Tantangan dan Penyelesaian dalam Penegakan HAM terhadap Masalah Tanpa Kewarganegaraan di Sulawesi Utara

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada banyak sekali persoalan terkait statelessness di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Utara. Dan berbagai upaya telah dilakukan oleh beberapa pihak terkait hal tersebut. Di antaranya adalah Komnas HAM Indonesia, Malaysia dan Philipina dan melakukan Memorandum of Understanding (MoU) lalu mencari solusi terbaik yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dengan kajian dari BRIN.

 Amorisa Wiratri, peneliti BRIN pada sesi  webinar yang dimoderatori Putu Elwina, dan  diselenggarakan pada festival HAM, 29-31 Juli lalu memaparkan presentasi bertema  "Memahami dengan Risiko atau Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness People) di Sulawesi Utara."

Siapa saja masyarakat adat yang statelessness? Menurut Amorisa salah satunya adalah masyarakat adat di Bulukumba  yang kekhasannya pakai ikat kepala. Lantas siapa saja yang tidak memiliki status kewarganegaraan? Di antaranya adalah anak dari pekerja migran. Mereka menikah di bawah tangan dan memiliki anak.

Istilah statelessness atau orang tanpa kewarganegaraan masih belum banyak dibahas oleh para akademisi di Indonesia. Kajian mengenai stateless kebanyakan dilakukan oleh para akademisi dari perspektif hukum. Kebanyakan dari akademisi menerjemahkan statelessness sebagai tidak adanya kewarganegaraan atau kebangsaan.

Studi yang dilakukan Amorisa, kasus orang Sangir di Sulawesi Utara, tidak hanya menjelaskan tidak adanya konfirmasi hukum dan negara, tapi juga tidak adanya pengakuan negara terhadap rasa kepemilikan dan tradisi mereka akan rumah. Siapa orang-orang dengan risiko atau tanpa kewarganegaraan di Indonesia? Orang-orang yang tinggal di perbatasan, masyarakat adat, anak dari orangtua migran tanpa kewarganegaraan (etnis China, Arab, atau India), anak dari transit migran atau pencari suaka, anak dari pekerja migran Indonesia.

Orang dengan risiko atau tanpa kewarganegaraan di Sulawesi Utara : Sangir Philipina, atau Philipina Sangir, sejarah hubungan orang Sangir dan Philipina, Budaya migrasi musiman, ikatan kekeluargaan, migrasi terkini dalam masyarakat Sangir.

Awalnya banyak terjadi di abad 17 ada peta Pulau Sarangani masuk di Sangihe. Mereka saling kawin lantas keberadaan Pulau Sarangani menghilang di abad 18.

Banyak sekali orang Sangir di Sulawesi Utara dan sebagian Maluku Utara menganggap daerah tersebut sebagai rumah mereka. Sampai sekarang  banyak orang Sangir yang saling mengunjungi. Salah seorang informan Amorisa di Philipina selatan lalu  berpindah di Sulut dan sekarang ia pindah lagi di Philipina selatan. Membuktikan bahwa mereka gampang sekali untuk berpindah. Banyak juga informan peneliti yang dari Philipina saat ini  datang di Bitung untuk melihat hubungan dagang dan mereka menyewakan kapal untuk bisnis. Arti "rumah" bagi mereka sangatlah  luas, dan bermakna cair. 

Lalu apa yang di dapatkan pelajaran dari Phiilipina : 1. Philipina maju selangkah dibanding Indonesia dan menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang meratifikasi the 1954 Statelessness Convention and 1961 Convention on the Reduction of Statelessness. Kedua Konvensi itu menjadi landasan utama penyelesaian masalah warga dengan risiko atau tanpa kewarganegraaan di Philipina, termasuk orang Sangir yang tinggal di Philipina Selatan.  2. Mereka juga membentuk unit khusus yang menangani kasus kewarganegaraan. 3. Philipina menyelesaikan secara bertahap : 2011, 2016, 2020 proyek untuk orang Sangir  selesai. Sekarang beralih ke orang Sarang Bajau. Petugas butuh waktu 3 bulan sampai mereka mau didata karena orang Sangir takut mereka akan dideportasi.

 

Data dari Kantor Wilayah(Kanwil)  Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sulawesi Utara

Sementara narasumber dari Kantor Kemenkumham Provinsi Sulawesi Utara  menyampaikan terkait permasalahan dan upaya penyelesaian tentang statelessness. Menurutnya Istilah statelessness  atau orang tanpa kewarganegaraan masih belum banyak dibahas oleh para akademisi di Indonesia. Kajian mengenai statelessness kebanyakan dilakukan oleh para akademisi dari perspektif hukum. Kebanyakan dari akademisi menerjemahkan statelessness sebagai tidak adanya kewarganegaraan atau kebangsaan.

Sedangkan istilah orang yang tak bernegara disebut (de jure) merupakan orang yang tidak dianggap sebagai seorang warga negara oleh suatu negara. Orang tak bernegara (de facto) merupakan orang yang berada di luar negara dan kewarganegaraan tidak jelas. Dengan demikian segala hak dan kewajiban sebagai warga negara tidak bisa terpenuhi karena berstatus tak bernegara (tanpa kewarganegaraan).

Data terkait status pemukim tanpa dokumen yang ada di Provinsi Sulawesi Utara (Kota Bitung dan Kabupaten Kepulauan Sangihe).

