Merefleksikan Kembali Gerakan Bersama Mengawal Implementasi UU TPKS

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

"Implementasi UU TPKS akan terus melalui proses perjalanan panjang, terutama bagi teman perempuan penyandang disabilitas. Namun, kami melihat berbagai langkah progresif telah dilakukan, terutama oleh lembaga pemberi layanan dengan koordinasi di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.Mereka yang mengalami kekerasan seksual harus mendapatkan penanganan yang sesuai dengan kebutuhannya, dengan akomodasi yang layak dan penghormatan terhadap korban sebagai individu yang bermartabat,”demikian ungkap Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani di dalam sambutan diskusi yang dihelat oleh SAPDA bertajuk Perlindungan Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual: Refleksi Gerakan dan Implementasi UU TPKS, Jumat (15/3).

Berdasarkan pengalaman Forum Pengada Layanan, implementasi UU TPKS di daerah masih menyisakan banyak temuan. Misalnya, regulasi ini masih absen di dalam penanganan
perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual. Belum adanya aturan pelaksana hingga saat ini membuat UU TPKS masih dianggap rumit untuk diterapkan. Ketika
digunakan pun, UU TPKS sering kali hanya menjadi juncto bersama dengan regulasi lainnya.

Namun begitu, hal ini sudah menjadi kemajuan kecil yang sangat baik di dalam implementasi UU TPKS. Selain itu, sumber daya yang terlibat dalam menangani kasus masih membutuhkan peningkatan perspektif gender, korban, dan disabilitas. Situasi ini terutama berlaku bagi petugas di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). UU TPKS sendiri telah memandatkan peran dan wewenang strategis kepada UPTD PPA dalam hal penanganan kasus kekerasan seksual, mulai dari menerima aduan, menginformasikan dan memantau pemenuhan hak korban, menyediakan layanan terpadu, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan lain, termasuk mengkoordinasikan kerjasama dengan lembaga lain.

Di sisi lain, pemenuhan akomodasi yang layak sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 masih perlu untuk dikawal. Sebagian lembaga penegak hukum
seperti Kejaksaan RI dan Mahkamah Agung RI memang telah mengupayakan adanya aturan teknis terkait pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas korban kekerasan. Meskipun demikian, penerapannya masih menghadapi berbagai hambatan seperti minimnya perspektif dan alokasi anggaran yang terbatas. Menjadi pekerjaan rumah bersama untuk memastikan agar aturan-aturan ini terus tersosialisasi dan bisa terimplementasi sampai ke tingkat pelaksana.

Belum sempurnanya perspektif dan pemenuhan akomodasi yang layak pada akhirnya membuat korban kekerasan seksual, termasuk penyandang disabilitas, rentan mengalami
viktimisasi ulang. Untuk itu, aturan pelaksana UU TPKS harus mengatur setiap lembaga penanganan kasus agar menyediakan pemeriksaan yang terpadu dan lebih ramah terhadap korban. (Ast)