16 Tahun Mangkrak, RUU Perlindungan PRT Alami Tarik Ulur

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT) selain amanat konstitusi juga rancangan produk hukum perlindungan pekerja rumah tangga yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perburuhan.  RUU-PPRT pernah dibahas dalam forum diskusi ke-12 di tahun 2020.

Pembahasan  ini penting mengapa RUU ini hadir sebagai bentuk kehadiran negara. Demikian dikatakan oleh Arimbi Heorepoetri, moderator yang memandu Forum Diskusi Denpasar 12  yang menghadirkan narasumber Willy Aditya, baleg DPR RI, Theresia Iswarini komisioner Komnas Perempuan, dan Lita Anggraini dari JALA.

Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI menyatakan dalam sambutannya bahwa dalam konteks budaya Indonesia, dukungan pekerja ini unik bahwa ada yang pekerja dan pemberi kerja, ada yang hubungan kekerabatan, ada yang berbasis charity.  Keunikan ini menimbulkan implikasi yang ada kondisi pada pekerja itu sendiri. “Makin lama menunda, makin lama ditunda, kita mengabaikan HAM. Polemik akan tercipta. Bagaimana pemberi kerja, pemodal, menjadi tanggung jawab kita, di sini kita bicara mengenai kemanusiaan,”terangnya.

Willy Aditya menyatakan bahwa sebagai sebuah perjuangan untuk menegakkan keadilan dengan basis HAM, menegaskan kepada kita semua bahwa DPR RI sudah 6 bulan lebih berusaha untuk diparipurnakan. Hasil raker DPR RI, tahun 2021 RUU-PPRT ini masuk prolegnas.

Theresia Iswarini memberikan apresiasi yang baik kepada seluruh anggota DPR yang telah diberikan kerja semangat usaha dan pemikiran. Menurtunya RUU terpanjang yang pernah ada di DPR. Theresia bertutur pernah membaca Indonesia di tahun 1930-an para PRT yang dibawa khusus ke Belanda atau sebaliknya. Stereotipe ini berangsung sejak zaman Belanda, sehingga kerja-kerja membantu itu tidak dinilai. “Terutama dari pemberi kerja, kalau saya memberi upah UMR maka saya bisa bangkrut, padahal kalau dihitung nilai kerja kerja yang dilakukan PRT berkontribusi dengan hasil kerja pemberi kerja karena pemberi kerja entitas yang berelasi dengan PRT ini,”terang Theresia. Belum lagi konteks kelas, ada yang dari menengah, dan tinggi.

Dalam pemikiran masyarakat kita, yang rendah pun juga mempekerjakan PRT seperti buruh, yang berdasarkan sosiologi pada titik tertentu alami kekerasan. Kala pandemi banyak orang-orang terutama perempuan yang mendapat kekerasan akan sulit melaporkan kekerasan yang dialaminya. Ada banyak catatan PRT yang dirumahkan, dan feminisasi kemiskinan. Masa pandemi ini  PRT berhadapan dengan kekerasan, pemiskinan, stereotyping, pelabelan, dan ternyata tidak ada UU-PPRT.

Untuk itu, imbuh Theresia,  mestinya ada kebijakan media kondusif untuk mencegah kekerasan dan menciptkan keadilan gender teori : 3 R, recognisi, representasi, dan redistribusi. Pengakuan dari PRT masih rendah. Termasuk mengakui adanya kelompok marjinal yang mengamanatkan kepada konstitusi kita. Mereka orang orang yang menjadi tanggung jawab negara. Kontribusi PRT ada lewat rumah tangga, sehingga suami istri bisa bekerja dengan baik dan bahagia. Para suami yang bekerja baik di parlemen bisa melahirkan bagi masyarakat Indonesia, itu sebabnya UU-PPRT jadi sesuatu yang penting.

Dorongan Komnas Perempuan ke DPR yakni untuk memberikan kepastian hukum dan 3 R, oleh karenanya setiap fraksi untuk terus berkomitmen. “Sejak 2020 kami melakukan banyak kampanye, mendekati fraksi-fraksi tertentu yang bersetuju. Kami sudah menyurati fraksi Gerindra, Golkar dan PKB kami berharap ketiga fraksi terus bersama kami. Mendorong media agar RUU-PPRT tetap di DPR yang jadi inisiatif, dan semoga ada refeksi besar di DPR, menggugah solidaritas. Refleksi kita, di masa pandemi, tugas kita konstitusi Pancasila bisa diterapkan. “ terangnya panjang.

Lita Anggraini dari JALA menyampaikan bahwa negara tidak hadir dan tidak memberi perlindungan. Kita selalu menuntut ke negara lain yang membutuhkan PRT , tapi di negeri ini  jangan berpikir PRT dalam negeri aman. Mereka rentan berbagai kekerasan, seperti terjadi pada Pariyem dan Sunarsih yang meninggal. PRT adalah sokoguru perekonomian. PRT tidak bisa kerja online, tidak bisa work from home, mereka harus hadir, harus masak, bersih-bersih, dari semua. Dari sembilan subsidi kala pandemi, PRT tidak tercakup. “Kami mendata dalam situasi biasa 600 PRT, 80% tidak mengakses jamkes. Kalau harus membayar KIS mandiri, bagaimana jika itu dikali 3 atau 4, lalu mereka tidak bisa membayar. Kebijakan negara masih eksklusif memarjinalkan PRT. Kalau bicara SDGs ya  mereka mestinya terkomodir,”pungkas Theresia. (Astuti)