Lintas Berita

Perundungan dan Kesehatan Mental

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Secara nasional catatan dari Kemendikbud, asesmen nasional Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) pada 2022-2023 terdapat 24,50% anak-anak yang mengalami perundungan baik fisik maupun mental, termasuk yang terjadi di media sosial. Bisa jadi kasus yang sesungguhnya yang tidak terekspos lebih banyak.

Merebaknya kasus bullying akhir-akhir ini menjadi perhatian besar bagi kalangan pemerhati isu hak anak. Diskusi terkait hal tersebut penting untuk dilakukan sebagai upaya antisipasi untuk pencegahan supaya tidak ada tindakan kekerasan yang lebih berat. Juga terkait dampak bagi korban. Susi Rio Panjaitan dari Seknas Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) menjadi narasumber pada webinar yang disiarkan juga di kanal YouTube JKLPK beberapa waktu lalu dengan mengambil tema bullying apakah pertanda adanya gangguan mental? Tema ini penting dibahas mengingat dari JKLPK banyak partisipan yang mengusung isu anak. Mereka anak yang tinggal di panti maupun di luar panti dan partisipan yang memiliki komunitas dampingan anak. Jika mengikuti pemberitaan di media, kasus bullying itu seperti tidak ada habisnya dan selalu muncul.

Susi Rio Panjaitan dari Yayasan Rumah Anak Mandiri meneruskan bahwa seringkali bullying diidentikan dengan bercandaan atau "nggegodain". Ada kemiripan antara bercanda dan bullying. "Kita mesti melihat bercanda atau "ngegoda" itu adalah dua hal yang berbeda dengan bullying. Mengapa? Karena kalau bercanda atau menggoda itu tidak ada maksud untuk menyakiti orang lain, tidak untuk mengganggu orang lain atau mencelakakan orang lain. Bercanda, menggoda, guyon adalah hal yang berbeda dengan bullying. Karena bercanda ditujukan untuk senang-senang. Bisa dilihat dari ekspresi wajah, juga dari mata orang itu. Body language dan intonasi suara," jelasnya. Terlepas dari kontennya, dalam bercanda atau menggoda itu, ketika kita merasa orang yang kita bercandain tidak merasa nyaman maka tidak sungkan meminta maaf. Itu bedanya dengan bullying. Itu dua hal yang bertolak belakang.

Bullying adalah satu perilaku yang ditujukan untuk menyakiti atau membuat malu orang lain. Ada elemen bullying yakni intensitasnya berkelanjutan. Dia (pelaku) tidak akan berhenti sebelum yang jadi korban benar-benar merasa tersakiti. Bahkan pelaku akan sangat happy jika anak yang dibully ini merasa sakit dan sedih. Hal itu tidak cukup membuat pelaku berhenti di sana. Perilaku yang sama akan diulangi  dengan menghina orang/bodyshaming, mempermainkan fisiknya untuk dikata-katain dan tidak untuk maksud bercanda. Perilaku yang sengaja tetapi pura-pura tidak sengaja misalnya menyenggol, menyerempet badannya atau terang-terangan memukul atau melakukan sengaja menyakiti itu juga bullying. Bullying bisa dilakukan  secara pribadi atau bersama-sama/kelompok  baik dengan ejekan-ejekan atau perilaku tadi.

Di era digital ada satu bullying yang tidak menyentuh secara fisik tetapi menyakitkan disebut cover bullying. Dilakukan dengan menggunakan media sosial atau berbasis alat lainnya. Ini juga salah satu masalah serius di Indonesia saat ini bahwa bullying banyak dilakukan dengan cyber bullying.

Menurut Susi, di agama Kristen, bullying dianggap melanggar ajaran kekristenan. Faktanya benar-benar berbahaya sebab korban sangat mengalami gangguan psikologis. Dia bisa sedemikian takut, malu, bisa marah, stress, depresi bahkan disebut ada yang mengalami Pasca Trauma Stress Disorder (PTSD). Banyak masalah yang ditimbulkan.

