Petani Vs Negara

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Sebuah realitas hubungan antara petani dan negara yang sedemikian rupa, mungkin membuat kita bertanya-tanya, mengapa petani harus melawan negara? Namun sebelum sampai pada pertanyaan itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa menuntun kita tentang siapa itu petani dan siapa itu negara? Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut kita bisa sedikit membuka mata terhadap sebuah realitas antara petani dan negara.

Dimulai dari pertanyaan siapa petani?
Sebagai orang awam kita sering memaknai petani hanya sebatas orang yang menanam. Pemahaman itu tidaklah keliru, namun lebih dari itu Daniel Webster mengatakan “Petani adalah peletak dasar peradaban”. Dalam hal yang demikian Gunawan Wiradi menjelaskan bahwa ketika cocok tanam dimulai maka cipta karya budaya lainnya mengikutinya. Hal tersebut menunjukkan pada kita betapa pentingnya sosok petani dalam perjalanan peradaban manusia. Tentunya bukanlah hal yang bijak ketika kita memandang petani secara sebelah mata.


Proses awal peradaban manusia Indonesia tentunya telah terjadi jauh sebelum masa feodalisme (sistem yang dianut pada masa kerajaan), masa kolonialisme (sistem yang dianut pada masa penjajahan), dan terlampau jauh ketika harus disandingkan dengan usia Indonesia yang pada tahun 2020 ini baru merayakan kemerdekaannya yang ke 75 tahun. Proses perjalanan peradaban tersebut telah menumbuhkan karakter, budaya, bahasa, bahkan hukum adat yang secara turun-temurun telah diwariskan hingga sampai pada generasi kita saat ini. Hubungan petani dengan tanah yang telah terjadi berabad-abad lamanya menumbuhkan hubungan yang menurut John Salindeho disebut sebagai hubungan religio-magis-kosmis. Tampaknya hubungan tersebut juga berlaku di seluruh wilayah nusantara dengan nama beschikkingsrecht atau dalam bahasa indonesia disebut dengan Hak Ulayat. Hak Ulayat sendiri merupakan bagian terpenting dari sebuah keutuhan karya manusia dalam bentuk Hukum Adat sebab Hak Ulayat atas tanah merupakan tempat berpijak bagi budaya, tradisi, dan bahkan masyarakat adat itu sendiri. Hukum adat itulah yang oleh Maria Ruwi Astuti disebut sebagai primafasi (bentuk awal) Nusantara. Oleh hukum nasional, hak ulayat tersebut diangkat dan dibakukan menjadi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tetap eksis berlaku sampai saat ini.


Siapa negara?
Pertanyaan tersebut mungkin aneh di telinga kita ketika harus menghubungkan negara dengan kata tanya siapa. Tentu ada sejarah panjang yang harus kita ketahui sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini. Peristiwa ini dimulai semenjak revolusi industri
Peristiwa ini dimulai semenjak revolusi industri (pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat) dimulai antara tahun 1750-1850. Di masa itu itu terlahir dua kelas sosial besar yang menurut Karl Marx disebut sebagai kelas kapitalis dan kelas proletar. Kelas kapitalis merupakan orang-orang yang mengendalikan sektor produksi (kelas pengusaha/investor), sedangkan Kelas Proletar merupakan orang-orang yang melakukan produksi (kelas buruh dan petani). Dua kelas besar tersebut tentunya memiliki kepentingan yang berbeda. Kelas kapitalis selalu berusaha untuk menguasai petani dan buruh. Mereka menganggap buruh dan petani sebagai faktor produksi (layaknya mesin) guna melipatgandakan keuntungan mereka. Di sisi lain kelas proletar menghendaki adanya kebebasan, pengakuan, dan perlindungan hak sebagai manusia yang utuh.
Proses-proses ini tentunya terjadi sampai sekarang ketika investor harus berebut tanah dengan petani atau buruh-buruh yang melakukan protes pada pengusaha karena hak-haknya tercabut. Mungkin anda bertanya-tanya dimanakah negara dalam realita yang demikian?