-Tahun 2016 Kanwil Kemenkumham menerima usulan pemukim tanpa dokumen dari kota Bitung sebanyak 54 orang dan kabupaten Kepulauan Sangihe sebanyak 8 orang. Total sebanyak 62 orang pemukim tanpa dokumen telah diteruskan  ke Ditjen Ahli, Kemenkumham yang kemudian diterbitkan  SK Menteri Hukum dan HAM terkait status warga negara bagi 62 orang tersebut.

-Tahun 2017 Kanwil Kemenkumham menerima usulan status pemukim tanpa dokumen dari Pemerintah Kota Bitung sebanyak 277 orang dan langsung diteruskan ke Ditjen Ahli kemudian terbitlah SK Menteri Hukum dan HAM, terkait kasus warga negara bagian 277 orang tersebut.

-Tahun 2018-2019 Pemerintah Kota Bitung mengusulkan yakni 157 orang pemukim tanpa dokumen dan dari pemerintah kabupaten Kepulauan Sangihe mengusulkan 32 orang untuk mendapatkan status warga negara. Dan Kanwil Kemenkumham telah mengusulkan  ke Ditjen AHLI Kemenkumham RI sesuai usulan dari pemerintah  daerah namun belum adanya Surat Keputusan (SK) sampai dengan saat ini.

-Tahun 2020 sampai dengan saat ini Kanwil Kemenkumham belum menerima usulan kewarganegaraan bagi pemukim tampa dokumen yang ada di kota Bitung dan kabupaten Kepulauan Sangihe.

Bahwa negara harus hadir dalam persoalan-persoalan stateless di antaranya sebab anak-anak harus mendapat akses dokumen untuk bisa sekolah karena itu haknya. Demikian dikatakan Uli Parulian, Komisioner Komnas HAM yang memaparkan beberapa tantangan  yang dihadapi dalam konteks sejarah dan sosiokultural bahwa banyak orang-orang Philipina yang lebih dikenal Sangir-Philipina, atau Philipina -Sangihe menempati wilayah di Sulawesi Utara tanpa berdokumen, bahkan beranak-pinak di lokasi. Tantangan kedua adalah minimnya data sebaran wilayah  dan keberadaan orang-orang tanpa kewarganegaraan tersebut karena tidak ada leading sector maupun urgensi  penanganannya. Berikutnya, hubungan saling menguntungkan  menjadi alasan  warga untuk melindungi keberadaan orang-orang  Philipina yang keberadaan orang-orang. Filipina yang ada di sekitar situ secara tidak langsung perekonomian terbantu. Terakhir adalah perbatasan Indonesia dan Philipina, situasi geografis Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan Philipina memudahkan WNA masuk melalui jalur laut, mayoritas adalah nelayan yang tidak sadar telah memasuki wilayah  Indonesia. Akibatnya tanpa dokumen imigrasi yang lengkap mereka masuk ke Indonesia.

Uli lantas mengemukakan benerapa usulan  tindak lanjut dari Komnas HAM adalah : 1. Adanya tim pendataan gabungan yang diinisiasi oleh pemerintah pusat, termasuk alokasi anggarannya. Ini penting dalam rangka pemetaan sebaran wilayah keberadaan orang-orang Philipina di Sulawesi Utara. 2. Merevisi perjanjian perbatasan yang ditandatangani pada tahun 1975. 3. Adanya kebijakan khusus dengan memberikan izin tinggal khusus dan dokumen pengganti paspor dan atau bisa  sementara sehingga tidak perlu dideportasi apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga di Indonesia. 4. Dibukanya jalur transportasi reguler sehingga biaya transportasi menjadi lebih murah dan mengurangi akses transportasi yang tidak terdata melalui jalur tikus. 5. Mengusulkan kepada kementerian Hukum dan HAM RI melalui direktorat jenderal imigrasi untuk dapat mengeluarkan  Permen yang mengatur mengenai pemberian izin tinggal khusus yang diberikan  kepada warga negara Philipina yang telah memiliki dokumen perjalanan dan masih berada di Indonesia agar tetap dapat tinggal dan berada di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana hal yang sama telah dilakukan oleh pemerintah Republik Philipina kepada warga negara Indonesia yang tetap ingin berada di Philipina (asas resiprokal).

Natalia, stafsus walikota Bitung dan kerja sama internasional yang melakukan penelitian mengatakan bahwa pemkot Bitung sejak 2018 berhasil beri status warga negara kepada hampir 200-an orang. Cuma masalahnya, lantas berdatanganlah orang-orang yang tidak jelas identitas  di pandemi COVID-19. Saat itu di satu kecamatan mereka juga diberi vaksin  dan menurutnya hal ini tidak hanya sekadar angka, sebab mereka itu korban trafficking. "Mereka didatangkan dan dengan sengaja dihilangkan identitas. Mereka ada yang mengkoordinir. Mereka lebih profesional dari nelayan Indonesia. Mereka korban. Bagaimana bisa menghentikan arus ini?"

Apalagi imigrasi melihat bukan  stateless padahal mereka tanpa dokumen dan  tidak bisa berbahasa Indonesia. Tantangannya dan tantangan Pemkot yakni untuk meng-cut artinya tidak ada lagi orang tanpa kenegaraan di Sulawesi Utara dan di Indonesia  "traffricking in fisheries industry". (Ast)