Talkshow Ruang Publik KBR: Mengkritisi Putusan Mahkamah Agung Soal Usia Calon Kepala Daerah

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Beberapa waktu ini masyarakat dikejutkan oleh lembaga yudikatif, Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Partai Garuda terkait  aturan batas minimal usia kepala daerah. Aturan yang diuji ini pasal 4, ayat 1, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 9 tahun 2020. Prosesnya secepat kilat dan hanya butuh tiga hari.

MA juga mengubah batas usia bakal calon kepala daerah yang semula dihitung dari penetapan pasangan calon kemudian diganti dihitung sejak pasangan calon terpilih. Putusan ini diduga sebagai jalan untuk meloloskan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju jadi gubernur di tahun 2024.

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STB) Jentera menjawab pertanyaan host kbr.id terkait bagaimana pemikiran kritisnya dan apa ada yang salah. Menurut Bivitri, harus jadi catatan bahwa soal masalah penetapan keputusan ini kilat, itu adalah relatif  dan ia menginformasikan mendapat screenshoot-nya bahwa umur perkara empat hari dari aplikasi di MA.

Tetapi kalau membaca putusan sebenarnya, menurut Bivitri, permohonannya masuk 22 April 2024. Sebelumnya ada jawaban pemohon yakni KPU dan putusannya di 20 Mei 2024. Ia menandaskan jika dikatakan putusan kilat itu relatif. Juga kalau membaca putusan,  tidak bisa mengasumsikan bahwa putusan yang lahir tiga hari pasti lebih buruk dari yang lahir tiga minggu. Kecuali kalau punya informasi tentang hal yang sifatnya intervensi dan lain sebagainya misalnya mengapa itu lahir cuma tiga hari. Tetapi buat Bivitri, hitungannya tetap sebulan.

Ia menambahkan bahwa lebih baik fokus pada pertimbangan hukumnya, atau penalaran atau alasan tiga hakim itu hingga lahir keputusan tersebut. "Alasannya sebenarnya unik . Kalau dikatakan memori, kita akan langsung kembali kepada Gibran, yang tiba-tiba bisa masuk, memang sama persis. Karena umurnya tidak diutak-atik. Jadi ini bukan soal angka. Soalnya adalah apakah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur itu dihitungnya  sejak penetapan pendaftaran atau pelantikan, "ujar Bivitri.

Alasan hakim mengapa dimundurkan sejak pelatikan itu, pertama, hakim melihat bahwa UUD 45 biasanya fokus pada jabatannya, bahkan hakim yang kedua bilang KPU tidak membuat peraturan yang sifatnya menjalankan keseluruhan atau tujuan Undang-Undang Pilkada yang ingin memajukan anak muda. Di dua hal ini saja menurut Bivitri ia yakin yang sedang menonton  atau mendengar di media sosial saat ini sudah bisa menangkap, tanpa belajar lama-lama tentang logika hukum dasar. 1. Apa bedanya antara, apakah tiga bulan itu, apakah itu benar-benar akan meminggirkan. Atau benar meminggirkan anak muda? 2. Intensi anak muda. Di bagian mana? Tidak ada penjelasan. Yang unik MA menguji peraturan di bawah Undang-Undang, kalau ukurannya adala Undang-Undang Dasar (UUD) , tempatnya di Mahkamah Konstitusi. Bahwa hakim dalam argumennya menggunakan ukuran "oh menurut UUD 45."

Jabatan dilihat sejak ia menjabat yakni sejak pelantikan, itu juga tidak patut dilakukan atau wajar tidak lakukan. Tidak logis juga dimajukan atau dimundurkan tiga bulan itu, seseorang yang tadinya muda jadi tidak muda lagi. Itu tidak ada penjelasan.

Paling tidak hal-hal itu dari segi hukumnya, setiap orang mestinya sadar. Dalam waktu empat bulan itu kenanya hanya karena  Kaesang ulang tahun  ke-30 pada bulan Desember. Kalau membaca jadwal, penetapan itu 22 September.Jadi pertanyaannya apakah cari calon lain yang setipis itu? Pasti tidak ketemu. Wajar kalau kemudian publik mengaitkan bahwa ini ada soal-soal memori, dan langsung terbaca pola yang sama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Pola itu sudah terbaca dengan jelas.