Terkait dengan hal tersebut Dianto Bachriadi mengatakan “negara bukan merupakan suatu kelas” sehingga tidak menjadi subjek dalam pertikaian tersebut. Lebih dalam lagi dikatakan bahwa negara merupakan sebuah institusi yang dibentuk dan atau digunakan oleh kelas dominan untuk memudahkan mereka mengambil surplus atau mengakumulasi surplus. Dari pernyataan tersebut ketika kita menanyakan kembali siapa negara, maka jawabannya negara tak ubahnya sebagai alat kapitalis. Di Indonesia kelompok kapitalis tersebut tercermin dalam kelompok investor baik itu investor nasional maupun investor asing yang lekat dengan kata profit.
Apa peran negara bagi petani?

Kita tidak boleh lupa bahwa citra negara Indonesia adalah negara agraris. Mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani merupakan indikator terpenting citra agraris tersebut. Sejarah membuktikan sejak masa kerajaan lalu bumi nusantara sudah terkenal dengan tanah suburnya dan penghasil rempah-rempah terbaik dunia. Sayangnya kekayaan tersebut justru membawa kita pada era penjajahan.


Kemerdekaan menjadi tonggak awal Bangsa Indonesia untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri. Petani sebagai tonggak peradaban mendapatkan posisi utama dalam kerangka pemulihan ekonomi pada masa kepemimpinan Soekarno. Melalui kebijakan penghapusan tanah partikelir, Land Reform, penghapusan eksploitasi petani, hingga pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960, petani dimerdekakan dan diberikan hak atas tanah. Kebijakan-kebijakan pro petani tersebut terus menjadi prioritas utama Soekarno hingga tahun 1965. Semua berubah ketika kepemimpinan beralih ke tangan Soeharto. Demi membuka mata dunia melalui pertumbuhan ekonomi, Soeharto rela menggadaikan stabilitas nasional demi mendapatkan pinjaman dari Intergovermental Group On Indonesia (IGGI) sebesar $ 200 juta pada tahun 1967, dan $ 325 juta pada tahun 1968, serta dari International Monetary Fund (IMF) sebesar $ 51 juta pada tahun 1967. Sebagai konsekuensi kesepakatan hutang tersebut, Indonesia dituntut untuk membuka diri terhadap investasi terutama investasi asing. Proses penggelontoran dana tersebut dibarengi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selain itu disahkan pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 sebagai Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 sebagai Undang-Undang Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut semakin memberikan prioritas bagi investor dalam penguasaan lahan yang secara otomatis juga mencabut hakihat petani dari tanah garapannya.


Bak terpeleset di lubang yang sama, pada tanggal 31 Oktober 1997, pemerintahan Soeharto kembali menjalin kerja sama dengan IMF. Kerja sama utang-piutang tersebut ditandai dengan penandatanganan Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI). Tentunya selain harus dibayar dengan uang, utang tersebut juga harus dibayar dengan membuka pintu ekonomi kita seluas-luasnya terhadap investor asing. Cara-cara memberi pinjaman tersebut menurut Bivitri Susanti merupakan suatu cara yang menarik bagi masuknya intervensi kelompok neoliberal (kelompok investor) ke indonesia. Intervensi asing juga masuk melalui lembaga-lembaga dunia yang oleh Richard Peet disebut Unholy Trinity (trinitas yang tidak suci) yang mencakup IMF, World Bank (Bank Dunia), dan World Trade Organisation (WTO) dimana tujuan dari ketiga lembaga tersebut adalah melancarkan agenda liberalisme (mencari keuntungan).


Menurut Yance Arizona, dari 31 Oktober tersebut sampai 11 Juni 2002 pemerintah telah menandatangani 19 LoI dengan IMF. Jumlah tersebut belum termasuk perjanjian yang ditandatangani dengan Word Bank dan WTO. Bonnie Setiawan mengumpamakan bahwa meja perundingan di tiga lembaga tersebut mirip dengan panggung striptease. Delegasi negara-negara kaya selalu bersorak-sorak setiap kali delegasi negara berkembang rela menanggalkan bajunya satu persatu hingga terbuka sama sekali (maksudnya membuka pasar dalam negerinya hingga terbuka secara bertahap sampai akhimya ke tarif 0% atau saham 100%).


