atau 6 minggu kemudian diubah di KUHP menjadi 14 minggu. Di UU Kesehatan yang idealnya menjadi UU yang spesialis atau khusus mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan itu tidak mencantumkan aborsi secara spesifik tetapi hanya mengacu pada UU yang sudah ada. 2. Tidak ada ruang untuk masyarakat  sipil untuk bisa memberikan masukan.

Terakhir yang dirilis oleh aliansi ini di Juli sebelum PP ini diterbitkan aliansi sebenarnya sudah kirim rambu-rambu karena menengarai ada hal-hal yang sifatnya diatur sangat stigmatis dan diskriminatif di dalam. Betul bahwa PP yang sekarang sangat diskrimatif dan kenyamanan stigma, namun ia yakin orosesnya tidak akan selesai di PP saja karena setelah ini akan ada penyusunan peraturan menteri kesehatan untuk bisa mengoperasionalkan PP ini. Pastinya akan terus ada penyusunan panduan pelaksanaan. 2. PP sekarang kurang produktif penyediaan layanan karena di dalam PP, banyak hal diatur secara diskriminatif, contoh akses ke kesehatan mental dan reproduksi yang sebagai bagian layanan kesehatan untuk upaya memulihkan diatur dalam aturan berbeda. Jadi untuk kontrasepsi darurat diatur bagi korban perkosaan  tetapi di dalam diatur sudah baik karena menyebut korban perkosaan dan korban kekerasan seksual.

Untuk kontrasepsi yang sudah banyak membincangkan apalagi kontrasepsi remaja. Namun untuk bentuk-bentuknya  mengesahkan hal hal yang selama ini bertentangan dengan yang tinggal di Indonesia tetapi PP ini menjadi sebagai satu rangkaian upaya edukasi, informasi dan konseling masuk ke dalam upaya satu rangkaian.  Kami di aliansi mengharapkan jika ini nanti turun jadi aturan yang operasional yang pertama adalah konsisten  bahwa tidak bisa bahwa KS tidak disebutkan bersamaan dengan korban perkosaan. Kenapa karena itu sama saja membatasi atau memberikan pengkotakan atau asumsi tertentu pada terjadinya kekerasan. "Ya kalau konteksnya adanya pembuahan dan yang lainnya ada yang lain, misal apa situasi yang dipaksa, yang dibayangkan mungkin konteksnya perkosaan tetapi tadi sudah dijelaskan kekerasan seksual yang modusnya banyak sekali menjadi sumber atau awal terjadinya perkosaan. Kemudian yang berikutnya adalah soal syarat pertimbangan penyidik yang tadi sudah disampaikan. "jelasnya.

Berikutnya terkait syarat, pertimbangan, surat penyidik. Tambahan dari Ika Ayu adalah lebih dari cukup.  "Kita punya pengalaman  sejak 2009 turun Peraturan Pemerintah  2014, tapi hingga kemarin UU Kesehatan disahkan, sebenarnya  kita bisa mengakses layanan yang diatur dalam aturan tersebut. Kerumitan yang ada di aturan yang lama idealnya tidak diulang karena ada surat pertimbangan dan tim penyidik. Ini berpotensi menjauhkan korban perkosaan dari akses yang dibutuhkan,"tegasnya.

Terakhir, menjawab pertanyaan  apakah anak-anak boleh mengakses alat kontrasepsi ini seperti yang ditulis oleh media-media serta media sosial  bahkan ada yang judulnya sangat bombastis,

Mike Verawati menjawab  tidak menemukan frasa secara langsung atau pengkalimatan yang ditulis di PP ini. Tidak ada yang bilang secara langsung bahwa kontrasepsi ini diperbolehkan buat anak sekolah. Sebenarnya menjadi sesuatu pertanyaan publik, seolah-olah PP ini melegalkan. Ia sepakat bahwa layanan kontrasepsi itu tidak mudah karena juga bicara pada petugas kesehatan dan bahkan jika berkaitan dengan nanti korban, masih ada problem perspektif namun secara langsung, ia ingin menyatakan bahwa secara klausul atau pengkalimatan secara harafiah tidak ada. Tetapi kita hidup di hari ini dengan perspektif yang tidak sama. (Ast)