Khoirunnisa Nur Agustyati, biasa dipanggil Ninis, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menjadi narasumber kedua menjawab terkait batas usia calon kepala daerah, ia mengingat tentang putusan nomor 90 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang demikian mudah mengutak-atik keputusan untuk kepentingan seseorang supaya ia bisa masuk ke kompetisi ini (Pemilu lalu). Ninis menambahkan bahwa di Undang-Undang Pilkada tidak diatur usia tetapi perlu diingat bahwa di Undang-Undang Pilkada secara tegas mengatur bahwa usia menjadi salah satu syarat calonnya.

Ninis menegaskan dari sisi Undang-Undang  Pilkada tidak berubah.Sepanjang Undang-Undang  tidak diatur, maka seharusnya KPU ikut Undang-Undang karena KPU bekerja sesuai dengan undang-undang. Dan berkepastian hukum adalah salah satu prinsip pemilu yang berintegritas maka seharusnya KPU ikut apa kata Undang-Undang. Lantas pertanyaannya apakah  KPU harus menjalankan  atau tidak? KPU pernah memiliki pengalaman tidak menjalankan putusan Mahkamah Agung. Yang terakhir adalah soal afirmasi yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang. Pada Pilkada 2018,KPU juga pernah tidak menjalankan putusan MA saat itu terkait dengan syarat calon anggota DPD yang jadi pengurus partai politik. Jadi ketika  KPU pernah melakukan  itu menurut Ninis, KPU harus on the track karena Undang-Undang Pilkada tidak diubah maka ya itulah yang jadi pegangan KPU untuk membuat peraturan teknisnya.

Walaupun dalam putusan ini MA membatalkan PKPU. Tapi sekarang ini KPU dalam proses pembentukan peraturan teknis  PKPU-nya. "Jadi menurut saya KPU tidak usah menjalankan putusan MA ini, “tegas Ninis. .

Sementara itu Bivitri menjawab soal apakah KPU memiliki kewajiban menjalankan putusan MA ini? Lantas seperti apa? Orang bertanya apalah aturan bisa diubah? Menurutnya seharusnya aturan itu diubah oleh orangnya sendiri yang mengeluarkan peraturan itu. Bedanya dengan MK dengan putusan 90, berlaku langsung sebagai Undang-Undang. Diubah atau tidak maka dia sudah jadi aturan baru. Kalau PKPU untuk MA, memang seharusnya KPU mengubah sendiri.

Kalau yang periode lalu saat pemilu 2019 memang KPU tidak menjalankan secara langung mengubah untuk anggota DPD yang jadi pengurus parpol. Tapi itu untuk tujuan baik waktu itu. Karena yang diubah adalah level Undang-Undangnya. Jadi itikadnya  baik. "Yang Ninis sebut untuk pemilu kali ini etikanya tidak baik yaitu untuk tidak menjalankan putusan MA juga yang terkait keterwakilan perempuan. Perlu saya tekankan kita boleh sangat mempertanyakan KPU kalau KPU menjalankan putusan KPU yang ini, karena berarti dia milih-milih mana yang menguntungkan orang-orang tertentu," ungkap Bivitri.

Kenapa putusan MA yang untuk keterwakilan perempuan baru-baru ini juga tidak dijalankan tetapi yang ini mereka akan segera jalankan? Karena ada ketidakadilan. Jangan lupa karena  untuk calon perseorangan sudah ditutup pendaftarannya. Walaupun publik bisa protes tentang itu karena ada ketidakadilan. Syarat pendaftaran diubah setelah calon independen pendaftarannya ditutup. Ada ketidakadilan.

Kemudian ada pertanyaan apakah KPU bisa dipaksa untuk tidak melaksanakan putusan MA? Bivitri menjawab bahwa cara untuk memaksa KPU secara formal sebenarnya tidak ada. Juga tidak ada forum hukum apapun lagi terkait KPU ini. Yang bisa dilakukan adalah desakan publik termasuk kritis sebab yang afirmasi saja tidak dilaksanakan, ini mau buru-buru dilaksanakan. (Ast)