Korban perundungan rentan mengalami gangguan kesehatan mental atau gangguan kesehatan psikologis secara serius. Jika anak sudah mengalaminya maka berpengaruh secara signifikan terhadap status kesehatan fisik. Kalau luka dalam bentuk pukulan, sangat mungkin mengganggu fisik : sakit kepala, tidak enak badan. Jika bullying dilakukan dalam bentuk fisik  tentu selain berbahaya bavi kesehatan mental juga berbahaya untuk keselamatan. Korban bullying akan mengalami masalah perilaku. Ia tidak mau lagi pergi ke sekolah. Ada saja alasan untuk tidak masuk sekolah : sakitlah, malaslah.

Lain hal, kalau bullying terjadi di rumah maka anak tidak mau tinggal di rumah. Perilakunya mulai antisosial, mereka mengisolasi diri. Perilaku signifikan yang bisa diduga bahwa ada sesuatu dengan anak. Pada derajat tertentu isa mengakibatkan kematian pada anak.
Di Indonesia saat ini angkanya tinggi yakni perilaku anak menyakiti diri sendiri atau bunuh diri pada anak yang mengalami bullying. Saya ada klien setelah mengalami proses konseling ternyata dia pernah mengalami perundungan dan sangat lekat di memorinya. Ia katakan bahwa "saya sudah melakukan upaya suicide." Ini bukti bahwa perundungan yang dialami anak berpotensi dalam derajat tertentu bisa jadi penentu anak melakukan bunuh diri.

Di Indonesia sebagai negara hukum, bullying adalah perilaku yang melanggar hukum. Maka menurut Susi, kita harus mendidik anak anak layanan kita anak anak di sekitar kita untuk berhenti melakukan bullying. Anak-anak, di Indonesia dalam derajat tertentu bisa dipidana.

Kemudian, apa yang harus dilakukan?
Kalau anak mengalami bullying, anak harus dilatih untuk tidak mengalami rasa takut. Dia tidak takut menghadapi lingkungan  yang ada di sekitarnya. Anak juga dilatih untuk tidak terlalu sedih dan tetap bisa tenang. Tidak perlu membalas jika situasinya tidak perlu mendesak. Anak+anak juga harus mampu membaca situasi, membaca gelagat tertentu sehingga tidak perlu terlihat untuk kasus yang dianggap tidak terlalu penting untuk melakukan perlawanan. Dia bisa pergi menghindar, dan mengenal konsep diri yang positif.

Ada latar belakangnya masing-masing. Kondisi ini bisa membuat anak menjadi pelaku. Anak diajak untuk melakukan  intropeksi diri. Anak dilatih dan didorong untuk berani melapor, cerita kepada orangtuanya, atau gurunya. Keterampilan yang penting diajarkan kepada anak adalah bersikap asertif, baik di dalam komunikasinya atau tindakannya. Anak harus mampu membuat batasan. Anak mesti mampu membuat negosiasi. Dilatih untuk berkata tidak dengan terhormat. Anak dilatih mampu untuk mengekspresikan pendapatnya. Anak+anak yang menjadi korban bullying salah satunya adalah anak anak yang tidak punya kemampuan asertif dan jadi sasaran empuk pelaku. Ada beberapa perspektif dalam iman kristiani : belajar dari bagaimana Yesus Kristus diperlakukan.

Apakah perilaku adanya gangguan mental? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini maka harus tahu dulu mengapa seorang anak punya perilaku bullying?
1. Pola Asuh. Anak anak yang sering diperlakukan dengan sangat keras dan kasar berpotensi menjadi pelaku bullying. Anak anak yang lahir dari pasangan tidak harmonis juga berpotensi jadi pelaku. Ketidaknyamanan di rumah. Amarah jadi liar.
2. Pengaruh lingkungan/teman.
3. Pengaruh buruk game dan gadget.
4. Merasa tidak aman. Rasa tidak aman menbuat dia melakukan upaya perlindungan diri dan rasa tidak aman membuat dia melihat sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
5. Alami trauma.


Anak-anak yang rendah diri bisa jadi anaak anak yang sering mendapat label dan stigma jelek bodoh nakal dan lain lain. Biasanya menyimpan amarah di hatinya. Ia mempunyai konsep diri yang rendah. Karena ia merasa dirinya jelek, marah  itu yang akan memicu melakukan perilaku bullying, juga ketidakmapuan mengalami keterampilan sosial dan interaksi sosial. Anak yang memiliki hambatan dalam memahami keterampilan sosial. Dia akan berisiko melupakan perilaku bully, kurangnya penegakan aturan di rumah. (Ast)