Perjanjian-perjanjian semacam ini tentunya berdampak luas pada perubahan politik hukum investasi di Indonesia. Perubahan tersebut untuk selanjutnya berpengaruh pada arah dan tujuan dari politik hukum agraria. Dengan adanya pergeseran yang demikian maka terjadilah apa yang disebut perebutan sumber daya agraria (tanah). Kompetisi tersebut terjadi antara petani dan investor yang sama-sama memerlukan tanah untuk berproduksi. Dalam hal ini biasanya negara berkedok kepentingan umum, menjalankan kebijakan pro investasi, ataupun dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional, justru memberikan legalitas hak atas tanah kepada investor. Kebijakan negara yang demikian tentu secara nyata mengabaikan hak-hak petani. Fenomena semacam inilah yang mengakibatkan merebaknya konflik agraria di seluruh penjuru indonesia. Konflik agraria tersebut bersifat turun temurun, sektoral, dan struktural.


Mengapa petani harus melawan negara?
Gerakan Kapitalisme yang mengancam keberadaan petani berangkat dari kekuatan ekonomi internasional yang diperkuat dengan politik lokal. Menurut Talcot Parson seorang pakar sosiologi, membagi unsur-unsur dari sistem kehidupan manusia ke dalam 4 (empat) subsistem. Subsistem tersebut adalah ekonomi, politik, sosial, dan Budaya. Subsistem ekonomi memiliki kekayaan energi, dalam hal ini bisa dikatakan sebagai uang. Melalui energi yang dimilikinya subsistem ekonomi ini memberikan pengaruh yang cukup kuat pada subsistem politik. Di sisi yang lain terdapat pula subsistem budaya yang juga memiliki kekayaan berupa informasi yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai nilai. Melalui prosesnya yang panjang dan turun temurun, Subsistem Budaya ini memberikan pengaruh besar pada subsistem sosial.


Ketika fenomena menunjukkan terjadinya perebutan tanah antara investor dan petani, maka terlihat jelas bahwa subsistem ekonomi berusaha memberikan pengaruh langsung pada subsistem budaya untuk mencabut nilai dan identitas budaya sebagai bangsa agraris. Melihat realitas yang demikian, tanah rupanya tidak hanya merupakan hal yang penting bagi petani semata melainkan juga bagi bangsa Indonesia. Dalam kondisi yang demikian peran masyarakat bawah sebagai kesatuan dalam subsistem sosial secara tegas mengambil sikap untuk mendesak pemerintah melaksanakan Reforma Agraria (Perubahan Struktur Agraria) untuk mengatasi ketimpangan ini.

Patut disayangkan ketika rakyat secara tegas menyuarakan perubahan, pemerintah (negara) sebagai kesatuan dalam subsistem politik justru mengambil kebijakan pro investor, Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, legalisasi aset kementerian pertahanan, pengembangan kawasan ekonomi khusus, pembangunan food estate di wilayah kalimantan dan papua, pembukaan lahan untuk ibu kota baru, perluasan industri tambang, perkebunan dan kehutanan, serta pembangunan infrastruktur seperti waduk dan jalan tol.


Realitas yang demikian tampaknya mau tidak mau harus memaksa petani untuk melawan negara demi mempertahankan kehidupannya. Alasan perlawanan petani terhadap negara adalah tentang apa yang disebut Dianto Bachriadi sebagai “Ketimpangan”. Ketimpangan di sini merupakan suatu keadaan di mana segelintir pihak menguasai tanah yang sangat luas sedangkan petani tidak lagi memiliki cukup tanah untuk menopang kehidupannya.


Sekalipun sudah ada UUPA sebagai payung hukum agraria, namun tampaknya posisi petani masih belum berada pada posisi aman. Terlebih lagi posisi masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya yang sampai saat ini masih simpang-siur menunggu kepastian. Menurut sebagian ahli, perspektif UUPA dianggap yang sangat kabur memberikan pengaturan terhadap hak ulayat. Hal tersebut mengakibatkan penafsirannya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) peninggalan Belanda. Padahal oleh KUHPer hak ulayat tersebut dipersamakan dengan Staats domein atau tanah negara. Tak khayal kalau tanah adat dan hutan adat kita sering kali dipersamakan dengan tanah negara, dan hal tersebut baru disadari masyarakat ketika investor sudah mengambil alih tanah mereka.
Sampai kapan perlawanan ini berlangsung?


