Penerimaan Peserta Didik Baru yang Lebih Berpihak Kepada Hak Anak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kultur Parenting sejak tahun 2024 mengusung tema terkait pendidikan yang berpihak kepada hak anak dan berbasis kepada prinsip empat perlindungan kepada anak : non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup kelangsungan hidup hidup dan tumbuh kembang anak untuk berpartisipasi berbicara dan didengarkan pendapatnya dengan sungguh-sungguh.

Kali ini YouTube @Kulturparenting mengundang pembicara Iwan Setiyoko, Direktur  Yayasan Satu Karya Karsa (YSKK), salah satu Non Goverment Organization (NGO) yang cukup aktif dalam pemberdayaan perempuan dan anak dan di pemberdayaan anak berfokus pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan menengah. YSKK cukup berinteraksi dengan jaringan pendidikan di tingkat nasional sehingga sedikit banyak mengikuti perkembangan terkait pendidikan baik di daerah dan meskipun berdomisili di Surakarta namun cakupan wilayah nasional.

Menjadi pertanyaan bagi para orangtua sebenarnya misi mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka itu apa? Selama ini diketahui anak-anak bersekolah di sekolah yang dikelola oleh pemerintah ataupun dikelola swasta. Yang kemudian menjadi landasan berpikir mengapa para orangtua berpartisipasi untuk menyekolahkan anaknya. Lalu siapakah yang bertanggung jawab untuk pemenuhan pendidikan untuk anak-anak? Apakah sekolah yang dititipi sebagai tempat belajar? Atau tanggung jawab itu ada pada orangtua?

Pertanyaan berikutnya adalah apakah pendidikan saat ini sudah sesuai dengan harapan orangtua. Pertanyaan-pertanyaan refleksif perlu dilakukan karena sebagai warga negara, orangtua bisa berpikir kritis, apakah pendidikan dan sarana pendidikan itu bisa menjawab harapan orangtua dan kebutuhan anak-anak di masa mendatang.

Iwan mengungkapkan pada saat  peringatan Hari Pendidikan Nasional, para pegiat isi pendidikan dan para orangtua menyampaikan refleksi. Mengingat semakin meninggi angka anak yang tidak sekolah. Ditemukan sekitar 3 juta. Lalu menjadi pertanyaan  bagaimana negara tidak bisa memenuhi  hak-hak pendidikan yang harusnya menjadi hak dasar bagi anak-anak untuk mengenyam pendidikan.

Belum lagi ketika berbicara pemenuhan pendidikan bagi anak disabilitas. Mereka yang mengenyam pendidikan hanya di angka 12% dari total 2 juta lebih atau baru sekitar 200-an ribu yang bisa bersekolah. Padahal secara nasional, inklusi sudah diterapkan. Sementara di wilayah Surakarta saja contohnya, masih ada anak dengan disabilitas yang tidak bisa bersekolah ke sekolah yang katanya berlabel 'inklusi', apalagi di daerah lain. Menurut Iwan, ini menjadi "pekerjaan rumah" bersama.

Lalu, sudah semestinya wajib belajar 12 tahun itu seluruhnya ditanggung oleh pemerintah karena banyak terjadi mereka yang putus sekolah, biasanya di level sekolah menengah, mereka tidak bisa bertahan lalu putus sekolah kebanyakan dikarenakan kondisi ekonomi orangtua. Ini juga berlaku di sekolah swasta karena mereka yang bersekolaj di swasta ini juga anak-anak Indonesia. Jadi secara keseluruhan dari hal pendidikan yang dibutuhkan oleh anak, adalah menjadi tanggung jawab negara. Sementara itu, yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini sebetulnya adalah subsidi bukan menanggung.

Secara nasional, integritas pendidian nasional masih di level rendah. Mengapa ini terjadi? Karena perilaku koruptif yang marak terjadi di dunia pendidikan. Di dunia pendidikan  ditemui gratifikasi, nepotisme, dan kolusi. Termasuk saat ini yang terjadi dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Dari sisi hak perlindungan dari kekerasan, negara belum bisa menjamim bahwa sekolah bisa menjadi satu sarana pendidikan yang aman bagi anak untuk tumbuh kembang. Angka kekerasan saat ini cukup tinggi karena sampai April 2024 sudah terjadi 106 kasus.

Kembali kepada permasalahan PPDB. Apakah tahun ini akan lebih baik dari 2024? PPDB yang sudah berjalan selama 7 tahun ini meski sudah membuka posko aduan secara nasional, namun permasalahan- permasalahan yang masuk selalu sama. Terkait zonasi, permasalahan yang selalu muncul ternyata masih diskriminatif. Zonasi sebenarnya untuk pemerataan pendidikan. Jika semua sekolah secara kualitas kepala sekolah dan gurunya serta sarana dan prasarana sarananya mendukung, maka PPDB tidak jadi masalah. Juga keberpihakan mereka kepada kejujuran dan integritaslah yang penting.  (Ast)