Bersama Organisasi Kepemudaan, YAPHI Petakan Masalah dan Potensi dalam Peringatan IWD

Penilaian: 4 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dimulai dari meredefenisi lagi kata pemuda dan bagaimana sebenarnya eksistensi pemuda yang kata lainnya adalah anak muda, cah enom, atau taruna, Ika Hana Pertiwi, peneliti dan  relawan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Solo Raya, menceritakan pengalamannya bagaimana dulu mengikuti karang taruna di kampungnya, menjelaskan bahwa menjadi pemuda merupakan proses dan pendewasaan diri  adalah  titik kedatangan.

Menurut Ika Hana, pemuda masih exploring untuk menemukan titik nyaman dimana masih menjadi petualangan. Pemuda juga merupakan masa transisi, dimana dianggap sebagai anak, namun masih dikira cah gede, pemuda masih memiliki pemikiran anak dan dewasa, definisi pemuda cukup fleksibel, menjadi pemuda merupakan proses dan dewasa titik kedatangan. Pemuda masih exploring untuk menemukan titik nyaman dimana masih menjadi petualangan, adulthood merupakan titik  kedatangan seperti bisa menyelesaikan permasalahan. Uniknya, sama halnya dengan gender, konstruksi sosial juga membangun pemuda. Generasi dan pola hidup yang berbeda dalam membangun konstruksi sosial dan ada dampak-dampak  dari parenting juga, dari membangun pemuda. Satu hal yang digarisbawahi dari pemuda bahwa menjadi pemuda bukan untuk menjadi tua namun mencuat pertanyaan,  apa yang dihidupi oleh pemuda sekarang? atau pertanyaan seperti ini, apa yang menghidupi masa-masa muda dan perlu untuk enjoy the process?

 

Maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), minim pengetahuan kesetaraan gender dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami anak, diskriminasi teman Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, Queer (LGBTQ), sulitnya lowongan pekerjaan,  belum banyak ruang aman apalagi fasilitas umum, keterlibatan perempuan hanya dianggap untuk formalitas, stigma rebel, pemaksaan kehendak, toxic positivity, budaya victim blaming/menyalahkan korban, kontrol sosial tentang jumlah anak dalam rumah tangga, attempt to suicide, pengertian peran dan kemampuan antara laki-laki dan perempuan, kasus perundungan yang kian meningkat, pemikiran yang patriarki, isu kesehatan mental di kalangan anak muda, perempuan ujungnya hanya di 3 (ur) : dapur, sumur dan kasur, perempuan dianggap tidak bisa memimpin, toxic relationship. Puluhan lagi permasalahan yang tengah dihadapi pemuda saat ini tertulis kemudian menempel pada kertas plano yang dipajang di antara 20-an pemuda mewakili berbagai organisasi dan komunitas di Ruang Anawim Yayasan YAPHI, Selasa , 18/3. Mereka datang dalam acara diskusi dan kajian kritis memperingati Hari Perempuan Internasional.

 

Acara yang diadakan oleh Yayasan YAPHI selain mengundang narasumber sekaligus fasilitator Ika Hana Pertiwi  juga menghadirkan aktivis, feminis, Luxy Nabela Farez, founder Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS). Diskusi yang mengundang komunitas dan organisasi tersebut bertujuan selain menemukenali berbagai problem, juga untuk melihat potensi yang ada pada para pemuda yang banyak sekali, seperti : skill yang cukup kreatif, satu keunikan, berorganisasi, akses informasi dan teknologi, kesempatan memperoleh pendidikan, banyak jejaring, tinggal di perkotaan dengan akses yang mudah, komunitas atau ruang, skill menggunakan media sosial, berorganisasi, dukungan dan teman yang memahami, membuat proposal untuk donor/funding, gen Z yang mulai terbuka tentang mental health, kesempatan dan kesehatan,  dan percaya diri, semangat belajar, spiritualitas dan reigiusitas, aktif di media sosial, telinga (pendengar yang baik), kesadaran diri, pilihan, dan kesempatan mendapat pendidikan.

 

Namun, ada perlu yang perlu  digarisbawahi kali ini, khususnya di Kota Surakarta dan sekitarnya bahwa dalam pengidentifikasian, yang cukup menonjol adalah mengenai kebutuhan bersama yakni relasi yang sehat dan keresahan terhadap akses BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan dinilai kurang memfasilitasi kesehatan psikis sebab ketiadaan tenaga profesional yakni psikolog dan psikiater di puskesmas-puskesmas di kota Surakarta. Lantas apa yang kemudian bisa dijadikan solusi bagi para pemuda?

 

Hana kemudian mengemukakan bahwa paling utama adalah support system, harus dimulai dari mencintai diri sendiri, namun juga ada ruang aman bagi orang lain, mendengar tanpa menghakimi dengan memvalidasi emosi, dan menjadi teman bisa menjadi pegangan. Pemuda diharapkan juga bisa berperan bagi diri sendiri maupun orang lain, sesimpel dengan mendengarkan cerita dan tidak membandingkan masalah, We Listen We Don’t Judge tidak hanya di media sosial, bisa  peduli terhadap masalah sekitar. Sedangkan beberapa kebutuhan mendesak adalah adanya pelatihan konseling sebaya, capacity building, pelatihan kesehatan mental, jejaring dengan berbagai organisasi, pelatihan public speaking, relasi sehat, fundraising, pelatihan gender dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), pelatihan penulisan proposal, dan perlindungan pekerja HAM, dan bagaimana mengelola keuangan. (Renny Talitha/Ast)