Keadilan Transisi Bagi Para Korban HAM Berat 65

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dalam keadilan transisi ada empat hal yang perlu dilakukan  yakni pencarian kebenaran, penuntutan, reparasi dan reformasi institusi. Dan saat ini sudah saatnya keadilan bertransisi. Demikian dikatakan Yosi Krisharyawan dari Yayasan Yaphi ketika berbicara menyangkut hak-hak  para korban yang saat itu datang di Ruang Anawim Yayasan Yaphi Surakarta. Mereka para korban Hak Asasi Manusia (HAM) Berat 65 yang selama ini didampingi oleh Yayasan Yaphi dan berasal dari beberapa kabupaten dan kota eks Karesidenan Surakarta.

Dalam pertemuan yang diselenggarakan pada Rabu (31/7) ditegaskan mengapa kebenaran harus dicari. Lantas satu per satu pun menjawab bahwa kebenaran harus dicari untuk keadilan, kebersamaan, kebahagiaan, dan memulihkan nama baik. Terkait pencarian kebenaran ditegaskan pula karena setiap orang mempunyai hak yakni hak untuk mengetahui.

Keadilan Transisi adalah sebuah konsep yang relevan dalam konteks perubahan politik dan sosial. Pada masa periode pemerintahan otoriter dan pernah konflik, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) massal sering terjadi, dengan kebenaran yang ditutupi dan dimanipulasi. Tiga  tanggung jawab negara terkait HAM : untuk memenuhi HAM, melindungi, menghormati HAM. Sedangkan Jendela Keadilan Transisi  dimaknai sebagai pencarian kebenaran, reparasi, penentuan, dan reformasi institusi.

Pencarian KEBENARAN : Kebenaran lengkap tentang peristiwa yang terjadi, keadaannya secara spesifik, siapa saja yang terlibat di dalamnya, termasuk mengetahui di mana pelanggaran tersebut terjadi serta mengapa terjadi. Dalam kasus penghilangan paksa dan orang hilang, di mana tempat eksekusi dirahasiakan dan tempat pemakaman juga rahasia. Hak atas kebenaran juga mempunyai dimensi khusus, yaitu untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban (D/CN.4/2006/91, alinea 49).

Pencarian Kebenaran. Penguatan lebih jauh terhadap hak atas kebenaran juga diberikan  melalui UNGA Resolusi UNGA 65/196 yang menyatakan tanggal 24 Maret sebagai Hari Internasional Hak Atas Kebenaran dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM dan martabat korban. Hari peringatan internasional ini diresmikan pada 24 Maret 2011.

Jika institusi masih bobrok,  orangnya masih sama pelakunya, masih sama namanya, peristiwa bisa terjadi diulang. Karenanya maka masyarakat harus punya jaminan agar peristiwa HAM berat seperti 65 tidak terjadi lagi kepada anak atau cucu atau keturunan.

"Jadi kalau belum ada jaminan pasti, nanti kalau ada pelanggaran  HAM terjadi lagi, maka kita perlu reformasi institusi. Indikasi  apa? sudah ada pelanggaran, "terang Yosi.

 Menurutnya itu berarti masih ada masalah di institusi, yang seharusnya yang memiliki rekam jejak sebagai pelaku pelanggaran HAM harusnya tidak menjadi pemimpin.

Yosi juga menyinggung soal pencarian kebenaran yang proses tidak resmi inisiatif masyarakat sipil, seperti yang dilakukan Yayasan Yaphi yang bekerja sama dengan suatu institusi beberapa waktu lalu di Klaten.  Sedangkan pencarian kebenaran mekanisme resmi (negara) dilakukan oleh Komisi sejarah dan HAM, Komisi untuk Orang Hilang, dan Komisi Kebenaran.

Pencarian Kebenaran meliputi :Knowing the full and complete trusth peristiwa yang terjadi, kondisi spesifik, siapa saja yang terlibat, di manakah peristiwanya terjadi dan alasan terjadinya.

Christina Vera, salah seorang pendamping dari Yayasan Yaphi menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya sudah melakukan Reparasi salah satu pemulihan : restitusi, kompensasi, rehabilitasi, satisfaksi /permintaan maaf dan pengakuan, memorialisasi, dan jaminan ketidakberulangan.

