Rakyat Ndeso Sambirejo Melawan Perhutani

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Perawakannya tidak begitu gagah, bahkan cenderung berpenampilan sangat sederhana. Mbah Nardji (64) begitu ia acap disapa mbah, bukan karena badannya ringkih, tetapi lantaran berjenggot panjang berwarnia putih. Meski ia tinggal di pelosok desa, jangan tanya kegarangannya ketika memimpin demonstrasi terbilang lama, 17 tahun, acap membuat kedher aparat pemerintahan kabupaten

Tidak hanya aparat di tingkat Kabupaten Sragen, Mbah Nardji melabrak para penggede pemerintahan, bahkan ke gubernuran pun disatroninya. Tidak tanggung-tanggung yang didesak mbah Nardji dan rakyat desa Sambirejo, Sragen selain bupati, juga gubernur Jawa Tengah. Tuntutannya, tutur Nardji, tidak neko-neko yakni ingin membebaskan tanah rakyat yang rebut PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN IX).


“Kami ingin mengembalikan hak atas tanah turun-temurun yang dulu diolah rakyat kemudian direbut PT Perkebunan Nusantara IX,” ujar Nardji di kediamannya, Rabu (11/3/2017)

Menurut Nardji, keponggahan direktur PTPN IX yang ingin merebut tanah lahan garapan rakyat, bukan sekali-dua terjadi. Sebelumnya, ujar Nardji lebih lanjut, pada tahun 1980-an pemerintah daerah menginstruksikan agar rakyat penggarap ladang disuruh angkat kaki dari rumahnya.

“Jelas kami tidak terima. Tapi waktu dulu’kan masih jaman Soeharto berkuasa. Kami tidak kalah, tapi diam dan menyusun kekuatan bersama-sama tokoh desa lain. Lebih dari 700 warga desa bersatu dan ingin menuntut hak atas tanah yang dikelolanya kembali,” katanya

Meski kata sepakat telah digalang penduduk desa melalui gerakan bawah tanah, tutur Nardji menceritakan, waktu itu keadaan belum memungkinkan bergerak bersama. Terus terang, warga desa ketakutan dengan aparat tentara dan polisi yang terus menerus mengawasi pergerakan kami.

“Tidak hanya ancaman di cap sebagai anggota PKI -Partai Komunis Indonesia- tapi juga takut dijebloskan ke penjara. Makanya kami sering rapat berpindah-pindah tempat, dari desa satu ke desa lain. Kalau tidak sore, bahkan sampai malam hari,” ujar dia mengenang.

Hasil kasak-kusuk dengan seluruh rakyat warga desa di desa Sambirejo dan desa lainnya sepakat akan melakukan perlawanan merebut hak mengelola tanah yang direbut pemerintah melalui PTPN IX. “Kalau ditotal waktu itu, ada sekitar 1140 warga dese yang bersumpah ingin melakukan perlawanan merebut tanah mereka,” katanya, “kami didampingi dan dikawal Yaphi dari Solo.”



Keinginan Nardji dan warga Sambirejo dan dari desa lain beru terealisasikan turun kejalan melakukan longmarch berdemo setelah Presiden Soeharto tumbang. Benar saja, tujuh ratusan warga melakukan demonstrasi menuntut hak atas tanah Samberedjo ke PTPN IX dan kantor kabupaten setelah reformasi.

“Setelah reformasi, ‘kan kahanan sudah laen, jadi kami baru berani bergerak menuntut ke pemerintah agar mengembalikan hak tanah milik kami. Kami berdemo tidak hanya sekali-dua mendatangi kantor PTPN IX dan kantor bupati, tapi sudah tidak bisa dihitung banyaknya,” ujar dia.

Tampaknya pihak PTPN IX makin gerah melihat sepak-terjang warga Sambirejo dibawah komando mbah Nardji. Apalagi, rakyat tetap tak mau melepaskan tanah yang diklaim sepihak masih milik PTPN IX. Kegusaran pemegang kekuasaan atas perkebunan di wilayah desa Samberejo menjadi-jadi, ketika ratusan pohon jati tumbang digergaji rakyat.

“Kami diadili dan saya ditangkap diadili dan dijebloskan ke penjara selama 1.5 tahun,” katanya, “padahal pohon tumbang itu di tanah rakyat. Kenapa kami yang jadi sasaran.”