RUU Penyiaran, Mengapa Layak Ditolak

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Draf revisi UU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 27 Maret 2024 membuat beberapa pasal yang bermasalah dan berpotensi mengancam kebebasan pers. Beberapa poin tersebut di antaranya :

 

1. Terdapat Perluasan Definisi Penyiaran

Hal ini patut untuk diperhatikan sebab revisi Undang-Undang Penyiaran merinci jenis teknologi penyiaran (terrestrial, kabel, satelit, internet, dst) dan menambahkan 'nature'dari penyiaran, yang semula 'hanya dapat diterima secara serentak dan bersamaan' menjadi 'dapat diterima secara bersamaan dan/atau dapat diakses kembali. ' (sumber:analisis remotivi)

Undang-Undang Penyiaran 2022 hanya mengatur Lembaga Penyiaran. Sedangkan draf revisi Undang-Undang  Penyiaran versi Maret 2024 menambahkan subjek hukum baru 'platform digital Penyiaran. ' (terdapat di antara pasal 5 dan 6 yakni pasal 5A)

Mengutip Aliansi Jurnalis Independen  (AJI) Indonesia, dosen ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Prasetya mengatakan bahwa dengan diperluasnya definisi penyiaran, ada potensi ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di platform digital. Terutama dengan banyaknya media alternatif baru.

 

2. Larangan Menayangkan Jurnalisme Investigasi

 

Pasal 508 ayat 2(c) mengenai Standar Isi Siaran (SIS) yang pada huruf ini secara spesifik melarang "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi"

 

Menurut Wisnu Prasetya seperti dikutip oleh AJI Indonesia, "Ada pembatasan larangan menyiarkan jurnalisme investigasi. Ini pasal yang absurd dengan tendensi anti-kebebasan pers yang sangat gamblang karena spesifik menyasar kerja-kerja jurnalistik investigasi. Dan karena poin pertama, definisi penyiaran itu diperluas, yang disasar iru tidak hanya media-media arus utama, tetapi juga jurnalisme investigasi yang dilakukan via internet, media online, atau bahkan bisa diterjemahkan sampai di media sosial. "

 

Pasal larangan penayangan jurnalisme investigasi bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyinaran.

 

Dampak Larangan Tersebut akan Membungkam Kebebasan Pers

 

Dikutip dari safenetvoice, pasal-pasal yang potensial menjadi instrumen penyensoran yang melanggar kebebasan pers dan berekspresi serta hak atas informasi warganet adalah :

Pasal 8A dan 34F (2e) : Mewajibkan platform digital untuk melakukan verivikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, tidak dijelaskan verifikasi macam apa yang dimaksud.

 

Pasal 8C dan 50 (3) : Memperluas kewenangan dan tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sehingga dapat mengawasi konten-konten digital.

 

Pasal 36A (2) : Memberikan kewenangan kepada KPI untuk memberikan sanksi kepada platform digital yang dianggap melanggar peraturannya. Sanksi ini termasuk memberi rekomendasi pada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo untuk memutus akses terhadap konten di platform digital.

 

Pasal 23 : Melarang kepemilikan platform digital oleh organisasi/komunitas yang mewakili kepentingan propaganda kelompok tertentu atau organisasi terlarang dengan melakukan hasutan perbuatan melanggar hukum.

 

Pasal 28A : Melarang platform digital milik penyedia jasa penyiaran berlangganan untuk menyiarkan konten yang membahayakan kepentingan bangsa, mengancam pertahanan dan keamanan nasional, bertentangan dengan norma kesusilaan, mengandung pornografi dan sadistis, mempertentangkan Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA), dan menyajikan perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT).

 

Pasal 46A (2) : Melarang materi iklan untuk menggunakan model iklan atau mempromosikan perilaku LGBT dan melanggar nilai kesopanan, nilai kepantasan, dan nilai kesusilaan.

 

Pasal 50B (2) : Melarang konten yang mengandung jurnalisme investigasi, gaya hidup negatif, aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan, perilaku LGBT, berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penodaan agama. (Ast)