Seperti saat ini yang sedang diupayakan kepada para peserta pertemuan yakni yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Bentuknya adalah bantuan medis, psikologis dan psikososial. Ini yang dilakukan oleh pemerintah lewat non yudisial. Lantas pengakuan  oleh pemerintah di 11 Februari. Nah, perlu dipertanyakan lagi apakah permintaan maafnya sudah atau belum? Dari semua itu apakah sudah tepat yang dilakukan oleh pemerintah?

Sementara itu yang dilakukan LPSK harusnya sebagai jembatan artinya harus ada yang dilakukan lagi berikutnya. Apalagi di daerah misalnya Boyolali aturan LPSK berubah-ubah soal reparasi ini. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah  Kenapa harus jadi korban dulu baru dapat pengobatan gratis dan kedua adalah masalah kompensasi.

Sementara itu, seorang peserta yang juga sebagai korban HAM Berat 65, di sini ditulis sebagai narasumber, bercerita tentang pengalamannya yang pernahdikirim oleh pemerintah Indonesia ke Jerman oleh Bung Karno sama-sama, seangkatan dengan Habibie. Tetapi karena peristiwa 65 ketika itu akhirnya ada skrining. Semua mahasiswa diberi formulir yang disuruh memilih Bung Karno atau Soeharto. Saat itu masyarakat Indonesia pro Bung Karno, TNI ada yang pro Bung Karno yakni TNI Sastro Amijoyo dan Mr. Suhardi. Karena ia tidak mengetahui Suharto maka ia memilih Bung Karno lalu paspornya  dicabut seperti paspor adiknya Pramudya Ananta Toer  juga anaknya Pak Gatot dan Waluyo. Waluyo jadi doktor dan ia bercerita di Youtube bahwa paspor dicabut.

 Tahun 1990 si narasumber ini pulang dari Amerika ke Berlin  lalu ditawari jadi WNI Jerman. Ia mengikuti perkembangan tanah air. Begitu tahun 1993 ia pulang dan saat ini itu termasuk 1000-an orang yang masih didata "halal untuk dibunuh" . Kemudian data itu terbaca di data bandara. Orang-orang yang pulang dari luar negeri diperiksa. Dari Ceko, Albania. Banyak dan ada yang beberapa sudah jadi dokter ditahan 3 bulan. Si narasumber beruntung karena punya saudara. Makanya waktu ia pulang ia dipastikan pas komputer bandara dimatikan. Ia hanya punya kesempatan 2 bulan di Indonesia. Saat itu dimana-mana semua orang takut cerita peristiwa 65. Masih ada ketakutan untuk menceritakan peristiwa 65 dan ada gambaran PKI yang berdosa.

"Sebenarnya yang ingin menguasai adalah Amerika dan Inggris. Waktu indonesia konfrontasi dengan Malaysia sesungguhnya perjanjian  kerja sama Indonesia dengan Freeport. Kennedy gagal lalu dibunuh. Bung Karno juga pernah hampir dibunuh tahun di istana juga berkali-kali tapi gagal. Ada mahasiswa Amerika yang studi UGM masalah pertanian.  Banyak dosen yang membanggakan hasil disertasi  bahwa sebagian besar kaum tani indonesia adalah buruh tani. Petani ini diorganisir oleh Barisan  Tani Indonesia (BTI) maka tahun itu kaum tani jadi korban," terangnya.

Ia menegaskan lagi bahwa Negara Indonesia bukan lagi milik rakyat tapi asing  lewat orang-orang yang  ada di tim. Mereka tidak ingin Indonesia lepas dari mereka : Amerika, Inggris, Jepang. Jadi kalau mau bicara negara maka ada class. Class borjuasi. Dikaitkan dengan sekarang yang ada birokrat dan korporat. Negara milik class dan rakyat yang ditindas.

Ia menaruh harap bahwa menurutnya hanya dengan pendidikan, Indonesia akan maju, maka perlu bersatu untuk melakukan perlawanan dengan protes dan ajukan tuntutan.

Diskusi para korban kemudian ditutup oleh Haryati Panca Putri  yang menegaskan harus ada upaya menyelesaikan  pelanggaran HAM berat 65. Karena menurutnya bahwa fakta negara Indonesia adalah negara hukum tapi bocor semua. Adanya politik dinasti dan oligarki terbukti dengan pelemahan lembaga institusi negara salah satunya Mahkamah Konstitusi. Ia berharap para peserta diskusi yang notabene semua adalah korban jangan bermental korban tetapi pejuang. Dan mengajak semua untuk turut memperjuangkan adanya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) lagi. (Ast)