Diskusi MPPS Menyoal Program Merdeka Belajar

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Merdeka Belajar slogan Sekolah Cikal yang dipinjam sebagai program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. 

Pada tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survey hanya meresahkan anak dan orangtua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki  bakat dan kecerdasan masing-masing. (wikipedia)

Berlatar belakang tentang program Merdeka Belajar itulah kemudian Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) menjadikan tema diskusi rutin pada Kamis (12/8). Seperti yang dikemukakan oleh Pardoyo, jika melihat sepintas mengenai merdeka belajar adalah menghalalkan tentang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), tapi jika dicermati lebih dalam, merdeka belajar ini merupakan kolaborasi antara PJJ dan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Dengan merdeka belajar ini guru tidak perlu banyak ngomong tapi hanya melempar beberapa hal dan murid mencarinya sendiri.

Salah seorang peserta diskusi Henrico Fajar berpendapat bahwa merdeka belajar merupakan refleksi bagi para pendidik dan orangtua yang masih banyak sekali menghadapi permasalahan tentang pendidikan. Ia sangat setuju bahwa belajar itu harus merdeka dan gembira. Jika ditilik pengalaman pendidikan di Indonesia  sebelumnya belum muncul kelas-kelas yang aktif dan partisipatif. Dengan merdeka belajar ini ia berharap proses belajar menjadi menyenangkan. Kegiatan belajar menjadi hidup dengan murid aktif bertanya dan berdiskusi. “Saya kira situasi seperti itu merupakan sebuah impian untuk kita semua. Walaupun kita sudah terlambat tapi kita juga harus mengejar dengan cepat agar tidak tertinggal terlalu jauh dengan negara lain. Harapannya akan banyak muncul ide-ide kreatif dari guru dan murid dalam proses belajar mengajar,”terang Fajar.  

Haryati Panca Putri melihat dari terminologi bahasa yang digunakan yakni arti kata “Merdeka”. Menurutnya ada dua pilihan kata yakni belajar merdeka atau merdeka belajar, karena dua hal itu berbeda. Jika melakukan refleksi mendalam maka didapat bahwa pendidikan kita belum merdeka, di mana kita hanya mendapat pendidikan satu arah saja misalnya dengan mendengarkan guru mendongeng saja. Nah, jika dicermati terkait program ini, maka sangat baik di mana ke depan guru dituntut bisa mendengar dan memahami muridnya. Namun, perempuan yang biasa dipanggil Putri ini masih memiliki kekhawatiran-kekhawatiran para guru tidak bisa mengimplementasikan karena masih menggunakan budaya mengajar model lama. “Jika ini nanti berlaku, saya kira kita harus mendukung dengan serius karena ini adalah hal yang sangat hebat perubahannya nanti,”ungkapnya.

Kegelisahan terkait hal tersebut juga disampaikan oleh Pardoyo. Jika melihat situasi pendidikan di  Solo, ia masih pesimis untuk perubahan budaya pendidikan. Solo secara umum mengalami perlambatan. Hal ini bisa lihat di Solo tidak ada “gregetnya” sama sekali di mana saat ini masih menjalankan PJJ. Tapi sekolah-sekolah tertentu di Solo sudah menjalankan pendidikan dengan nyaman yang membuat murid betah di sekolah. “Jika kita fokus pada perubahan gurunya mungkin kita akan menemui kesulitan pada guru-guru yang sudah berumur, karena mereka ada kendala dalam mengoperasikan teknologi,”terang Pardoyo dalam diskusi yang dipandu oleh Adi C. Kristiyanto tersebut. (Hastowo Broto/ Yohanes Handharu/Astuti)