Dalam masa pemerintahan Joko Widodo ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna menyelesaikan konflik agraria. Salah satu yang paling menjadi harapan para petani adalah keluarnya Perpres 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres tersebut mendefinisikan reforma agraria sebagai penataan aset dan akses. Masyarakat berharap besar untuk dapat mendapatkan akses pemilikan tanah yang lebih layak serta mendapat kepastian bahwa itu adalah aset masyarakat bukan investor. Dalam praktik nyatanya berbeda dengan harapan, negara melalui aparaturnya justru melakukan penataan aset dan akses bagi tanah-tanah investor yang berkonflik dengan masyarakat. Tentunya kebijakan tersebut sangat merugikan masyarakat dan memicu konflik yang lebih besar. Pemerintah berdalih Payung hukum investor lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan payung hukum perpres yang menjadi harapan petani.


Berpegang pada slogan pro Investor, pemerintahan Joko Widodo mencoba untuk merombak struktur agraria dengan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Secara frontal RUU tersebut langsung mendapat penolakan dari masyarakat yang berakibat RUU tersebut harus kandas dan batal untuk disahkan. Seolah tak kurang akal, DPR RI memasukkan substansi RUU pertanahan dalam RUU Cipta Kerja (Sering diplesetkan dengan singkatan RUU Cilaka) yang secara substansi disusun dengan skema Omnibus. Dikhawatirkan RUU Cilaka ini apabila disahkan tidak hanya berdampak pada petani melainkan juga buruh pun terancam kehilangan hak-haknya apabila RUU tersebut disahkan. Agaknya yang dikatakan Nia Kurniati dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) patut untuk diamini, bahwa konflik agraria vertikal tersebut berpotensi menimbulkan sengketa menahun (perennial conflict). Terlebih dari itu konflik agraria bukanlah sekedar konflik kepentingan biasa namun lebih mengarah pada pertarungan antar dua ideologi yaitu Kapitalisme vs Sosialisme Indonesia.


Membawa cita-cita pro investasi dan pertumbuhan ekonomi, pada 5 Oktober 2020 RUU Cipta kerja digedok oleh DPR. Seberapa berpengaruh RUU Cipta kerja ini dalam menarik investor masih dipertanyakan banyak pihak. Melalui kebijakan Bank Tanah dikhawatirkan banyak tanah-tanah adat milik petani yang akan diklaim secara sepihak oleh investor. Dalam hal perburuhanpun banyak pihak yang menyayangkan adanya hak-hak buruh yang tercabut demi memangkas tarif buruh. Polemik pro dan kontra ini menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan dan memicu munculnya konflik agraria baru.


Agaknya sebagai petani perjuangan mencapai keadilan agraria masih menjadi mimpi panjang di negara ini. Kebijakan yang pro petani hanya digunakan sebagai peredam ketegangan di tengah rencana besar melancarkan investasi. Mengandalkan negara sebagai solusi pun kini hanya menjadi mimpi di siang bolong. Toh orang-orang yang duduk di pemerintahan pun juga bagian dari investor, jadi tidaklah heran bahwa kepentingan investorlah yang nomor satu dibela. Jika negara justru menjadi pelaku dan pemerintah pun menjadi kepanjangan tangannya, tinggal menunggu bom waktu meledak membawa perlawanan dari rakyat. (J. Prima Cahya K)


Sumber:
Bivitri Susanti, 2002, Neo-liberalism and Its Resistance in Indonesia’s Constitution Reform 1999-2002: A Constitutional and Historical Review of Indonesian Socialism and Neo-liberalism, Tesis Master pada University of Warwick, Inggris.
Bonnie Setiawan, 2015, WTO dan Perdagangan Abad 21, Yogyakarta : Resist Book
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, 2011, Enam dekade ketimpangan: Masalah penguasaan tanah di Indonesia, Bandung: Agrarian Resource Center, Bina Desa dan KPA,
Dianto Bachriadi, 2020, Materi disampaikan dalam Peluncuran dan bedah bedah buku Ketimpangan Agraria di Indonesia, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada pada 19 Juni 2020
Gunawan Wiradi, 2009, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, Yogyakarta: STPN Press
Gunawan Wiradi, 2013, Transformasi Agraria dan Transisi Agraris, dalam https://binadesa.org/transformasi -agraria-dan-transisi-agraris/ diakses 5 September 2020
John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika
Maria Rita Ruwiastuti, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nia Kurniati, 2012, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum Tentang Pengelolaan Tanah Negara Bagi Kesejahteraan Rakyat, Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Richard Peet, Unholy Trinity: IMF, World Bank, WTO, London: Zed Book
Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Yogyakarta: Genta Publishing
Yance Arizona, 2014, Konstitusionalisme Agraria, Yogyakarta, STPN Press